6 || Ignorance 🍁
"Kabar apa?" Lian Zhang bertanya pada Kai soal berita yang didapat pria itu. Sebetulnya, dari awal pun Kai sudah sangat banyak membantu Lian mencari informasi tentang Jia. Kadang Lian juga merasa dirinya sangat merepotkan karena tak kunjung menerima kenyataan yang ada.
"Aku minta tolong sama paman Zhou buat nanyain kasus hilangnya Yuhan Ge, tapi gak ada laporan apa pun."
"Kudengar, keluarganya memang tidak di sini," sahut Lian.
"Dan ini ...." Kai menyodorkan sebuah berkas dari dalam amplop coklat.
"Apa ini?"
"Catatan kepolisian, Yuhan pernah dua kali dilaporkan atas tindakan kekerasan kepada Jia. Laporan itu berasal dari salah satu tetangga mereka, tapi kembali ditarik karena Jia menyangkal hal itu."
"Cukup aneh, kalau misalnya tetangganya sampai membuat laporan seperti ini, itu artinya bukan cuma sekali atau dua kali, kan?"
"Ini juga." Kali ini sebuah kertas dari amplop putih dikeluarkan Kai. "Riwayat psikologinya."
"Dapat dari mana?"
"Dari istrinya paman Zhou, dia seorang dokter spesialis jiwa, jadi gak terlalu susah buat dapat informasinya."
Paman Zhou sendiri adalah adik dari ayah Kai Wen, ia seorang polisi lokal di Shanghai. Kai bisa mendapatkan informasi itu karena mengatakan Yuhan atau kakak dari Jia menghilang.
Lian membaca isi kertas itu dengan seksama. "Paranoia? Apa mungkin laporan itu tidak diproses karena Yuhan terbukti mengidap gangguan kejiwaan?"
"Enggak, laporan dan pemeriksaan ini jaraknya cukup jauh. Polisi sama sekali belum mengetahui riwayat kesehatan Yuhan. Itu artinya, Jia memang nggak pernah ingin melaporkannya atau mungkin dia memang ingin melindungi kakaknya.
"Kata istrinya paman, orang-orang seperti ini biasanya punya niat untuk menyakiti orang lain."
Hati Lian sangat terluka mendengar hal itu, membayangkannya saja dia tidak mampu. Mengapa semua hal yang tidak pernah ia sadari sedikitpun harus terjadi kepada pujaan hatinya? Semua kebenaran itu sangat menyesakkan, seakan tak ada jeda untuk dirinya tidak merasakan segala penyesalan.
"Pertanyaannya, selama bersama Jia, apa pernah kamu menemukan hal yang aneh?" tanya Kai.
Bayangan-bayangan bersama Jia kembali berputar di kepalanya. Saat dirinya tengah mengajak Jia makan malam, gadis itu tidak mau Lian menyentuhnya, padahal tujuan Lian kala itu hanya ingin membersihkan sisa makanan di samping bibirnya. Setelah acara makan selesai, Lian sempat melihat ruam biru di ujung bibir Jia, tapi gadis itu segera menutupinya kembali dengan riasan. Kenapa Lian baru menyadarinya sekarang?
Lian sempat mendapati Jia menggunakan sebuah syal di musim panas, padahal jelas-jelas cuacanya tidak dingin. Kala itu Lian hanya menanyakan kesehatannya, mungkin Jia hanya demam. Pria itu juga sekilas melihat jejak tak wajar pada lehernya, jika dipikir sekarang, itu tampak seperti bekas cekikan tangan.
Lalu saat kaki Jia kesakitan, saat lengan gadis itu dilapisi banyak plester, saat betisnya memiliki luka bakar. Mungkinkah semua terjadi karena perilaku kakak laki-lakinya?
Mungkinkah ini alasan Jia tidak pernah ingin dirinya menemui Yuhan? Lian merasa sangat tidak berguna karena ketidaktahuannya, ia sangat merasa bersalah tidak memaksa mencari tahu segala kejanggalan dari pengakuan Jia, ia merasa sangat pengecut karena tidak peka dengan segalanya, ia telah gagal menjadi seorang pria, seorang kekasih, juga sebagai seseorang yang dicintai.
"Kai," panggil Lian.
"Iya?"
"Ternyata aku sangat bodoh, ya," Lian tersenyum miris sambil meremas kertas di genggamannya.
"Lian."
"Bisa aku minta satu hal lagi?"
"Apa? Pasti aku bantu selama aku bisa."
"Tolong bawa Fa Jia ke sini."
"Lian,"
"Aku gak bakal minta hal lain lagi kalo kamu bawa Fa Jia ke sini."
Kai ingin menyadarkan pria itu tentang Jia seperti biasanya, tapi ia rasa semuanya akan percuma.
Lian selalu seperti ini, mengapa ia belum sadar juga kalau Jia sudah tiada. Se-hilang itulah akal sehat orang yang terluka?
Kai Wen berdecak frustasi, ia tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Pikirnya hanya tertuju pada Fuji, tapi bukankah membawa Fuji kehadapan pria ini merupakan hal yang salah? Kai tidak ingin membuat Lian semakin tidak mengikhlaskan kepergian Jia.
Tapi untuk kali ini, ia tidak memiliki pilihan lain. Selain pergi ke atas dan meminta gadis itu untuk menenangkan sahabatnya.
"Fuji, aku nggak tahu harus seperti apa mengatakannya, tapi Lian benar-benar sedang dalam kondisi yang tidak stabil. Jadi kalau dia menganggap kamu—"
"Enggak," tolak Fuji. "Aku akan kembali ke kantor, surveinya sudah selesai. Tinggal sedikit menyalin pendataan di komputer." Fuji mengemasi barang-barangnya dan hendak pergi dari sana.
"Tapi Fuji—"
Belum sempat Kai mengatakan hal lain Fuji sudah menuruni tangga untuk pergi dari sana. Tapi saat sampai di bawah ia berpapasan dengan Lian Zhang, lalu tiba-tiba saja pria itu langsung memeluk Fuji dengan erat.
Fuji yang terkejut hendak menyingkirkan tubuh Lian darinya, tapi ia urungkan kembali karena pria itu tengah terisak dengan bahu yang bergetar. Selain itu, Fuji juga kembali teringat soal wajah gadis bernama Fa Jia yang ia cari tadi.
Kai yang baru saja menuruni tangga memohon pada Fuji dengan memberi isyarat dengan kedua tangannya. Di sinilah Fuji mulai mengerti bahwa pria itu memang sangat terluka ketika kehilangan gadis bernama Fa Jia itu.
Dengan sangat panjang lebar Lian mengungkapkan segala kata maaf, membuat Fuji ikut tersentak hingga gadis itu meremas ujung jahitan celananya. Fuji tidak tahu harus bereaksi apa, ia hanya diam mematung tanpa membalas pelukan Lian.
Fuji sendiri tidak pernah lagi merasakan perasaan sesak seperti ini setelah beberapa tahun terakhir, tapi melihat pria dihadapannya kini menangis, merosot sembari bersimpuh di lantai, mengucap kata penyesalan yang tak ada habisnya, membuatnya merasa ingin memahami orang lain.
Fuji ikut menurunkan tubuhnya, menyuruh pria di depannya untuk berhenti. Fuji tidak ingin Lian menganggapnya sebagai Jia, tapi untuk membuat situasi lebih baik, ia rasa tidak ada salahnya untuk mengucapkan sesuatu pada Lian Zhang.
"Aku tidak tahu penyesalanmu ini atas dasar apa, tapi terjebak dalam kondisi seperti ini tidak akan merubah apapun," ucapnya seraya memegang bahu Lian.
"Segala sesuatu yang kamu miliki itu tidak ada yang abadi, kamu boleh menyesal untuk hal yang telah berlalu tapi hidup harus tetap berjalan sekalipun segalanya telah hilang, sekarang tenangkan dirimu, ya."
Setelah dirasa keadaan mulai membaik, Fuji kembali bangkit dan melanjutkan tujuan awalnya turun kemari.
"Lian aku harus segera kembali ke kantor,"
"Maaf."
"Sudah cukup—"
"Maaf, Fuji. Telah merepotkanmu."
"Ah ... Itu tidak masalah."
Fuji meninggalkan tempat itu, berniat kembali ke kantor khawatir terlambat mengikuti rapat akhir pekan, tapi orang-orang di kantor menyuruhnya untuk langsung pulang karena rapat ditunda menjadi hari Senin, Fuji pun memesan sebuah taksi umum dan mengarahkannya pada alamat rumah.
"Maaf aku tidak pernah tahu kalau selama ini kamu terkurung dalam penderitaan, aku tidak pernah tahu kalau Yuhan Ge selalu menyakitimu, aku tidak pernah sadar tehadap hal-hal buruk yang kamu alami. Karena kamu selalu terlihat baik-baik saja dan tidak pernah mengeluhkan apapun, maaf Jia. Bagaimana caraku agar dirimu bisa menerima permintaan maafku?"
Kata-kata Lian Zhang kembali terngiang di ingatan Fuji, sekelebat bayangan buruk juga ikut muncul saat mengingat nama yang diucapkan Lian. Fuji meringis perih saat bayangan itu semakin banyak berputar di kepalanya, itu seperti pernah terjadi pada dirinya, tapi siapa? Dia sama sekali tidak mengenalnya.
Ini kenangan siapa? gumamnya entah pada siapa.
🍁
"Kak, aku lolos masuk universitas. Terima kasih banyak, ya."
Akira langsung menghamburkan diri memeluk Fuji yang baru saja datang dan menutup pintu, raut bahagia sangat tercetak jelas pada air muka pemuda itu.
"Ah, bagus kalau begitu. Selamat!" ujar sang kakak dengan kaku.
"Terima kasih, kalau bukan karena Kakak yang ngajarin Kenzi, Kenzi gak bakal sampai di titik ini."
Fuji menyipitkan kedua matanya seraya sedikit menyunggingkan senyum geli mendengar penuturan adiknya.
"Kamu ini kenapa, sih? Ngajarin apa? Terus itu juga Kenzi-Kenzi, geli tahu gak."
"Aiioo, aku lupa. Sudahlah, intinya terima kasih banyak, Jie."
Akira berlari ke dalam kamar, ia tidak bisa menutupi perasaan senangnya. Ia lolos masuk kampus impiannya dengan beasiswa, semua itu tak lain karena Fa Jia membantu mengajarinya dalam kurun waktu dua bulan sebelum tes perguruan tinggi. Meski begitu, semua tidak akan terjadi tanpa perantara kakaknya bukan?
Fuji pergi ke kamar lalu membuka laptopnya untuk melanjutkan sisa pekerjaan yang belum selesai, di tengah-tengah fokusnya ia memikirkan sesuatu.
Dua orang pria memeluk dirinya hari ini, rasanya seperti kehilangan jati diri seorang Fuji. Tapi di sisi lain hatinya terasa menghangat, seakan menyindir dirinya bahwa kenyataanya selama ini ia hanya sosok manusia angkuh yang kesepian.
Mungkinkah ini saatnya untuk berubah menjadi seseorang yang lebih peduli?
🍁🍁🍁
To be continued ....
🍁🍁🍁
Salam Hangat
玫瑰🥀
14/08/2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro