Bag. 2
Hari menjelang sore. Hanya beberapa saja tamu yang masih berada di rumah. Dua keluarga besar yang baru saja bersatu tadi pagi itu sedang berkumpul di ruang keluarga. Tegang. Begitulah suasana di sana.
"Kalian itu pengikut apa, sih? Kenapa pakai nama Sadiya sebagai walinya Atthaya? Kenapa bukan Pak Hirawan?" Begitu kata paman Azka--Haekal.
Orangtua Azka membisu. Pengetahuan mereka tentang maksud keluarga Hirawan tidak seminim Haekal. Mereka mengerti, hanya saja terkejut dengan fakta tersebut.
"Atthaya anak Anda kan, Pak Hirawan?" Haekal melanjutkan, memandang sinis pada Sadiya dan suaminya. "Apa kalian dengar bisik-bisik mereka tadi? Nama keluarga kami tercemar karena tindakan Anda! Saya tidak tahu Anda ini pengikut aliran apa, tapi setidaknya bicarakan dulu sebelum Anda mengambil keputusan!"
Hening. Hirawan beserta keluarganya bingung untuk memberikan jawaban apa. Karena, keputusan mereka memang diambil sehari sebelum pernikahan ini terjadi.
"Apa ini alasan Anda menelpon saya semalam? Ingin mengubah pernikahan mewah ini menjadi tertutup?" Farhan--papa Azka--angkat suara. Ia memandang besannya itu, dan hanya kebungkaman yang Sadiya beserta suaminya berikan. "Atthaya anak hasil perbuatan kotor kalian?"
"Iya." Hirawan menjawab, pelan. Ia memberanikan diri. Bagaimanapun, ia sudah mengambil keputusan besar ini. Maka, semua konsekuensi harus dihadapinya dengan berani. "Atthaya hasil perbuatan khilaf saya dengan Sadiya."
"Lalu, kenapa tidak dibicarakan sebelumnya?" Farhan berbicara penuh penekanan. "Ini mempermalukan keluarga kami. Kalau kalian tidak punya malu, terserah. Nama baik kami tercemar. Putra tunggal penerus Titanic Group menikahi anak kotor hasil zina! Itu aib!"
"Pak Farhan!" Hirawan menggeram. "Putri saya suci, Pak. Dia sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan perbuatan saya!"
"Apa maksudnya?" Haekal, yang memiliki pengetahuan minim akan hal ini, bertanya bingung. Ia memandang kakaknya dan keluarga Hirawan secara bergantian.
"Hanya anak hasil zina yang memakai nama ibunya sebagai wali." Rita--ibu Azka--menjawab.
"Apa-apaan ini? Anak hasil zina? Kalian ... benar-benar membuat nama kami buruk di mata masyarakat!" Haekal tidak segan berteriak.
Hirawan ingin membalas ucapan Haekal, tetapi ditahan oleh Sadiya. Ia menguatkan suaminya. Ini adalah salah satu resiko yang harus mereka terima akibat mengikuti kenikmatan singkat dari nafsu yang sempat membutakan di masa lalu.
"Seharusnya, kalian beritahukan ini pada kami," ucap Rita. Berbeda dengan ekspresi adik ipar dan suaminya, ia tampak lebih tenang. "Lagipula, kenapa kalian harus menunjukkan status Atthaya yang sebenarnya? Banyak anak hasil zina di luar sana yang menikah, tetap menggunakan nama ayahnya. Kalian pun bisa begitu. Lagipula, ini kan aib. Bukankah aib sebaiknya disembunyikan?"
"Aib kami sudah kami tutup. Tapi untuk kebenaran mengenai status Atthaya, tetap harus kami lakukan. Ini perintah Allah, harus saya laksanakan." Sadiya mengambil alih untuk menjawab, dikarenakan suaminya seperti tersulut emosi. Harga dirinya diinjak-injak.
"Anda terlalu naif, Bu Sadiya. Apa yang Anda dapatkan dari kejujuran Anda? Dihina! Apa Anda tidak dengar para tamu membicarakan kami tadi?" Haekal berujar penuh emosi.
"Setidaknya, saya tidak menambah kesalahan lagi seperti dulu." Sadiya menjawab tenang.
"Munafik! Lalu bagaimana dengan ucapan orang-orang? Mereka terus menggunjing tentang kami? Bagaimana dengan nama baik keluarga kami?"
"Ucapan orang lain hanya bersifat sementara, sementara dosa saya akan dipikul hingga hari kiamat. Saya tidak mau menambah dosa lagi dengan berbohong tentang status Atthaya," ucap Hirawan setelah agak tenang.
"Gila!" Haekal berteriak. "Kakak, bicara! Ini tidak bisa dibiarkan. Pernikahan ini tidak boleh dilanjutkan! Nama baik keluarga kita akan hancur, Kak! Hancur!" Haekal memandang Farhan yang terlihat bingung.
"Papa ...." Azka yang sedari tadi terdiam menyaksikan perdebatan ini, ikut berbicara. "Itu hanya masa lalu. Lagipula, mereka sudah berusaha yang terbaik. Apa salahnya jika Atthaya anak hasil zina? Dia tidak tahu apa-apa."
Farhan tetap diam.
"Mereka bohongi kita, Pa," ujar Rita, terpengaruh dengan penjelasan Haekal. "Pernikahan ini tidak bisa dilanjutkan. Bukannya Papa benci dengan orang-orang pembohong seperti mereka ini?"
"Pa ...." Azka memelas.
"Azka ....." Farhan memandang putranya. "Ceraikan Atthaya!"
"Papa ...!" Azka mencoba mencegah. Namun, keluarganya memilih keluar dari ruang keluarga. Bersama dengan itu, Atthaya yang sedari tadi mencoba menguatkan dirinya, kini luruh dalam isak tangisnya.
Sejak mendengar keputusan orang tuanya, Atthaya mencoba menerima. Bahkan, saat mengetahui statusnya itu, ia menangis semalaman. Namun, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Atthaya tidak bisa memilih, terlahir sebagai apa nantinya di dunia.
Azka menilik pada Atthaya yang dipeluk oleh ibunya yang juga mulai meneteskan air mata. Sebelum berbicara dengan papanya, Azka ingin menguatkan istrinya itu terlebih dahulu. Ia mendekati Atthaya, sedikit membungkuk untuk bisa menyentuh kedua pipi istrinya hingga mendongak memandangnya.
"Semua akan baik-baik saja," bisik Azka. Dengan telunjuk, ia menghapus setiap jejak basah di pipi Atthaya. "Percaya, Thaya. Karena Allah, saya mencintai kamu. Dengan nama Allah, saya menikahi kamu. Maka dengan bantuan Allah, saya akan mempertahankan kamu."
Atthaya menunduk. Ia malu. Seharusnya, ia ikut berjuang seperti Azka, bukan malah menunjukkan sisi lemahnya. Cepat-cepat, Atthaya menghapus semua air mata yang masih tersisa. Ia tersenyum hangat saat mendongak memandang Azka.
"Bismillah."
<>¤<>
PUCIL'S CONTACT :
Wattpad : Es_Pucil
Instagram : @espucil_
YouTube : Es Pucil Kyut
Facebook : Es Pucil III
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro