8 || Pause 🍁
(Please read the picture)
Aku ingin hidup tenang, berhenti mengusikku dan berhenti membawa penderitaanmu terhadap kehidupanku.
Kamu menyedihkan, karena tidak ingin terluka sendiri kamu harus melibatkan Kai sebagai sahabat terdekatmu, juga orang asing sepertiku terseret penyesalanmu.
Apa itu tidak keterlaluan?
Pagi ini Fuji menatap layar handphone-nya, membaca kembali pesan yang ia kirimkan pada Lian Zhang. Semalam ia benar-benar tengah berada di puncak emosinya, sembarang kata pun langsung ia ketikkan begitu saja.
Setelah mendapati Akira dan Lian di sebuah restoran yang hendak ia kunjungi bersama Zhen dan Yang Xi, gadis itu langsung menyeret sang adik pulang dengan menggunakan taxi. Pikirannya langsung terpatok kala Akira memberikan informasi pribadinya kepada Lian, untuk hal semalam pun, Fuji mengira bahwa Lian terus mencoba menggali informasi lewat adiknya itu.
"Aku yang memintanya menemuiku, Jie. Jika kau ingin marah silahkan marah padaku. Kau ingin menamparku? Melempar ponselku? Menyeretku ke kamar mandi? Lakukanlah.
"Tapi soal Lian Ge, dia benar-benar tidak menanyakan apapun tentangmu padaku. Sungguh. Tolong pikirkan soal dirimu, karirmu, jangan sampai semuanya terlepas begitu saja hanya karena kakak merasa diusik."
"Lalu, apa tujuanmu menemuinya? Katakan?"
Akira diam, Fuji juga tidak habis pikir mengapa adiknya malah ikut mencampuri urusannya setelah pertemuan ketiganya.
"Katakan, Akira. Mengapa kau menemuinya?"
Apa Akira harus mengatakan semuanya? Tidak, pria itu masih belum putus harapan, pria itu masih mencari cara setidaknya ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk memicu Jia kembali.
"Aku juga ingin menghentikannya dan meyakinkannya soal dirimu. Aku tahu kau merasa tidak nyaman jika dianggap orang lain oleh mereka, maka dari itu aku menemuinya."
Kebohongan lagi, itu semakin menumpuk. Lama kelamaan Akira juga semakin terbawa suasana, hatinya mulai tertutup kabut, membuat perasaan sabarnya menjadi buram. Dulu Akira selalu bersikap wajar soal apapun, menghadapi Fuji yang seperti itupun bukan masalah baginya. Tapi entah mengapa setelah semua yang terjadi, Akira menjadi berpikir segalanya tidak lagi diwajarkan seperti dulu.
Mungkin di mata Fuji tidak ada yang berubah dengan Akira, tapi kebaikan yang terjadi dalam sudut pandang Akira kini telah berubah tanpa ketulusan, bahkan bisa dibilang seperti sebuah kepura-puraan.
Mungkin jika Akira tidak mendapatkan kehangatan sebelumnya, ia akan lebih baik-baik saja seperti biasanya.
🍁
Awalnya Fuji sempat berpikir tidak ingin menginjakkan kaki di tempat ini, tapi bukan Fuji namanya kalau bisa abai soal pekerjaan. Tiba di kantor, Fuji meminta ijin untuk tidak pergi ke lapangan. Ia ingin diam di kantor dan meminta yang lain untuk menggantikannya terlebih dahulu.
"Keahlian kita beda, kau yang lebih berperan memudahkan perkejaan Zhen," ucap rekan kerjanya yang dimintai untuk menemani Zhen.
"Kumohon." Sudah tidak lagi mementingkan harga diri, gadis itu kini memelas dengan wajah frustrasi. Percayalah, sangat langka seorang Fuji mengekspresikan perasaannya dengan terang-terangan.
"Fuji, apa yang salah denganmu. Mengapa kau terlihat seputus asa ini? Hei hei, ini terlihat seperti orang yang bukan kukenal," seru Yang Xi.
Zhen menarik lengan Fuji serta membawakan tasnya yang terletak di atas meja, meski sempat berontak tapi Zhen berhasil membawanya masuk ke dalam mobil.
Sejujurnya, Zhen sudah tau sedang ada konflik antara rekan serta kliennya itu. Meskipun tidak tahu masalahnya tentang apa, tapi saat melihat Fuji menarik adiknya dengan ekspresi semalam membuat Zhen yakin kalau gadis itu sedang memiliki masalah.
Lian juga sempat mengirim pesan dan memberi tahu Zhen bahwa ia melakukan kesalahan sampai Fuji berniat keluar dari proyek, juga menyinggung soal perusahaan. Tentu saja ia tidak tinggal diam. Orang berpotensi seperti Fuji tidak mungkin ia biarkan turun performa karirnya, lagipula perusahaan juga akan mempertahankannya kan? Sebagai orang yang lebih berpengalaman sejak muda, dia tidak akan menyia-nyiakan bibit unggul dalam lingkungan kerjanya. Selain itu, siapa yang akan melepaskan karyawan begitu saja tanpa alasan.
"Tidak usah cemas, kau tidak akan bertemu dengan Lian." Zhen berujar seraya melajukan mobilnya dengan pelan.
"Apa?"
"Lian pergi ke Shanghai, jadi hanya ada Kai di sana. Kita bisa tetap kerja seperti biasa," tuturnya.
"Siapa peduli? Memang apa urusannya denganku." Fuji bersikap seolah acuh tak acuh.
"Kau mengenalku sudah setahun lebih, Fuji. Kalau kau punya masalah kau bisa mengatakannya padaku."
"Tidak perlu merepotka—"
"Bukan hanya masalah pekerjaan, masalah pribadi pun kau bisa katakan. Memendam sendiri itu tidak mudah, kan?"
"Kau berkata seakan kita adalah sahabat karib, padahal jelas-jelas sekat antara rekan kerja pun terlihat. Baiklah, kuakui kita memang akrab, tapi perkataanmu yang barusan terlalu menyebalkan. Apa yang kau rencanakan?" selidik Fuji. Sebetulnya obrolan ini tidak terlalu serius, Fuji tahu rekannya yang satu ini hanya mencoba membuat situasi tidak terlalu semuram sebelumnya.
"Hanya mencoba berguna sebagai teman, apalagi? Kau mencurigaiku dengan maksud lain? Huh, kau memang tidak mengenalku dengan baik."
"Ya, aku memang tidak sebaik yang selalu kau kira. Jadi, mengapa kau selalu baik padaku?"
"Itu jauh lebih menyebalkan dari kalimat yang pernah ditanyakan manusia," ujar Zhen. Setelahnya keduanya terkekeh.
"Apa kau merasa bisa membangun segalanya?" tanya Fuji, random memang, tapi itulah mereka yang seperti biasanya.
"Tentu saja, aku seorang arsitek. Tapi tidak untuk satu hal."
"Apa?"
"Membangun sesuatu yang nyaman untuk seorang teman agar ketika masuk ke dalam sana ia tidak sungkan mencurahkan segala emosinya dan—"
"Haha, cukup Zhen, kau benar-benar ingin mendengar keluh kesah hidupku ya? Mungkin kau tidak akan pernah mendengarnya."
Mungkinkah sebenarnya di dunia ini memang ada orang lain yang ingin mendengar jeritan hati seseorang dengan tulus?
🍁🍁
Akira membuka sebuah tutup botol yang masih tersegel, lalu ia teguk isinya hingga habis. Pria itu kini tengah bersandar pada tiang yang menompang sebuah ring, sendirian di lapangan basket indoor, hanya memasukkan bola ke dalam ring untuk melampiaskan kegundahan hatinya.
Pikirannya menerawang terhadap obrolannya dengan Lian semalam, pria yang selalu Fa Jia banggakan di hadapannya.
"A-anu, maaf harus menyinggung soal ini. Aku ingin menanyakan tentang perempuan bernama Fa Jia."
Lian terlihat menegang saat Akira menyebutkan nama itu, Akira tahu kalau sebenarnya pria itupun masih belum lepas dari bayang-bayang gadis itu.
"Apa kau tahu sesuatu, Akira?" tanya Lian.
"Tidak-tidak bukan begitu, aku tidak tahu, Ge. Hanya saja, kakakku sepertinya terganggu dengan hal itu," ucapnya.
Lian menghembuskan napas yang terdengar kecewa.
"Ah, astaga maaf." Lian mengusap wajahnya. "Kukira kau tahu sesuatu. Memangnya kenapa? Fuji mengatakan sesuatu kepadamu."
"Begitulah, sepertinya dia sedikit kurang nyaman tentang dirinya yang dianggap sebagai orang lain. Jika boleh tahu, kenapa Gege menganggap kakakku sebagai orang itu seperti saat pertemuan pertama?" Menggunakan nama Fuji sebagai jalan untuk menanyakan Fa Jia, Akira sendiri pun tidak tahu sajak kapan ia berpikir licik seperti itu.
"Aku sampai merepotkanmu ya, maaf menganggu terlalu jauh."
"Apa dia terlihat mirip dengan kakakku?"
"Baiklah, Akira. Jika kau ingin tahu siapa Fa Jia. Dia adalah kekasihku yang mengalami kecelakaan tahun lalu. Masalahnya, saat hari itu aku benar-benar tidak tahu bagaimana keadaannya. Meskipun beberapa informasi yang kudapat sudah sangat kuat menyatakan bahwa dia sudah tiada,tapi ...." Lian menggantungkan ucapannya.
"Aku sedikit kurang paham, bagaimana kau bisa tidak tahu—" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya Lian langsung berkata lagi.
"Aku pergi dari tempat kejadian, baiklah itu memang terdengar konyol. Tapi aku punya alasan."
Akira mengepalkan tangannya di bawah meja, bagaimana mungkin seorang pria pergi begitu saja saat kekasihnya mengalami hal buruk.
"Aku hanya ingin tahu dimana pemakamannya, tapi tidak ada satupun orang yang bisa kutanyai."
Tidak ada jawaban yang ingin Akira dapatkan sebelumnya, ia malah mendapat hal lain yang justru menambah beban pikirinnya.
Hal bodoh apa yang membuatnya uring-uringan seperti sekarang, kadang Akira benci terhadap pikiran dan perasaannya sendiri.
"Arghhh!" Pria itu melempar botol yang sudah diremas ke lantai.
Derit pintu besi mengalihkan perhatiannya, dilanjut sebuah pertanyaan lembut yang masuk ke telinganya.
"Are you okay?" tanya seorang gadis sambil menghampirinya. Itu adalah keponakan pemilik lapangan yang biasa mengantikan pamannya menjaga di depan. Biasanya keduanya hanya saling bertukar senyum bila bertemu di tempat pembayaran.
"Butuh teman?" tanyanya lagi.
Akira melirik jam di pergelangan tangannya, lalu mengangguk mantap.
"15 menit," katanya.
Lalu keduanya pun saling beradu skill di tengah lapangan.
🍁🍁
"Berbicaralah saat Anda marah dan Anda akan membuat pidato terbaik yang akan Anda sesali."—Ambrose Bierce.
🍁🍁
Salam Hangat
玫瑰🥀
27/08/2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro