Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bag. 4

Sore menjelang. Sepasang manusia yang masih duduk di kursi taman itu terlalu asyik mengobrol hingga tidak menyadari perpindahan matahari ke arah barat. Mendapati sinar jingga, barulah si gadis dengan rambut terurai bebas itu berdecak.

"Astaga, ini sudah sore! Aku harus pulang. Nanti, Bunda mencariku!" seru gadis itu, dengan wajah cemas.

"Sebentar, Sadiya. Bukannya kamu sudah berjanji, akan pergi bersamaku malam ini?" Pemuda itu membalas, sedikit kesal terdengar dari nada bicaranya.

"Tapi, entahlah. Aku tidak yakin Bunda dan Ayah akan mengizinkan." Sadiya berujar ragu.

"Kamu hanya perlu beralasan mengerjakan tugas, masalah selesai."

"Tapi, tidak semudah itu ...."

"Coba, Sadiya. Aku berjuang demi bertemu denganmu, demi cinta kita. Apa kamu tidak mau berjuang sedikit?"

"Tapi ...."

"Aku pun dilarang menemuimu sebenarnya. Namun, aku paksakan. Ini karena besarnya cintaku padamu."

"Hirawan ...."

"Sadiya, dengarkan aku. Tidak ada yang salah dengan cinta. Cinta akan menuntunmu pada kebahagiaan. Perlu perjuangan sebentar, lalu kita akan bersama selamanya. Ikuti kata hatimu, itulah petunjuk hidup paling benar."

Sadiya menunduk, menilik pada buku-buku yang menjadi alasannya pada orang tua agar bisa keluar rumah.

"Jam tujuh, aku akan menunggumu di taman ini. Aku harap kamu bisa datang. Karena sebelum kamu muncul, aku tidak akan pernah meninggalkan taman ini."

Sadiya seketika mendongak memandang kekasihnya itu, mencari celah keraguan pada kedua matanya. Namun, keyakinanlah yang ditemukan Sadiya.

"Aku pergi dulu."

<>¤<>

Sadiya menceritakan kegelisahannya pada Marwah--sahabat sekaligus tetangganya. Setelah menyelesaikan ungkapan hatinya, ia memandang jam yang terus berputar. Jarum pendeknya hampir menunjuk angka tujuh.

"Menurutku, apa yang dikatakan Hirawan ada benarnya. Meski kamu sudah dewasa, kamu baru mengenal cinta, jadi tidak tahu sulitnya berjuang mendapatkan cinta." Marwah mendekati Sadiya yang tidak melepaskan matanya dari jam, sementara tangan Sadiya sibuk mengusap-usap buku diary-nya. "Apa yang ingin kamu lakukan sekarang, Sadiya? Apa yang mendominasi perasaanmu sekarang?"

"Ingin bertemu Hirawan."

"Itulah kata hatimu, Sadiya. Cinta itu dari hati. Hati akan selalu menuntun pada kebahagiaan. Percayalah padaku, Hirawan adalah cintamu, sumber bahagiamu. Jika kamu biarkan dia menderita malam ini karena menunggumu, maka kamu pun akan menderita melihatnya sakit besok. Iya, kan?"

Sadiya mengangguk.

"Begini saja. Pergilah menemui Hirawan. Aku akan menggantinkanmu tidur, agar orangtuamu tidak curiga. Jangan pulang terlalu larut. Jagalah dirimu. Semoga kamu bisa bersama cintamu." Marwah menepuk-nepuk pundak Sadiya.

Sadiya tercenung sesaat. Meski membenarkan ucapan Marwah, tetapi hatinya sedikit terbebani oleh orangtuanya. Ia akan melanggar peraturan orangtuanya jika mengikuti kata hati.

"Pergilah, Sadiya!"

"Ah-ya!" Sadiya tergugup, dan sedikit berlari menuju jendela. Keluar dari sana. Menemui kekasihnya.

<>¤<>

Dingin terasa menusuk. Sadiya menyesal karena memilih kaus tipis malam ini. Dengan bibir sedikit bergetar, ia menyusuri jalanan menuju taman.

Di kursi tempat pertemuannya dengan Hirawan tadi sore, tampak pemuda itu duduk. Saat mendapati Sadiya menemani permintaannya, Hirawan tersenyum lebar.

"Akhirnya kamu datang. Aku pikir, kamu tidak akan memenuhi permintaanku." Hirawan menyambut kedatangan Sadiya, yang dibalas senyuman oleh gadis itu. Mereka duduk di taman.

"Apa yang ingin kamu tunjukkan?" tanya Sadiya, tidak sabar.

"Kenapa kamu terlihat buru-buru, Sadiya? Apa salahnya kita habiskan satu atau dua jam bersama? Aku ingin, malam ini akan menjadi malam paling istimewa dalam hidupku, dengan mengobrol bersamamu."

"Tapi, aku harus segera pulang. Bunda dan Ayah bisa marah."

"Kenapa kamu selalu menyebut orangtuamu, Sadiya?" Hirawan berucap kesal. Ia mengikis jarak antara mereka, demi bisa memandang dengan jelas wajah sang kekasih yang disinari lampu taman. "Lupakan mereka. Lupakan orang lain. Malam ini milik kita, Sadiya. Biarkan malam ini malam bersejarah untuk kita."

Sadiya tersentuh. Tatapan, ucapan, dan perbuatan lembut Hirawan semakin menawan hati Sadiya. Ia menunduk, untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah malu.

"Apa yang kamu suka, Sadiya?" tanya Hirawan.

Sadiya mendongak, memandang Hirawan yang tampak takjub melirik langit. Ia pun melakukan hal sama.

"Kamu tahu, aku sangat suka memandang bintang setiap malam. Entah kenapa, bintang-bintang itu seperti membentuk pola wajahmu, hingga aku betah memandangnya sama seperti melihat dirimu, Sadiya."

Hirawan dengan cepat menjatuhkan arah pandangnya pada Sadiya, membuat gadis itu kikuk lagi.

Oh Tuhan, kenapa cinta semanis ini? Sadiya tidak menyesal mengikuti kata hatinya.

"Sadiya ...." Panggilan lembut itu terdengar dari dari Hirawan, bersamaan dengan punggung tangan Sadiya yang digenggam lembut olehnya. "Kamu kedinginan?"

Sadiya mengangguk. Ia terlalu malu, walau hanya mengeluarkan suara.

"Kenapa tidak bilang? Astaga. Ayo kita ke rumahku. Aku tidak suka jika kamu tersiksa, bahkan walau hanya kedinginan."

Oh, bagaimana hati Sadiya tidak luluh pada pemuda itu? Ucapannya, perlakuannya, sungguh memporak-porandakan hati, dan pikiran Sadiya. Tetapi, sedikit ragu terbesit dalam diri Sadiya, membuatnya sulit bangkit dari tempat duduk.

"Kamu tenang saja. Di rumah tidak ada orang tuaku. Tidak akan ada yang melarang kita."

Perasaan Sadiya semakin tidak nyaman saja. Namun, senyuman Hirawan berhasil menepis semua itu. Tidak ada lagi keraguan. Hati Sadiya mantap menuruti perintah Hirawan.

<>¤<>

PUCIL'S CONTACT :
Wattpad : Es_Pucil
Instagram : @espucil_
YouTube : Es Pucil Kyut
Facebook : Es Pucil III

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro