📷 Bab 8. Rasa Pahit yang Sama
"Melupakan masa lalu bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan, tetapi dibiarkan agar dapat berdamai dengan sendirinya."
✨📷✨
"Lo selingkuh, kan?!" tanya Vano dengan nada membentak. Ia tahu, dirumahnya sedang tak ada orang. Maka dari itu, ia sengaja menjebak Nara di rumahnya.
"Buat apa gue selingkuh?"
"Liat aja lo, semua yang terlibat bakal gue bantai!
Mendengar ucapan kasar Vano, mata Nara mulai memerih. "Lo terlalu overprotektif, Van. Tadi itu cuma temen sekelas gue nganter buku pelajaran. Dia nggak ada hubungan apa-apa sama gue!"
"Bullshit!" Vano menampar keras pipi Nara. "Liat aja, gue bakal putusin lo duluan sebelum lo putusin gue."
Nara sontak mengelus pipinya yang kini terasa panas. Ia lalu kembali menatap Vano dengan mata berkaca-kaca. "Vano, gue masih sayang sama lo."
Vano sontak mendorong tubuh Nara hingga gadis itu jatuh tersungkur. "MATI SANA LO!"
Nara sangat terkejut saat tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke belakang. Air matanya mulai menetes deras.
"Sekarang jujur sama gue. Lo punya hubungan apa sama cowok itu?" tanya Vano sambil membungkuk, menunjuk wajah Nara dengan telunjuknya. Lototan matanya dan deru napasnya pun bisa Nara lihat dengan jelas karena jarak wajah mereka yang sangat dekat.
Nara masih terdiam. Ia sangat takut ucapan Vano menjadi kenyataan. Ia tak ingin Vano bermain dengan nyawanya.
"Jawab gue."
Dengan takut, Nara berusaha menatap mata Vano. "Cu-cuma temen."
"Bohong!" Bentak Vano lagi.
Nara menutup telinganya akibat suara nyaring Vano. "Ma-mau lo apa, Van? Gue udah ngomong jujur."
"MAU GUE LO MATI!" teriak Vano tepat di kuping Nara hingga membuat gadis itu kembali menutup telinganya rapat-rapat. Seluruh badannya bergetar hebat. Ia tak ingin kehilangan nyawanya hanya karena sesuatu hal yang bukan salahnya. Nara benar-benar takut sekarang.
"Plis jangan bunuh gue. Gue mohon. Jangan ... jangan, Van, jangan...." rintih Nara dengan mata terpejam dan tangan menutup kedua telinga rapat-rapat.
Hingga tiba-tiba seseorang mendekapnya dengan sangat erat. Tubuhnya kini terasa hangat. Ia mulai nyaman dengan apa yang ia rasakan sekarang. Perlahan, Nara membuka matanya. Ternyata tak ada Vano dihadapannya, yang ada hanyalah Gevan yang kini sedang memeluknya.
Setelah beberapa detik, tak ada suara rintihan Nara, Gevan pun melepaskan dekapannya dan pandangan mata mereka pun beradu.
"Vano? Siapa dia?"
Menyadari dirinya tadi tak sadar telah kembali ke masa lalu, Nara dengan cepat berdiri dan menjauh dari Gevan.
Gevan menghela napas dan ikut berdiri. "Aku nggak akan bunuh kamu."
"Hah? I-iya, maksudku tadi bukan kamu. Tadi itu...." Pandangan mata Nara berkeliling, mencari sesuatu yang bisa ia jadikan alasan.
"Trauma?"
Nara sontak kembali menatap Dero. Mereka saling bertatapan selama beberapa detik.
Gevan lalu menunduk seraya menghembuskan napas lelah. "Maaf."
"Aku juga minta maaf."
Gevan lalu berjalan ke arah pinggir balkon. Menatap jalanan yang mulai sepi. Nara pun menghampirinya.
"Aku nggak bisa ngendaliin diri. Aku marah sama semua orang yang diam-diam ngambil gambar. Semua pikiran negatif muncul dan akal sehatku hilang. Semuanya gara-gara masa itu."
"Masa itu...." Nara mencoba memahami apa yang dikatakan Gevan. "Oh itu, mereka cuma ngelakuin tugas mereka, kan?"
Gevan menoleh. Tapi Nara masih menatap depan.
"Iya, aku tau maksud kamu. Pasti para wartawan itu, kan? Wartawan yang ngefotoin kamu dulu. Aku tau, pasti kamu lagi nge-down banget waktu itu, tapi kamu harus ikhlasin semuanya. Mungkin itu yang terbaik buat ayahmu."
"Kamu tau dari mana semua itu?"
Nara tersenyum singkat. "Dari seseorang yang sangat peduli sama kamu. Tapi bodohnya, aku nggak dengerin dia dan terus jadi paparazi kamu."
"Emang kamu bodoh?"
Nara terdiam, lalu saat melihat senyum geli di bibir Gevan, ia ikut terkekeh.
"Haha, kamu nanya apa mau ngatain aku?"
Gevan menggeleng sambil terkekeh. Ia pun duduk dipinggir balkon dengan santainya. Diiikuti Nara di sebelahnya.
Perlahan, Gevan menatap gadis itu. Nara sepertinya sudah merasa lebih baik. Ia kini tersenyum. "Siapa itu Vano?"
"Hah? Oh, dia ... masa laluku," jawab Nara sambil memperbaiki posisi duduknya. Kakinya yang melayang di udara ia gerakan ke atas dan ke bawah.
"Dia mau bunuh kamu?"
Nara pun menghentikan gerakan kakinya. "Enggak. Dia ngancem aku karena dia takut kehilangan aku."
Gevan tersenyum mengejek. "Kamu mikir gitu?"
Nara mengangguk.
"Dia udah gila. Kamu harus jauh-jauh dari orang kayak gitu."
"Kenapa?"
"Dia bakal balas dendam sama kamu. Dia nggak bakal berenti sampai di situ. Dia pasti pernah selingkuhin kamu 'kan?"
"Iya, waktu itu dia pernah selingkuh tiga kali dan aku mutusin dia. Untungnya kita beda sekolah. Aku jadi nggak pernah ketemu dia lagi sampai sekarang," jelas Nara sambil mengelus lengannya yang mulai dingin karena tertiup angin di atas sana.
"Tapi kenapa sampe sekarang kamu masih trauma?"
"Maksudnya?"
"Keliatannya kamu udah berdamai sama dia. Kamu pasti udah ngikhlasin dia kan? Kenapa masih trauma?" tanya Gevan yang sama sekali tak dijawab Nara. "Emang nggak semudah itu kan? Aku juga udah ngikhlasin semua yang dilakuin bokap. Tapi tetep aja rasa trauma itu masih terasa."
Perlahan, kepala Nara jatuh di bahu Gevan. Ia kembali meneteskan air mata. "Iya, susah banget."
Gevan terdiam menatap depan. Ada sesuatu yang menjalar tubuhnya kala kepala Nara menyentuh bahu. Harum rambut Nara bahkan menambah intensitas degup jantungnya. Ada apa dengan dia?
"Kayaknya, usaha kita masih sedikit. Kita belum ngikhlasin mereka sepenuhnya."
Nara kembali terbawa suasana. Ia akui semua yang dikatakan Gevan benar. Masih ada yang belum terselesaikan. Masih ada yang belum disudahi dengan benar.
***
Setelah melewati dua jam mata pelajaran, Nara dan Gevan mendengar bel istirahat kedua. Keduanya akhirnya memutuskan untuk turun.
"Nama kamu siapa?" tanya gevan tiba-tiba saat Nara hendak menuruni tangga pertama.
Nara berbalik lalu terkekeh kecil. "Lucu ya, kita udah sering ketemu tapi ga tau nama masing-masing."
"Nggak pa-pa, anggep aja ini pertemuan pertama kita."
Nara tersenyum lembut. "Oke, aku Nara, dan kamu Gevan 'kan?"
Cowok itu mengangguk. "Kamu kayaknya udah kenal banyak tentang aku."
"Iya gitu, karena harus."
Langkah kaki Gevan sontak terhenti. Membuat Nara yang kini tiba di lantai dasar menoleh bingung. "Kenapa harus?"
"Karena dare dari Dero."
"Dero?"
"Iya, Dero Angkasa, ketua basket SMARA. Kamu kenal nggak? Dia yang udah ngasih dare ke aku untuk jadi paparazi kamu."
Mendengar penjelasan Nara, raut wajah Gevan tiba-tiba memerah. Rahangnya mengeras dan kedua tangannya mengepal. Ia lalu berlari kencang meninggalkan Nara. Membuat Nara mau tak mau berlari mengikutinya.
Ternyata Gevan masuk ke kelasnya, diikuti Nara yang kini mulai panik karena beberapa anak kelas yang lain mulai mengerubungi mereka.
Gevan berdiri tak jauh dari Dero berdiri. Mereka saling melempar tatapan mata tajam, seolah hendak saling memangsa satu sama lain.
Author Note
Hai! Gimana bab 8 nya? Jangan lupa vote, comment, dan follow aku ya😘
Masukin reading list juga supaya nggak ketinggalan update-an selanjutnya✨
Terima kasih, selamat malam🌃
Oiya, aku mau promosi bentar, jangan lupa mampir di cerita aku yang lainnya ya. Cerita di atas menceritakan bagaimana perjuangan seorang Rilla membuat jurusannya lebih unggul dari jurusan lainnya. Ini juga cerita tentang Reda yang berusaha mengingatkan Rilla mengenai sesuatu di masa lalu. Penasaran? Yuk langsung ke sebelah!💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro