Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 || Same Sentence 🍁

Attention : Alur dalam cerita ini akan dibuat maju-mundur, mohon perhatikan tanggal dan note yang tertulis pada bagian awal bab, Xiexie.

🍁

Beijing, China
Sept 27, 2018
|| 07.53下午 a.m

( Pergantian hari setelah malam kecelakaan Fa Jia )

Seorang gadis terbangun tiba-tiba karena merasa sesuatu menghantam keras dadanya, dengan napas memburu ia mencoba merilekskan diri seraya meremas selimut tebal yang terbalut pada setengah bagian tubuhnya.

Gadis itu membuka mata lalu mengedarkan tatapan pada sekeliling. Mencoba mengingat apa yang sebelumnya terjadi dan apa yang sekarang tengah terjadi.

Namun nihil, semuanya kosong dan dirinya tidak mengingat apapun.

Sebuah ketukan pintu dibarengi suara menyadarkan sisa keterkejutannya. "Aku taruh bekalnya di atas meja, Jie. Jangan lupa sarapan."

Panggilan asing itu terdengar dari balik pintu, si gadis masih berusaha mencerna situasinya. Setelah orang di balik pintu itu pergi, ia membangkitkan diri dari atas tempat tidur. Dingin lantai pun menyambut lepas kaki polosnya.

Suasananya sangat terasa asing, kebingungan semakin menyelimuti dirinya. Ada beberapa note yang ada di dinding ditulis dengan Hiragana. Begitu juga dengan buku-buku bahasa Jepang dan Mandarin yang ada di atas nakas dekat lampu tidur, sepertinya kamar ini milik seseorang yang menguasai dua bahasa.

Gadis itu melangkah menuju meja rias yang memiliki kaca bulat pada bagian tengah. "Ini aku, tapi kenapa aku di sini?" tanya si gadis pada refleksinya sambil memegang wajah dengan tangan mungilnya.

"Baiklah, aku akan pergi mandi sekarang. Entah apa yang sedang terjadi, jikapun ini mimpi, mari lakukan dengan baik!"

Setelah menyelesaikan aktivitasnya, si gadis melangkah keluar dari kamar. Sebuah kotak makan yang terletak di atas meja menyambut dirinya, ada satu pot tanaman hias juga di sana, posisi meja itu berada di samping pintu.

Rumah dua lantai, batinnya.

Gadis itu menuruni tangga, dua orang asing tengah menikmati sarapan mereka. Lambat laun si gadis mulai menyadari sesuatu, mungkin mimpi ini adalah salah satu opsi dari banyak keinginannya. Dia tersenyum, entah karena apa. Gadis itu ingin menikmati sedikit perannya pada bagian ini.

"¹Ohayou!" ucapnya tiba-tiba saat kakinya menyentuh anak tangga terakhir, membuat seorang remaja lelaki yang duduk di depan meja makan tersedak keras. (¹Selamat pagi/Jepang)

Gadis itu menebak, suara di balik pintu pasti milik pemuda yang tersedak itu, sebab orang yang satunya merupakan pria paruh baya yang sudah berumur.

"Kenapa kamu membungkus makananku? Apa aku akan terlambat bekerja atau kuliah?" tanya Fuji.

Hening, dua orang di depannya tidak mengucapkan sepatah kata pun. Gadis itu memandangi orang yang diberi pertanyaan, hingga pemuda di depannya mengeluarkan suara.

"T-tidak terlambat, kau sudah lulus tahun lalu, Jie," ujar Akira dengan gugup lalu meneguk segelas air dengan cepat.

Pria tua yang satunya hanya terpaku, menatap lurus ke depan yang tak lain adalah kedua anaknya.

"Oh, ya, Ayah. Gelasmu belum terisi." Gadis itu menuangkan segelas air lalu di berikan pada lelaki yang ia sebut ayah tersebut.

"Jie, apa kau mabuk?" tanya Akira pelan.

"Ha?"

Xiexie, Nak Fuji." (²Terima kasih)

Fu-ji?

Apa ini? Bukan mimpi? Gadis ini bukan dirinya? Gadis ini punya kehidupan sebelumnya? Gadis ini bernama Fuji ... Itu artinya, aku sedang berada pada tubuh orang lain. Tapi, wajahnya ....

"Kak, apa kau merasa tidak enak badan hari ini?" tanya Akira lagi.

"Ah, astaga. Kau benar, aku tidak tidur semalaman. Mungkin efeknya seperti ini," gadis itu beralibi.

Benar, Fa Jia terlalu berlebihan dengan situasi ini. Apa alasan lelaki yang merupakan adik gadis ini membuat makannya menjadi bekal? Mungkinkah ia tidak suka sarapan bersama? betapa cerobohnya kau Fa Jia, si gadis merutuk dirinya sendiri.

"Aku harus pergi, terima kasih untuk bekalnya." Fa Jia melangkah meninggalkan rumah. Meskipun belum memiliki tujuan, gadis itu hanya ingin menghindari situasi yang tidak masuk akal ini.

Dengan bermodalkan handphone si gadis pemilik tubuh, ia berjalan sambil mengumpulkan informasi tempat maupun tentang hal lainnya. Dia tidak tahu, kalau sebenarnya pemuda tadi ikut mengekorinya di belakang.

"Oke, ini Beijing. Gadis ini punya keluarga dan--"

"Kak Fuji." Akira menghentikan langkah sang kakak dengan sepedanya. Fa Jia hanya terdiam tak tahu harus berkata apa.

"Kau tidak perlu bekerja jika sedang sakit, biar aku yang menghubungi atasanmu nanti. Kembalilah ke rumah, atau mau kuantar ke rumah sakit?" tanyanya bertubi-tubi, Fa Jia bisa melihat raut kekhawatiran pada pemuda itu.

"Aku tidak apa-apa. Ngomong-ngomong di mana tempat kerjaku?"

"Jelas-jelas kau tidak baik-baik saja, bicaramu melantur, ayo pulang."

Fa Jia menemukan lokasi kantor yang disematkan pada ponsel yang digenggamnya, seharusnya ia tidak boleh terlalu banyak bertanya lagi sampai ia benar-benar menemukan jawaban atas apa yang terjadi.

"Aku akan pergi bekerja."

"Baiklah kalau kau tetap keras kepala, tapi bolehkah kuantar kali ini? Naiklah di sepedaku, akan kuantar sampai ke stasiun."

Fa Jia tidak punya pilihan lain, diantar oleh seorang adik mungkin tidak akan menjadi masalah untuk gadis si pemilik tubuh. Meskipun jarak stasiun dapat ditempuh dengan berjalan kaki, dan ia juga memiliki rutenya. Memilih sesuatu yang lebih efisien mungkin lebih baik.

"Sudah sampai!" ujar Akira.

"Xiexie, Ken-zi." Fa Jia sempat melihat bet nama pada seragam pemuda itu saat di rumah tadi, namanya Akira Kenzi. Dan Jia menyukai nama belakang pria itu.

"Eh? Hati-hati, Jie." Akira sempat terkejut dengan penyebutan namanya, hingga akhirnya ia tersenyum tulus selama beberapa detik.

"Mengapa kau menampilkan wajah menjijikkan seperti itu? Kenapa kamu di sini, Akira. Kau mengikutiku, ya?"

Senyuman Akira seketika luntur, Fuji yang kasar sudah kembali. Kakaknya benar-benar mabuk kali ini, baru saja ia hendak bersyukur karena sang kakak telah berubah, ternyata tidak.

"Pagi, Fuji. Tumben sekali di antar adikmu," sapa Yang Xi si sekertaris yang hendak memasuki stasiun juga.

Fuji membelalakkan matanya, "Siapa yang menyuruhmu mengantarku? Apa tadi aku menaiki sepeda usangmu itu? ³Fāshì," bisiknya pada Akira.

(³Pergilah)

Fuji menjalani pagi hari dengan mood yang buruk, ia sangat mengantuk hingga tidak sadar Akira mengantarnya dengan sepeda untuk pertama kalinya.

Memanfaatkan waktu perjalanan ke tempat kerja yang tersisa, Fuji tertidur kembali di kereta.

🍁🍁🍁

Beijing, China
Jan 08, 2019
|| 11.45下午 a.m

Fuji hanya mengangguk kala sekertaris serta atasannya menyambut antusias kerja samanya bersama Wang Entertainment. Gadis itu terlihat tidak bersemangat sama sekali, mau tidak mau ia tetap harus mengerjakan pekerjaannya, meskipun sebenarnya ia sangat tidak ingin berurusan dengan lelaki penguntit itu.

Rekan kerjanya yang lain mengucapkan beberapa kata selamat, tidak tahu saja mereka, Fuji sama sekali tidak mengusahakan apa pun untuk proyek ini sebelumnya.

Setelah selesai melakukan tanda tangan perjanjian, selanjutnya mereka akan melakukan survei tempat, yakni studio Wang Entertainment. Ditemani dengan seorang arsitek andal, Zhen Biao. Fuji berangkat dengan menggunakan mobil kantor, Yang Xi juga ikut bersama keduanya.

Sedangkan mobil yang satunya yakni milik Lian melaju di depan sekaligus menunjukkan jalan, Wang Entertainment sendiri terletak di Distrik Chaoyang, butuh waktu 40 menit untuk menuju lokasi.

"Apa tidak salah seperti ini? Harusnya kau menghindari situasi ini. Ini justru akan membuatmu semakin berlarut dengan kepergian Fa Jia." Kai Wen memecah keheningan perjalanan, sebenarnya ia sendiri kurang setuju atas tindakan yang dilakukan Lian Zhang.

"Aku merindukannya," ucap Lian Zhang, pandangannya masih terfokus ke arah depan.

"Lian, apa yang ada di pikiranmu sebenarnya?"

"Dia adalah Jia, aku yakin dia memiliki alasan berubah seperti itu."

"Kau sendiri sudah melihat identitas kependudukannya, itu sudah dibuat lima tahun lalu saat dia berusia 17 tahun. Bahkan gadis itu belum resmi jadi warga negara kita. Dia hanya orang asing yang kebetulan memiliki wajah yang sama seperti Jia."

"Ya, terserah apa katamu. Aku hanya ingin membuktikannya saja."

🍁🍁🍁

Survei lokasi dimulai, Zhen Biao menelusuri arsitektur bangunan dengan aplikasi gambar pada tabletnya. Yang Xi ikut bertanya-tanya soal kondisi studio, begitu pula dengan Fuji yang turut mengamati ruangan dari berbagai sisi.

Lian Zhang menjelaskan konsep seperti apa yang ia inginkan pada Zhen, sekaligus meminta saran seperti apa baiknya mengubah suasana ruangan luas ini.

Ketika tengah menelusuri ruangan untuk riset dekorasi, pandangan Fuji terkecoh pada sebuah polaroid yang menempel pada dinding.

"Kai Wen berhentilah bercanda!"

"Oke-oke, baiklah."

"San, er, yi!" (1,2,3)

-Cekrek-

"Biar kulihat hasilnya,"

"Sebentar-sebentar, aku akan menambah watermark di bagian bawahnya. Biar semua orang tahu kalau aku yang memotretnya."

"Foto itu diambil ketika teman kami Kien dan Yulin berpamitan dari agensi, keduanya sudah menemukan tempat yang lebih layak untuk karir mereka." Fuji langsung terkejut kala seseorang berbicara di belakangnya, orang itu tak lain adalah Lian.

"Oh, begitu ya." Fuji melanjutkan pekerjaannya, ia berjalan ke sisi lain. Entah apa yang terjadi barusan, itu terlihat seperti dejavu. Suara-suara itu muncul sendiri di kepalanya, padahal ia sama sekali tidak mengenali keempat orang dalam foto itu.

"Sampai jumpa Kien, Yulin. Semoga sukses!"

Kilasan itu muncul lagi, kini terngiang jelas dalam kepalanya. Fuji kehilangan keseimbangannya sehingga sedikit terhuyung ke depan, dengan cekatan Zhen menghampiri rekan kerjanya itu.

"Fuji, kau tidak apa-apa?" tanya Zhen seraya menuntun Fuji untuk duduk terlebih dahulu.

"Dubuqie." (⁴Maaf)

"Kau tidak sedang sehat ya?" tanya Yang Xi.

"Tak apa, jangan terlalu dipaksakan." Zhen menyuruh Fuji untuk menghentikan kegiatannya, lagi pula semuanya hampir selesai.

Setelah rapat pembahasan denah lokasi, model serta merek furniture yang akan digunakan, ketiganya pamit undur diri dan akan kembali di hari berikutnya.

"Biar kuantar Fuji kalau kalian akan kembali ke kantor terlebih dahulu," tawar Lian.

"Tidak apa, Tuan Lian. Fuji adalah tanggung jawab kami," ujar Zhen.

"Sampai jumpa di hari bahagia selanjutnya," gumam Fuji saat mereka tengah berjalan keluar studio. Lian dan Kai yang berdiri di belakang samar-samar mendengar kalimat itu lalu saling berpandangan.

"Apa yang kau bicarakan, Fuji?" tanya Yang Xi seraya terkekeh, sangat tidak* cocok jika gadis disampingnya itu mengatakan sebuah kalimat yang cukup indah.

"Ah, tidak. Aku hanya menemukan kutipan itu saat di dalam tadi."

"Kai, kau mendengarnya, kan?"

"Sepertinya halusinasimu menular padaku," ucap Kai canggung seraya memijat pelipisnya.

"Memangnya di dalam sana ada tulisan seperti itu?"

Kai menggeleng. "⁵Shénme yě méiyǒu." (⁵Tidak ada)

"Aku dapat satu poin, aku harus tetap mengikutinya."

Lian Zhang pergi ke belakang, Kai tahu dibalik sifat gigih temannya itu ada sesuatu yang harus pria itu sendiri tahan.

Seperti saat pertemuan mereka bersama Fuji di kafe semalam, saat Kai tidak menemukan keberadaan Lian di parkiran, pria itu ternyata berdiam diri di tempat gelap, bersandar pada sebuah pohon sambil memecahkan tangis pilunya.

Mustahil pria itu baik-baik saja, ketika Lian berkata ia merindukan Fa Jia, tentu saja itu membuat hatinya sendiri sangat terluka. Terlebih, wajah Fuji sangat sama dengan mendiang kekasihnya. Dan hari ini, gadis itu baru saja mengucapkan kalimat yang biasa Jia ucapkan saat meninggalkan studio.

🍁🍁🍁

"Xiexie, Zhen. Maaf untuk kejadian tadi," ucap Fuji.

"Bukan masalah, istirahatlah. Kau terlihat sangat lelah."

Fuji mengangguk seraya melepas sealtbet. "Xiexie."

Fuji melangkah ke dalam rumah, ia tidak mendapati siapa pun di ruang tamu. Gadis itu lalu pergi menuju kamar dan membersihkan dirinya. Setelah itu ia kembali ke lantai bawah untuk makan, seperti biasa makanan sudah tersedia di sana.

Ada satu hal yang mengganjal di pikirannya sejak tadi, rasanya ingin sekali mengosongkan pikiran itu lalu tidur dengan tenang.

Tapi kenyataannya, hingga pukul 11 malam pun ia belum bisa memejamkan mata.

Menepis rasa gengsinya, Fuji mengetuk pintu kamar Akira.

"Akira," panggilnya dengan nada biasa.

"Iya, Jie?" Pria itu membuka pintu, melapas kacamata radiasi seraya membawa sebuah buku pelajaran di tangannya.

"Kau pernah membawaku ke psikolog, 'kan? Apa yang mereka katakan?"

🍁🍁🍁

Salam Hangat
瑰🥀

23/07/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro