7 || Fed up 🍁
Akhir pekan kembali terlewati, orang-orang berjaket tebal mulai memadati jalur transportasi. Meskipun widget forecast menunjukkan suhu dingin yang masih membalut pagi, itu tidak menurunkan semangat mereka untuk memulai aktivitas seperti biasanya.
Dan lagi, kesempatan salju turun hanya tinggal dua lunar tersisa, sangat disayangkan jika harus dilewati dengan berat hati.
"Musim dingin seperti ini enak ya, kalian bisa lebih santai bekerja," ujar kepala direksi yang baru saja memasuki ruangan kerja tempat seluruh unit Hu Xiang Interior Design berkumpul.
"Mereka bisa santai, kita yang punya proyek tetap harus kerja, Pak," sahut Yang Xi dibalik sekat pembatas yang menutupi meja kerjanya.
"Justru kalian yang lebih enak, satu bulan di akhir musim nanti bisa lebih santai dari kami yang tengah bersantai sekarang, betul tidak?" tanyanya seraya dibarengi kekehan.
Semua karyawan tertawa mendengar ucapan sang direktur. Suasana perusahaan ini tidak seketat dan seformal yang terlihat di luar, meski begitu-fleksibelitas tetap terjaga, mereka tahu kapan waktu serius dan bercanda. Namun pada saat seperti ini, nuansa kekeluargaan mampu mereka ciptakan hingga terasa lebih dari sekadar kata rekan kerja.
Orang-orang yang memiliki proyek bisa lebih santai saat musim dingin akhir; dengan syarat perkerjaan mereka telah selesai dengan konsep yang matang. Karena pekerjaan lapangan dimulai saat awal musim semi, mereka dapat memanfaatkan waktu untuk bersenang-senang dengan gaji penuh yang masih tersalurkan dari perusahaan.
"Ngomong-ngomong, Fuji, Zhen, bagaimana perkembangan pekerjaan kalian?" tanya direktur sambil menyeruput kafein hangat yang ada di genggamannya.
"Sudah cukup pesat, Pak. Klien kami benar-benar orang yang sangat mudah diajak bekerjasama. Benar kan? Fuji?" Zhen menanggapi dengan sumringah, lalu bertanya pada rekannya.
Fuji yang mendengar namanya tiba-tiba disebut hanya bisa terkejut, pasalnya ia tidak terlalu menyimak pembicara apa yang dibahas sebelumnya.
"Hah? Iya?" ujar Fuji dengan muka kikuknya.
"Kamu ini sedang tidak fokus ya, kenapa? Jangan-jangan terpikat tuan muda Wang Entertainment?" celetuk general manager mereka.
"Hahaha, betul itu, Pak. Dianya saja terlalu cuek, padahal terlihat jelas kalau klien kita memang tertarik dengannya dari awal." Yang Xi ikut mencomblagi, meneruskan ucapan atasannya.
"Ekhem ... Zhen." Sang direktur kembali berdeham, memusatkan pandangannya pada satu orang.
"Iya, Pak?"
"Partnermu diincar orang, yakin mau diam saja?" katanya lagi.
"Eh?" Zhen tersentak mendengar ucapan atasannya, seakan ada maksud terselubung dari kata-katanya.
"Partner kerja maksudnya, Pak Zhen. Kenapa? Kok panik begitu, " goda Yang Xi, kadang gadis itu memang selalu paling heboh.
"Pembahasan kita kok jadi begini, sih." Zhen menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sedangkan Fuji hanya memberi ekspresi seadanya mengikuti arah obrolan.
🍁
"Jalur akademis, tapi pakai sertifikat Basket juga buat menambah nilai plus," terang Akira pada sang ayah.
"Bagus kalau begitu."
Akira memberi tahu soal keberhasilan dirinya masuk ke kampus impian sekaligus mendapat beasiswa. Dikarenakan ayahnya baru saja pulang dari tempat rehabilitas, ia baru sempat memberitahunya sekarang.
"Akira, Bibi pulang dulu, ya."
"Baik, Bi. Terimakasih banyak sudah merawat Ayah."
"Jangan sungkan, kalau begitu Bibi pamit. Lekas membaik Pak Ryuji." Wanita yang dipanggil bibi itupun pergi dari sana.
Itu adalah Bibi Emma, sahabat dari mendiang ibu Akira. Katanya, ia banyak dibantu oleh beliau ketika almarhumah masih hidup. Sebagai bentuk balas budinya, ia selalu menawarkan diri untuk membantu keluarga Akira, salah satunya selalu merawat ayah Akira dalam masa perawatan stroke-nya.
Sedangkan Fuji, ia tidak terlalu suka pada Bibi Emma. Katanya, mengapa ia tidak menolong ibunya saat masih hidup dan memiliki banyak masalah. Kenapa ia tidak menghubungi mereka yang ada di Jepang saat ibu mereka kesepian tanpa keluarga pada masa itu.
"Seharusnya, Bibi lebih peka jika merasa sebagai seorang sahabat," perkataan Fuji itu membuat Emma sendiri selalu merasa bersalah tentang Fahira yang ditemukan tewas dengan surat bunuh diri, padahal jelas-jelas kala itu sama sekali tidak ada yang terlihat salah dari wanita ramah itu.
"Kabar kakakmu bagaimana?" tanya Ryuji pada Akira.
"Kak Fuji baik, Yah."
"Akhir-akhir ini dia sangat sibuk, ya?"
"Iya, dia mendapatkan proyek besar bersama pacarnya Kak Jia."
"S-siapa? Jia?" tanyanya untuk memastikan khawatir salah dengar.
"Iya, Fa Jia."
"Fa Jia yang ... Itu?" Ayahnya sedikit terkejut Akira menyebutkan nama itu lagi. Sedang pemuda di hadapannya hanya mengangguk mengiyakan.
"Kebetulan yang sulit diprediksi. Memangnya tidak apa-apa? Bagaimana tanggapan keduanya?"
"Awalnya orang itu menyangka Kak Fuji adalah pacarnya, karena kesamaan wajah mereka. Kalau dari Kak Fuji sendiri, sepertinya Jiejie biasa saja."
Sang ayah memberi jeda terhadap percakapan mereka sebentar, sampai akhirnya melanjutkan kembali.
"Kalau bisa ... Kamu jangan bahas tentang itu lagi, ya. Kasian kakakmu. Orang itu hanya mampir saja dulu, jangan dikenang terus, ya," pinta sang ayah.
Bagaimana mungkin Akira tidak mengenang orang yang memberi warna dalam hidupnya? Orang yang membantunya berhasil sampai titik ini.
Mungkin semudah itu ayahnya mengatakan kalimat untuk melupakannya, tapi jauh di lubuk hati Akira, ia sangat ingin bertemu dengan sosok itu kembali, bahkan hampir menginginkan kehadirannya melebihi sosok Fuji yang asli sekalipun.
"Baik, Ayah." Setelah itu Akira melenggang dari hadapan ayahnya.
🍁
"Ada seseorang yang mencintaiku, dia akan bersukacita pada senyumku, aku hampir lupa bagaimana rupanya. Tapi, kau jelas berbeda dengannya, Kenzi. Kau sangat manis, aku juga bisa mencintaimu, tapi cintaku padanya tidak akan pernah tergantikan olehmu.
"Kau bisa menjadi adikku, kau menginginkan sosok Fuji yang sepertiku, kan?"
Katakanlah Akira hampir tidak waras kala itu, ia menyukai orang lain dalam raga kakaknya sendiri. Tidak, Akira tidak memandang itu sebagai Fuji, ia tahu jelas orang yang ia maksud bukan kakaknya. Akira tahu kapan ia harus memposisikan diri sebagai adik saat Fuji kembali, dan kapan harus menjadi seorang teman dari gadis bernama Fa Jia.
Fa Jia hadir cukup singkat, namun sangat berarti banyak baginya. Fa Jia mampu menjadi seorang teman, seorang guru pribadi, seorang kakak yang baik hati, bahkan seperti sosok ibu yang mampu merawat dan menasehatinya.
Mengapa ia merasa marah sekarang? Mengapa ia menginginkan Fa Jia hadir mengantikan kakaknya? Ia butuh seorang kakak? Ia kesepian? Ia butuh cinta? Atau ia tengah patah hati sebagai seorang lelaki yang mendapati cinta pertamanya seperti permainan ilusi.
Mengingat perkataan Fa Jia tentang Lian Zhang. Akira ingin sekali mencari tahu lebih banyak tentang Jia lewat pria itu. Tapi kembali lagi soal Fuji, ia tidak mungkin membuka rahasia tentang Fa Jia yang sempat ada di tubuh kakaknya.
Akira benar-benar merasa tak karuan, sejak beberapa terakhir ia selalu ketar-ketir mengingat Fa Jia yang terus terbayang di benaknya.
Sampai di batas muaknya seorang Akira, ia mengirim sebuah pesan WeChat pada orang yang paling berhubungan dekat dengan Fa Jia.
Lian Zhang :
Lian Ge, bisakah kita bertemu?
Aku ingin menanyakan sesuatu,
tapi jangan sampai kakakku tahu.
🍁
To be continued....
🍁
Salam Hangat
玫瑰🥀
20/08/2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro