➖evanescent 1.1
Setiap orang pasti pernah mengharapkan hidup yang baik atau bahagia. Menghabiskan waktu di karaoke bersama teman-temannya, bercanda penuh tawa saat makan malam di meja makan keluarga, melihat matahari tenggelam di laut ataupun melihat matahari terbit di gunung bersama orang tersayang, dan hal sekecil apapun seperti seseorang yang akan selalu ada untuk kita.
Seandainya saja semua kehidupan seperti itu, mungkin saja semua orang tidak akan pernah merasa kesedihan.
Kesedihan saat ia kurangnya interaksi sehingga tidak memiliki teman, makan malam sendirian, tidak ingin pergi ke laut ataupun gunung karena sendiri, atau bahkan menangis dengan keras karena ditinggalkan.
Hidup tidak semudah itu. Itu yang terjadi pada Lee Iseul.
Seorang perempuan muda, yang merasa dirinya sudah tidak berguna. Pekerjaannya yang hampir secara keseluruhan terbengkalai, menjauhi siapapun yang akan mendekatinya, atau mengunci dirinya sendiri di apartemen kecilnya. Lee Iseul ingin mati.
Namun, mati sama seperti kehidupan. Tidak mudah untuk dihadapi.
Iseul hanya berharap jika ia tidak hidup seperti tokoh pria tua-sudah lupa namanya-yang ada di buku Memories of My Melancholy Whores-terjemahan Bahasa Inggris-karya Gabriel García Márquez. Di mana pria tua itu masih hidup di umur kesembilan puluh. Iseul tidak ingin masih hidup di umur seperti itu dengan kehidupannya yang seperti sampah.
Lalu, ada lagi namanya Park Jimin. Teman sejak ia SMP yang selalu dibully oleh kedua temannya, Taehyung dan Jungkook. Mari kita membicarakan seorang Park Jimin ini nanti. Tidak akan pernah bisa dihitung oleh jari jumlah halaman yang dihabiskan.
Namun satu hal yang pasti, Jimin ini menempati posisi terakhir dalam kehidupan yang diharapkan. Selalu ada untuk Iseul.
Iseul menenggalamkan dirinya di bath up, Jimin langsung masuk ke kamar mandi yang untungnya Iseul menggunakan pakaian lengkap. Iseul dengan sengaja terjatuh di eskalator mall, Jimin yang memang ada di sampingnya, langsung dengan cekatannya memegang Iseul agar tidak jatuh terlalu ke bawah. Iseul yang sengaja menyiram tangannya dengan air panas agar tidak ikut rapat di kantor, Jimin langsung menggantikan peran Iseul tanpa disuruh oleh Kim Namjoon-CEO9 di perusahaan mereka.
Jadi, meskipun Iseul sudah tidak ingin hidup, Jimin selalu ada di sampingnya agar Iseul tetap bertahan.
Iseul masih bersyukur akan hal itu.
"Berhentilah berpikir hal-hal yang aneh, Seul."
Iseul yang tadinya terdiam sambil melihat ke arah komputernya yang sudah mati, langsung tersadar akibat ucapan Jimin di depan meja kerjanya. Jimin yang merupakan sahabatnya dengan setelan jas hitam kerjanya.
"Aku hanya berpikir bagaimana tidak mengikuti rapat, Jim."
"Kau tahu jika Kim Namjoon tidak akan memecatmu."
Iya, itu masalahnya.
Meskipun Iseul sangat ingin meninggalkan pekerjaannya sekarang agar ia bisa cepat mati karena pengangguran dan tidak punya uang, seorang Kim Namjoon tidak akan membiarkannya.
Kim Namjoon, kakak sepupunya.
Duh. Namjoon itu akan mengeluarkan kata-kata panjangnya namun sangat terdengar indah daripada membosankan untuk Iseul. Menurut Iseul, Namjoon itu sudah cocok sebagai seorang psikolog atau filsuf. Namjoon juga tahu seperti Jimin tentang semua hal-hal aneh yang bersarang di otak Iseul.
Memang otaknya hanya penuh tentang bunuh diri?
"Kalau begitu, Namjoon saja yang menghentikan diri jadi CEO."
Ttak.
"Berpikirlah yang lebih baik, Seul."
Iseul berdecak pelan. Berdebat dengan Jimin hanya akan membuat kepalanya semakin panas hingga dia kembali berpikir untuk menenggelamkan kepalanya sekalian di air panas. Beruntungnya, itu hanya menjadi pemikiran yang belum menjadi kenyataan.
"Jim, aku kembali bermimpi seorang pria."
Iseul kembali teringat tentang mimpi di tidurnya. Seorang pria yang sama seperti mimpi-mimpi sebelumnya namun Iseul kembali lupa dengan wajah pria itu. Iseul hanya yakin jika pria yang ia mimpikan kemarin malam, sama seperti pria yang pernah ia mimpikan sebelumnya.
"Kau masih yakin jika pria itu adalah pria yang sama seperti mimpimu sebelumnya?"
Iseul mengangguk dengan yakin atas pertanyaan Jimin. Jimin berdecak pelan sebelum berucap, "Iseul, itu hanya bunga tidur. Kata orang, jika kau memimpikan seorang pria yang tidak kau ingat wajahnya saat bangun, kemungkinan besar kau pernah bertemu dengannya. Kemungkinan besar lainnya, kau akan segera bertemu dengannya."
Sejujurnya, Iseul juga pernah mendengar apa yang diucapkan oleh Jimin dari orang-orang di sekitarnya. Mungkin saja, kemungkinan-kemungkinan itu akan menjadi kenyataan. Namun, siapa yang tahu? Iseul saja tidak ingat dengan wajah pria yang mampir dimimpinya.
"Bagaimana jika nantinya aku bertemu dengan pria itu, Jim?"
Iseul hanya penasaran apa yang akan terjadi jika ia bertemu dengan pria yang selama ini ia mimpikan. Tidak perlu hal yang lebih, hanya alasan mengapa Tuhan mengirimkan pria itu dimimpinya dan menemuinya di kehidupan nyata nantinya.
"Maka aku berharap, kau berpikir tentang kebahagiaan, Seul."
Ada sebuah tempat yang menjadi kesukaan Iseul di pinggir kota Seoul. Rumput-rumput hijau yang menemani bersamaan dengan bunga-bunga kecil yang tumbuh di sekitarnya. Tempat yang hampir menyerupai bukit, namun bukan bukit. Setidaknya, Iseul dapat menemui ketenangan di tempat itu selain mengunjungi laut.
Biasanya, Jimin akan menemaninya. Sayangnya, kali ini tidak karena Namjoon meminta Jimin menyelesaikan tugas laporan keuangan perusahaan hari ini. Jimin yang memang dekat dengan Namjoon dan saat itu mereka sedang berdua saja tanpa karyawan yang lain, langsung merengek kecil meminta tugasnya terakhir dikumpul besok atau lusa. Namjoon dengan sikap tegasnya, tetap pada pendiriannya.
Sore ini saat matahari sudah tidak ada di atas kepala, Iseul merebahkan dirinya sambil menatap ke arah langit sore. Membayangkan hal-hal yang bersarang di otaknya.
Tidak berguna. Ingin mati. Harus menjauh. Bahkan pria dimimpinya.
Semuanya berkumpul menjadi satu dalam kepalanya.
Mungkin jika tidak ada Jimin maupun Namjoon di sisinya sekarang ini, sudah dapat dipastikan semua rencana kematiannya, berhasil dalam cobaan pertama. Sayangnya, Tuhan masih sayang padanya dengan memberikan Jimin dan Namjoon.
Apa sekarang Iseul harus menyalahkan Tuhan?
Di sisi lain, ia merasa harus pergi agar tidak merepotkan Jimin maupun Namjoon. Namun di sisi lain, ia harus tetap bertahan untuk menghargai Jimin dan Namjoon yang selalu membantunya.
"Sendirian?"
Sebuah suara mengganggu ketenangannya. Iseul langsung terduduk dan memperhatikan pria yang berdiri tidak jauh dihadapannya.
Terlihat lebih tua daripadanya, bahu lebar yang cocok untuk sandaran, senyum tipis di wajahnya, tubuh yang tinggi, dan jangan lupakan suaranya yang terdengar merdu saat berbicara tadi.
"Siapa kau?"
Iseul memberanikan diri untuk bertanya meskipun sebenarnya ia sedikit ketakutan. Saat ini, hanya ada mereka berdua dan di sekitar mereka sangat sunyi dan tenang. Membuat Iseul memikirkan hal yang tidak-tidak di otaknya seperti penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, bahkan mutilasi.
Oh, ayolah. Iseul memang ingin mati tapi tidak dalam keadaan dimutilasi oleh seseorang yang tidak ia kenal.
"Aku tadi hanya lewat lalu melihat seorang perempuan sendirian sedang berbaring."
Pria itu mendekat dan Iseul tetap berduduk sambil memandang pria itu. Pria itu duduk dengan jarak yang tidak dekat namun tidak terlalu jauh, lalu menatap ke arah Iseul sambil tersenyum kecil. "Perkenalkan. Aku Seokjin. Kim Seokjin."
Kau datang bersamaan senyuman di wajahmu.
Menemuiku di saat terpuruknya diriku.
Aku harap selamanya kau ada di sampingku.
Menemaniku bersamaan senyuman di wajahmu.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro