📷 Bab 3. Punggung itu
"Sesuatu yang mungkin terlihat biasa saja, bisa jadi sangat luar biasa di mata orang lain. Jangan mudah menyimpulkan."
📷📷📷
"Hah? Itu bukannya Fadil? Kok dia malah akrab banget sama Gevan sekarang?"
Nara masih mengamati cowok itu. Samar terdengar percakapan mereka. Tentang Fadil yang memaksa Gevan untuk ke kantin, tapi dibalas Gevan dengan gelengan. Gevan sama sekali tak tampak marah, rautnya netral seperti biasa. Bagaimana bisa?
"Haha, udah gue duga. Dia nggak bakal mau di ajak ke kantin. Dia mah ambis banget, baca mulu tiap detik, tapi rengking tetep standar," cibir teman Yeni tak putus-putus.
"Aduh, Le. Lo kok julid banget," ucap Yeni tak tahan dengan mulut temannya itu.
"Kan kenyataannya, Yen. Dia tuh lebih suka di perpus daripada kantin."
"Jadi Gevan suka ke perpus?" tanya Nara mulai menggali informasi yang ia butuhkan.
"Iya, dia suka ke perpus pas istirahat kedua."
"Terus dia suka ke mana lagi?"
Mendengar pertanyaan Nara membuat Yeni dan temannya itu terdiam. Untuk apa Nara menanyakan hal itu?
"Eh, maksudnya, gue kayak pernah liat dia di suatu tempat. Tapi gue nggak yakin itu dia. Kali aja gitu, hehe," tukas Nara berusaha menggunakan alasan yang logis agar mereka tak curiga.
"Oh," teman Yeni mengangguk. "Gevan juga suka ke lapangan basket. Main basket sendirian. Gue nggak ngada-ngada ya soal ini, banyak kok temen kelas yang liat. Dia itu jago banget main basketnya tapi nggak pernah mau gabung di tim basket sekolah, dan lo tau kenapa?"
Nara menggeleng cepat.
"Gosipnya, dia bermasalah sama ketua tim basket."
"Ketua tim basket?" tanya Nara terkejut.
"Iya, Dero Angkasa anak kelas sebelas IPS 2 itu."
Kini Yeni menyenggol bahu Nara. "Anak kelas lo dong?"
Nara yang dari tadi mematung kini tersentak. "Eh? Iya. Ya udah ya, udah mau masuk. Gue ke kelas dulu," pamit Nara sambil bersiap berdiri.
Keduanya mengangguk dan melambaikan tangan hingga akhirnya Nara menghilang di ujung pintu.
***
Sepanjang hari Nara terdiam. Masih memikirkan segala kerumitan mengenai cowok itu. Nara masih berusaha mengaitkan satu hal ke hal lain tapi tetap tak memberikan jawaban dan kini, cowok di sebelahnya memiliki hubungan dengan Gevan. Tapi ada apa?
"Ro," panggil Nara pada akhirnya.
"Dalem," jawab Dero sambil mengerjakan soal pilihan ganda.
"Nggak jadi." Nara mengurungkan niatnya. Tapi tiga detik kemudian, ia memanggil kembali. "Ro."
"Apa?"
"Enggak jadi."
Dero menatap Nara malas. Lalu lanjut mengerjakan tugas.
"Ro."
Dero hendak mengomel pada gadis itu jika saja bel pulang tidak segera mengintrupsinya.
"Oke kita akhiri dulu pertemuan kali ini. Jangan lupa tugasnya dikerjakan, minggu depan dikumpulkan," kata guru Ekonomi itu tegas yang dijawab serempak oleh anak kelas. Ia lalu membereskan buku-bukunya dan segera berlalu.
Nara menghela napas kasar. Sudahlah, ia tidak mau memikirkan apa-apa lagi. Tujuan utamanya, kan, hanya ingin mengetahui isi hati Dero. Buat apa juga ia bersusah-susah memikirkan Gevan.
Nara lalu dengan cekatan membereskan semuanya dan berdiri di sebelah meja Dero. Melihat Dero yang malah asyik bermain ponsel bukannya membereskan buku dan peralatan tulis yang berceceran di meja membuat tangan Nara gemas ingin ikut membereskan.
"Tas, tas, tas lo sinih!" seru Nara sambil menunjuk tas hitam Dero yang tergeletak di bawah lantai.
Dero, dengan mata yang masih terpaku pada layar ponsel, meraba-raba bawah kursinya. Setelah dapat, ia berikan pada Nara.
Tangan Nara dengan cekatan mengambil setiap benda di meja dan memasukannya ke dalam tas beraroma maskulin itu. Setelah rapi, ia tutup resleting tas dan memakaikannya ke punggung Dero.
"Ayo cepetan balik. Gue dah laper nih!"
Dero pun mematikan ponsel seraya tersenyum manis. "Iya, Bawel."
Mereka pun akhirnya melangkah keluar, mulai menuju parkiran. Di sela-sela perjalanan, Nara dan Dero mengobrol macam-macam, hingga tiba-tiba seorang gadis dengan tinggi badan bak model itu melintas dari arah berlawanan dan berhenti tepat di depan Dero. Langkah Dero terpaksa harus berhenti.
Gadis itu lalu berbisik tepat di sebelah kuping cowok itu. "Sampai kapan lo mau lari dari gue?"
Wajah Dero seketika berubah masam. Tatapan matanya menajam dan rahangnya mulai mengeras. "Sampai lo sadar, nggak ada lagi yang bisa diulang."
"Nggak ada lagi?" tanya wanita itu meninggikan nada bicaranya. Telunjuknya terangkat ke depan wajah Dero. "Asal lo tau, Ro, gue udah berkali-kali minta maaf sama lo, dan ini balesannya?"
Dero lalu menggenggam pergelangan tangan wanita itu dengan sangat keras hingga sang gadis meringis kesakitan dan berusaha melepaskan tangannya.
"Lepasin, Ro, sakiiit."
"Lo harus berenti ngejar gue."
"Gue cuma pengen balikan sama lo."
Nara yang melihat pertengkaran keduanya sejak tadi, kini mulai bertindak. Ia tak tahan melihat raut kesakitan gadis itu. Apalagi tatapan-tatapan mata dari beberapa orang yang lewat, ia takut Dero menjadi sasaran gosip berikutnya.
"Dero, udah. Gue dah laper banget, nih. Nggak usah diladenin tuh cewek," ucap Nara malas.
Dero pun akhirnya melepaskan tangan gadis itu. Mereka diam seribu bahasa, seolah hanya tatapan mereka yang saling berbicara. Hingga akhirnya gadis itu pun memilih pergi dari hadapan Dero.
***
Di perjalanan pulang, kepala Nara menyender di punggung Dero. Ia merasa hangat berada di belakang punggung lebar cowok itu. Baginya, punggung Dero memiliki magic tersendiri.
Ngomong-ngomong soal punggung, Nara jadi ingat, bagaimana pertama kali mereka bertemu dan menjadi terikat pada status friendzone. Pada saat itu, Nara yang hendak dijaili oleh kakak-kakak senior saat MOS, tertunduk takut.
"Maaf, Kak, saya lupa bawa barang yang kakak suruh," ucap Nara penuh nada ketakutan di kursinya.
"Kok lo bisa lupa sih? Nanti kalo kita-kita hukum gimana?" tanya seorang kakak kelas menggoda.
"Iya, enaknya kita hukum apa nih? Nyanyi, joget, atau goyang dombret? Hahahahaha," goda kakak kelas lainnya.
"Eh, gue ada lipstik, apa kita coret-coret aja mukanya? Terus suruh keliling lapangan?" ucap kakak kelas yang lainnya dengan senyum sinis.
Saat itu, tiba-tiba Dero bangkit dari kursi. Lalu maju ke depan dan berdiri di depan meja Nara hingga kakak-kakak kelas itu tak dapat melihat gadis itu lagi karena tertutup punggung Dero yang lebar. Seketika, Nara sangat merasa bersyukur dan terbebas dari rasa takut dengan berlindung di balik punggung Dero.
"Ngapain lo? Mau sok jago?" tanya salah satu kakak kelas itu tak suka.
Dero tersenyum sinis. "Seharusnya kalian yang gue tanya. Mau sok jago?"
"Ngelawan lo?"
"Gue kira jaman sekarang bukan jamannya senioritas bully adik kelasnya. Ternyata masih ada aja IQ rendah kaya kalian."
Muka mereka nampak merah. Tersulut ucapan Dero. "Maju sinih lo, gue hukum lo sekarang."
Dero lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Ia menggeser layar beberapa kali lalu membuka sebuah video yang ia ambil tadi secara diam-diam.
"Maaf, Kak, saya lupa bawa barang yang kakak suruh ... kok lo bisa lupa sih? Nanti kalo kita-kita hukum gimana? ... Iya, enaknya kita hukum apa nih? Nyanyi, joget, atau goyang dombret? Hahahahaha ... Eh, gue ada lipstik, apa kita coret-coret aja mukanya? Terus suruh keliling lapangan?" Suara video dari ponsel Dero lumayan terdengar ke seluruh isi kelas. Di dalam video itu juga, wajah-wajah songong siswa kelas sebelas itu terpampang jelas.
Dero mengangkat ponselnya sambil menggoyangkan perlahan."Kalo sampai video ini gue share ke twitter, instagram, whatsapp, dan seluruh sosial media yang gue punya, bakalan viral nggak ya?"
Sejak saat itu, seluruh kakak kelas menjadi takut dengan Dero. MOS berjalan lancar dan Nara sangat berterima kasih pada cowok itu. Apalagi takdir membuatnya sekelas kembali dengan Dero. Mereka pun memutuskan untuk menjadi teman sebangku. Hingga akhirnya mereka menjadi sangat dekat hingga sekarang.
"Loh, Ro, kok berenti?" tanya Nara saat menyadari Dero menghentikan motornya di pinggir jalan secara tiba-tiba.
"Turun dulu."
Nara pun turun dari motor ninja hitam itu.
Setelah melepas helm ia membenarkan sedikit rambutnya ke belakang. "Makan dulu yuk."
Nara menoleh ke kanan. Benar saja, ada sebuah restoran mewah bertemakan korea.
"Serius? Lo yang nraktir tapi!"
"Iya lah masa gue bohong. Pokoknya lo makan sepuasnya di sini, gue traktir semuanya."
"Nggak sia-sia gue punya temen anak sultan, hahaha." Nara dengan segera masuk ke dalam. Sejuknya AC dan wanginya hidangan korea yang menyambut hidung Nara pertama kali.
Setelah mereka memilih teman duduk dan menu, makanan pun datang. Semangkuk odeng dan topokki memanjakan mata Nara dan perut sekaligus.
"Tumben banget lo traktir gue," ucap Nara di sela-sela makan sorenya.
Dero mengambil sebuah buku dari dalam tas dan membuka halaman yang berisikan jawaban soal Geografi. "Karena ini."
Nara melihat isi buku itu. "Jadi lo nraktir gue karena tugas yang udah gue bayar hasilnya kayak gini?!"
Dero mengangguk perlahan.
Nara lalu mengambil bukunya. "Ya Allah, Ro, beda banget ini sama tulisan gue. Jadi gue harus ngulang lagi dong?"
Author Note
Kasian juga si Nara haha, gimana bab 3 nya? Jangan lupa vote yaaa sama komen oke? Tunggu bab selanjutnyaaa
Terima kasih🌈✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro