1 || Aphelion 🍁
Beijing, China
Jan 04, 2019
|| 18.05下午 p.m
Musim dingin di ibu kota Negeri Tirai Bambu sudah berlangsung sejak November tahun lalu. Bedanya, salju justru turun lebih lambat dari negara bermusim dingin lainnya.
Januari ini adalah puncak suhu paling dingin di China. Itu bukan hal yang ditakuti, orang-orang China Selatan justru paling menantikan momen ini. Mereka akan berlibur mengunjungi daerah China bagian utara dan tengah, sebab diskriminasi alam menjadikan hanya dua wilayah itu saja yang dihujani benda putih lembut nan rapuh.
"Baik. Selamat berakhir pekan, semuanya. Jangan lupa persiapkan proyek pembangunan untuk musim depan!" tutup seorang direksi Hu Xiang Interior Design pada seluruh karyawan. Setelah rapat mingguan selesai, para pekerja mulai kembali ke ruangannya dan segera berkemas untuk pulang.
Seorang gadis berdarah Jepang menuruni salah satu kereta bawah tanah yang biasanya tersibuk di Beijing. Transportasi umum yang selalu ia gunakan untuk pulang-pergi bekerja. Dengan berbalut sweter tebal serta sarung tangan, juga sepatu jenis boots yang turut bertengger sebagai alas kakinya.
Tak jauh dari stasiun, gadis bernama Fuji itu berjalan menelusuri trotoar sebelum memasuki gang-gang sempit menuju rumahnya, dipeluk dingin musim salju yang bermulut sepi. Lampu sorot mobil menusuk matanya berkali-kali, para pengendara tak sungkan menyalakannya lantaran kabut tebal sedikit mengganggu penglihatan.
Pernah mendengar sistem jam kerja 996 yang mendatangkan banyak kontroversi dari para kritikus? Karyawan bekerja mulai dari jam 9:00 pagi sampai 9:00 malam, 6 hari per minggu; totalnya 72 jam per minggu.
Tidak, Fuji bukan bagian dari perusahan yang menerapkan sistem kerja seperti itu. Memutuskan untuk menjadi seorang imigran yang membawa keluarga bukan keputusan sembarangan yang ia ambil sebelumya. Meski sebenarnya, bagian--keluarga--itu tak lebih dari sekedar menghargai hubungan darah baginya.
Sebagai seorang Public Relations muda pada perusahaan Interior Design, pada saat seperti ini pekerjaannya hanya menunggu dan promosi, paling-paling mencari costumer yang berniat memakai jasa perusahaan mereka pada musim panas nanti.
Fuji menatap langit yang menurunkan bulir-bulir es meremas tulang rusuk, gadis itu menghembuskan napas gusar mengingat ia belum mendapatkan proyek apapun hampir selama 2 bulan terakhir. Gadis itu meraih kenop pintu, udara hangat menyambutnya ketika melangkah ke dalam rumah sederhana yang sudah ia tinggali setahun terakhir. Melepas sepatu yang ia kenakan, lalu menaruh sweater pada gantungan logam yang terletak di samping pintu.
"¹Jiejie, sudah pulang?" sambutan hangat datang dari sang adik, Akira Kenzi. Kelihatanya pria itu memang sengaja menunggunya pulang.
(¹Kakak perempuan)
Gadis yang dipanggil jiejie itu tidak menyahut sama sekali. Ia lebih memilih pergi berjalan ke lantai atas untuk merebahkan dirinya pada benda empuk bergravitasi tinggi.
"Jie, aku ingin bicara sebentar," panggilnya lagi yang kini sudah bangkit dari duduknya. Namun Fuji tetap tidak menggubris panggilannya.
"Jie, kumohon-"
"²Shenme?" Fuji menghentikan langkah sekaligus bertanya dengan nada kurang ramah.
(²Apa?)
Akira tersenyum singkat, lalu menghampiri sang kakak. "Aku sudah menyiapkan banyak makan malam dalam rangka merayakan ulang tahun Ayah, bisa nanti Jiejie ikut bergabung dengan kami?"
Fuji menyunggingkan senyum remeh nya, seakan sesuatu yang dimaksud sama sekali tidak penting baginya.
"Kau saja, aku lelah." Jawaban itu langsung meluncur tanpa jeda, membuat sang adik memasang raut kecewa. Seharusnya pria muda itu memang tidak berharap banyak soal ini.
Fuji melanjutkan langkahnya yang tertunda. Masuk ke kamar lalu menguncinya. Sedangkan di lantai bawah, Akira masih menyiapkan sesuatu untuk memberi ucapan selamat bertambah umur pada sang ayah.
"Selamat ulang tahun, Ayah." Akira menghampiri pria tua yang geraknya sudah tidak sempurna, stroke menyerangnya sejak 2 tahun terakhir. Beruntung beliau masih mendapat gaji pensiunan salah satu perusahaannya di Jepang, itu masih cukup untuk digunakan sebagai biaya kehidupan sehari-hari.
"³Xiexie, Anakku. Apa kakakmu tidak ikut makan?" tanya sang Ayah. Sebenarnya bukan tidak biasa anak perempuannya tidak ada di meja ini, sudah beberapa tahun lamanya Fuji tidak pernah makan bersama keluarga dalam satu meja.
(³Terima kasih)
Akira menyuguhkan mie panjang umur yang terkenal di negara keduanya ini pada ayahnya, ia juga memasak pangsit serta kue beras ketan. Jangan ragukan keahliannya, pria bungsu itu sudah dipaksa mandiri dari kecil, hidup tanpa asuhan seorang ibu membuatnya terbiasa tentang hal-hal kehidupannya sehari-hari.
"Ah, dia sedang kelelahan. Sepertinya sedang mendapat banyak pekerjaan. Tenang saja, dia sudah menitipkan sesuatu untuk Ayah padaku."
Akira berbohong, hadiah itu tidak pernah datang dari Fuji. Setiap tahun ia selalu menyiapkan dua hadiah, memberitahu ayahnya bahwa Fuji juga selalu ingat tentang hari ulang tahunnya, padahal semua hanya karangannya saja.
"Aku sudah tua, kau tidak perlu memberiku hal semacam ini lagi. Sampaikan itu pada kakakmu juga."
"⁴Hao de, mari kita makan Ayah. ⁵Itadakimasu."
(⁴Baiklah)
(⁵Selamat makan/Jepang)
🍁🍁🍁
Selepas membersihkan diri, Fuji menyingkapkan sedikit jendela kamarnya. Semilir angin masuk diantaranya, entah mengapa hanya kekosongan yang ada pada lamunannya.
Angin malam ini menggoda, membelai rambut dan wajahku.
Mungkin seseorang akan berkata begitu saat dalam kondisinya saat ini. Tapi baginya tidak, entah mengapa begitu mati rasa baginya untuk menikmati dunia. Apalagi selepas kepergian ibunya, kata 'bahagia' seakan direnggut paksa dan tidak pernah dikembalikan pada hidupnya.
"Bagaimana mungkin seseorang di bawah sana masih menikmati pertemuan umurnya setiap tahun, sedangkan belahan jiwanya saja pergi dengan menyedihkan karena ulahnya."
Kepergian ibunya adalah kesalahan ayahnya, Fuji selalu berpikir begitu.
🍁🍁🍁
Hari sabtu tiba, seperti biasa. Diam di dalam rumah bukanlah hal yang nyaman bagi Fuji. Ia lebih memilih keluar rumah entah itu untuk makan ataupun hanya jalan-jalan di tempat sekitar.
"Membosankan," ujarnya. Gadis itu hanya berjalan-jalan pada sisi jalan raya, berharap waktu segera petang untuk kembali mengistirahatkan dirinya.
Beberapa orang mungkin memilih berhibernasi di akhir pekan, namun ada beberapa juga dari mereka yang produktif mendapat jadwal berkerja ataupun sekedar mencari angin sepertinya. Bukan Beijing namanya kalau sepi, jelas-jelas kota metropolitan ini tidak pernah tidur.
"⁶Zhe shi ni?" Seorang pria yang datang dari arah berlawanan menghentikan langkah Fuji.
(⁶Ini adalah kamu?)
"⁷Gomen'nasai," ucap gadis itu.
(⁷Maaf)
Bahasa Jepang selalu ia gunakan untuk berbicara pada orang asing yang menyapanya duluan. Berharap mereka menghindar dan tidak mengikut campuri urusannya. Terkecuali dalam lingkup pekerjaan dan teman, bahasa Mandarin memang sudah ia kuasai sejak remaja.
"Fa Jia!" panggil pria itu dengan ekspresi dalam yang hampir tak terbaca.
"⁸Duibuqi! Apa yang kamu lakukan?" Gadis itu menarik tangannya dengan kasar saat pria di depannya itu memegang lengannya tiba-tiba.
(⁸Maaf)
"Fa Jia, ini aku. Lian Zhang." Orang asing yang tengah memangku gitar di punggungnya itu menyapanya seakan Fuji adalah teman lama atau sebagainya.
"Anda salah orang!" tegas Fuji.
"Fa—" Belum selesai mengatakan kalimat selanjutnya, seseorang menginterupsi ucapan pria itu.
"Kak Fuji! Handphone-mu tertinggal." Fuji melirik ke arah Akira, lalu mengambil benda pipih itu dari tangan adiknya. Sedangkan pria dihadapannya kini terkejut bukan main, beberapa pertanyaan tercetak jelas di wajahnya.
"Fu-ji?" ucapnya pelan, seakan menunggu penjelasan.
"Fuji Nara, nama saya Fu-ji, bukan Fa Jia. Anda salah orang! Lain kali tolong jangan sembarangan." Gadis itu menuturkan kalimat penuh penekanan.
Fuji berlalu, meninggalkan lelaki itu dengan raut kebingungan, juga Akira yang hampir sadar dengan sesuatu.
"Dia kakakmu?" tanya Lian pada pria muda di hadapannya.
"Ya."
"Kalian dari Jepang?"
"Betul, kami tinggal di Beijing sejak tahun lalu."
Lian Zhang hanya terpaku, mencoba mencerna fakta dan kejadian yang baru saja terjadi.
"Kalau tidak ada yang ditanyakan lagi, saya permisi," pamit Akira.
"Tunggu, ada sesuatu yang mungkin akan kutanyakan nanti. Tolong simpan kartu namaku, jangan lupa untuk menghubungiku."
Lian Zhang, Wang Entertainment
Akira mengangguk, kemudian berlalu dari sana. Mungkinkah dengan ini kita bisa bertemu lagi, Akira membatin.
🍁🍁
Tbc...
🍁
Salam hangat,
玫瑰🥀
09/07/2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro