7
Ada yang sepemikiran?
...
Untuk langit tinggi yang tak membiarkan mimpi-mimpi terbang, mimpi itu tersesat di awan, menggenggam petir, bertabrakan hujan. Dijatuhkan membumi, untuk tumbuh sebagai pijakan.
"Gue ke toilet dulu," ujar Arsan saat mereka sudah sampai di Bandara Makassar.
Aura mengangguk lantas duduk di salah satu kursi panjang yang ada di sana. Saat menyalakan data ponselnya, sebuah pesan masuk.
Raksa
Kalo udah nyampe langsung ke Astro Hotel, lantai 5 no 25.
Perempuan itu melirik ke sekeliling, bandaranya cukup ramai. Jam menunjukkan pukul empat sore dan langit sedang cerah-cerahnya. Beberapa menit berselang, Arsan belum muncul juga. Aura berinisiatif menelepon kakak kelasnya itu, takut ada apa-apa.
Panggilannya ditolak, beberapa detik kemudian sebuah pesan kembali masuk, kali ini dari Arsan.
Arsan
Ra, gue barusan dikasih tau yang jemput, jadi gue langsung ikutin dia, ini baru nyampe di mobil. Lo bisa ke sini sendiri kan? Gue ngantuk banget, parkiran baris ke enam, Alya item plat DD1199A
Aura tersenyum, ia kemudian mengetikkan sebuah kata, 'Oke'.
Seraya menuntun koper miliknya, Aura mendengarkan musik yang ia putar melalui earphone yang kini ia pasang di telinga. Bandara di Makassar luas, Aura sempat kebingungan mencari letak mobil yang dimaksud.
Hiliran angin sore menerpa anak rambutnya, setelah berjalan cukup melelahkan akhirnya Aura menemukan mobil yang dimaksud.
Seorang pria yang duduk di kursi kemudi membuka jendela, kemudian mempersilahkan Aura masuk, untuk duduk di depan. Pria itu mengenakan kacamata hitam, topi, juga masker.
Tanpa banyak bicara Aura masuk, kemudian melirik ke belakang melihat tubuh seorang cowok dengan hoodie yang menutupi wajahnya, betul hoodie yang dipakai Arsan. Sepertinya cowok itu kelelahan, apalagi setelah banyak bercerita tentang masa lalunya yang menaruh luka cukup dalam. Emosinya kentara, namun selalu Arsan tutupi dengan senyum yang menenangkan.
Aura tidak mau mengganggu, ia pun sibuk dengan ponselnya.
Perjalanan memakan waktu sekitar 25 menit, yang kemudian membawa Aura ke depan sebuh hotel bertuliskan Astro.
Pria tadi membantu Aura mengeluarkan koper di bagasi. Aura kemudian membuka pintu penumpang, untuk membangunkan Arsan dari tidurnya.
Namun saat ia menyentuh lengan hoodie tersebut, rasanya berbeda.
Aura kemudian menarik penutup kepala hoodie yang mungkin menutupi wajah Arsan, tetapi ketika kain itu ditarik, yang ia lihat adalah boneka jerami.
Bisa Aura rasakan bulu kuduknya meremang seketika. Perempuan itu terkejut, bingung, dan takut, semua rasanya menjadi satu. Ia kemudian merasakan lengannya ditarik ke luar. Pria tadi menutup pintu dan menguncinya dengan remote yang ia bawa.
Aura mencoba mengejar langkah pria yang kini sudah kembali memasuki pintu kemudi. Perempuan itu mengetuk kacanya dengan keras, namun mesin mobil kembali dinyalakan.
Ia melihat sekeliling, kemana orang-orang? Kemana satpam hotel, atau resepsionis yang bisa ia mintai tolong? Tapi tak ada orang sama-sekali.
Mobil itu melaju, cepat. Aura seakan terhipnotis oleh keadaan. Ia menjadi kebingungan, tangannya memegang pegangan koper erat. Lutut perempuan itu melemas, tak satu pun kata keluar dari mulutnya. Ponsel yang ia genggam dengan satunya bergetar, namun Aura hanya bisa mematung di tempat.
Kakinya tidak bisa ia gerakkan untuk mengejar mobil, atau suaranya untuk berteriak setidaknya memanggil nama Arsan. Setelah mobil itu hilang dari pandangannya, angin dingin kembali menyelusup ke anak rambut Aura dan meriakkan beberapa helainya.
Motor dan mobil kembali berseliwer di jalan yang tadi nampak kosong, beberapa orang terlihat berjalan.
Aura menatap langit, mengedipkan matanya yang kemudian menurunkan cairan hangat.
"Heh lo kenapa?"
Raya, iya itu suara Raya, Aura bisa mendengarnya dengan jelas. Raya membalikkan bahu Aura untuk menghadap ke arahnya.
"Daritadi dipanggil kok nggak nyaut ni anak," ujar Nano yang menyusul dari belakang, ada Raksa juga di sana.
Aura mengedipkan matanya beberapa kali, kemudian tergagap, "Kak Arsan."
"Kenapa Arsan?" tanya Raya mengerutkan dahinya.
***
"Ya kita harus tunggu 1x24 jam kalau mau laporan," ujar Raksa menimbang, kedua tangannya bertaut, bertumpu pada pahanya.
Mereka tengah berkumpul di kamar Raya dan Aura. Seusai menceritakan semua detail kejadian yang menimpanya, mereka semua mencari cara penyelesaian sebelum melakukan laporan.
"Bilang Pak Willis aja, sih?" ucap Raya menatap tiga orang di depannya secara bergantian.
"Apa yang lo harapkan dari om-om cupu kayak dia?" Raksa meantap Raya sinis.
"Gimana kalau kita cari dia malem ini?" Aura yang baru kembali bersuara mendapat tiga atensi.
"Cari ke mana?" nada Nano berucap mustahil.
"Ya ke mana aja!" perempuan itu memegang gelasnya lebih erat.
"Lo ingat plat nomornya?" Raya melirik Aura, yang langsung membuat Aura membuka ponsel dan melihat chat terakhir dirinya dengan Arsan.
DD1199A
Keempatnya mulai mencari tahu informasi nomor plat mobil tersebut di situs-situs web. Namun sial, sepertinya terjadi manipulasi. Website resmi pun tak dapat menemukan plat nomor aktif dengan nomor mobil yang ditumpangi Aura.
"Nggak ada anjing!" Raksa mengacak rambutnya.
Semuanya nampak lelah, jam masih menunjukkan pukul tujuh malam.
"Ada!" Nano berkata cukup keras.
Tiga orang lainnya mengerubungi Nano yang berada di depan laptop, "Ini aneh, sih!" cowok berkacamata itu menggelengkan kepalanya.
"Plat nomor curian!" pekik Raya terkejut. "Apa-apaan ini, gue harus hubungi Pak Willis sekarang," ujarnya membuka ponsel.
Beberapa menit mencoba namun nomornya tak terhubung. "Kenapa, sih?!" umpat Raya kesal.
"Lo semua pikirin apa yang gue pikirin gak?" tanya Aura memulai
Hening beberapa saat, keempatnya saling menatap.
"MUSEUM LA GALIGO!" ujar mereka semua kompak.
"Tapi gak ada kendaraan," Nano kembali mengecek internet.
"200 meter dari sini ada tempat rental motor," Raksa masih menggulir layar ponselnya, "Kita jalan aja ke sana, cepet siap-siap!" Cowok itu mengisyaratkan Nano keluar kamar Raya dan Aura.
Aura dan Raya saling bertukar pandang, "Sebenernya kita kenapa, sih, Kak?" tanya Aura, namun perempuan di depannya juga menggeleng.
"Gak apa-apa, kalau bareng-bareng, kita bisa kok. Gue sebelumnya punya feeling gak enak, sih. Taunya Arsan ilang, ada-ada aja."
Raya menepuk bahu Aura, "Gue mandi duluan."
Aura mengangguk, kemudian merenung di tempatnya. Ia membuka ponsel dan melihat tak satu pun pesan masuk ke ponselnya, pesan yang ia kirimkan pada adiknya pun tak terkirim, begitu juga pada Prof (ayahnya) juga ibunya.
Ia merangkai kejadian di kepala, apa Arsan diculik kemudian dipaksa menghubunginya untuk memasuki mobil sore tadi?
Jika iya, kenapa dirinya dibebaskan? Kenapa penculik itu tidak takut ia laporkan? Kenapa bisa semua pakaian Arsan melekat pada boneka jerami yang semula ia kira itu adalah Arsan yang tengah tertidur.
Perempuan itu menghela napas, semoga semuanya baik-baik aja.
Ting...
Bunyi ponsel terdengar, bukan milik Aura, namun milik Raya. Ponsel itu di sebelahnya, otomatis Aura bisa melihat pesan pop up yang tertera di layar.
Arsan
Ya, gue bingung ...
Mata Aura membulat seketika, tangannya mendingin.
Arsan
Gue masih sama Aura
Tapi kayaknya kita berdua nyasar
*foto*
Tangan, bahu, dan tengkuk Aura meremang seketika. "Kak Rayaa," panggil Aura ingin menangis.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro