6
A/n : Yang baca cerita aku setiap chapternya itu ribuan, coba kalo satu akun satu komen, beuhhhh komennya rame, ribuan jugaaaa.
Tapi aku sayang kalian yang selalu spam komen.
Bantu ramein cerita ini ayoo, akutu gangerti lagi gimana cara ngajak kalian yang introvert komen. 🥺
Tapi beneran, komen kalian ngaruh banget ke semangat aku nulis.
Makasih selalu ada.
Makasih selalu ada.
Tapi mengapa tiba-tiba.
Happy reading!
...
Sesaat setelah jatuh, aku tau bagaimana rasanya terluka cukup jauh.
🦋
"Di mana ih?" Raya mamasukkan roti ke dalam mulutnya, sementara tangan kiri memegang ponsel yang ia rapatkan ke telinga. Raya sedang berada di bandara bersama Nano, Raksa, juga Arsan.
"Gue masih di rumah, Kak. Kenapa?"
"Ha? Kenapa kata lo?" Nada suara Raya meninggi, "Lo gak cek grup? Penerbangannya jadi pagi ini."
"APA? Berapa lama lagi?" dari seberang telepon jelas nada suara Aura terkejut.
"Lo masih punya waktu 20 menit."
Tut... tut... tut... Sambungan terputus.
Sepuluh menit kemudian mereka masih menunggu Aura yang kini tidak bisa dihubungi. Sebentar lagi pesawat take off. "Kalo ga masuk sekarang nanti kita ketinggalan," ujar Nano melirik arlojinya.
Ting
Sebuah pesan masuk ke ponsel Arsan, sesaat ia membaca pesan tersebut. "Kata Pak Willis jangan sampe kita ketinggalan, kalau ada apa-apa pastiin saling back up."
"Ya udah, kita masuk duluan aja, gimana? Biar ga makin lama." Raya menatap ketiga temannya, alhasil mereka setuju.
***
"Delay, please." Aura menggigit bibir bawahnya, taksi yang ia tumpangi melaju cukup cepat namun waktunya tidak cukup. Sekarang pukul 07.28, yang artinya dua menit lagi pesawat take off.
Raksa
Pesawat delay lima menit, lo bisa lebih cepet?
Notifikasi dari Raksa membuat Aura lebih tenang beberapa saat. 07.33 ia sampai di bandara. Tidak ada yang bisa dihubungi, karena aturan mematikan ponsel pasti dipatuhi semua anggota Sin1.
Aura sudah ingin menangis, ia berlari ke arah pengecekan boarding pass. Belum ia sampai, lututnya melemas saat mendengar pengumuman pesawat yang seharusnya ia tumpangi telah terbang meninggalkan landasan saat itu juga.
Rasanya, ingin menangis saja. Penerbangan memakan waktu enam jam, apa ia harus menunggu kabar selanjutnya untuk bertindak? Atau justru ia membeli tiket baru untuk penerbangan selanjutnya?
"Aaaa sial!" umpat Aura yang bahkan masih memegang kopernya.
"Lo pasti belom sarapan."
Mendengar suara di belakangnya, Aura refleks berbalik. Sepasang remaja seusianya berjalan semakin menjauh. Aura kira, pertanyaan itu dilontarkan untuknya, karena suara yang cukup familiar.
Perempuan itu menghela napas, "Gak mungkin!"
"Mungkin kok, nyariin siapa?"
Bahu kiri Aura ditepuk, perempuan itu melirik siapa yang menepuk bahunya, "Kak Arsan?" tanya Aura bingung.
Arsan mengangguk, "Iya, yuk sarapan dulu, kita ikut penerbangan jam sebelas."
"Kak Arsan telat juga?" Aura bertanya penasaran, genggaman ia pada koper dilepaskan saat Arsan berinisiatif membawakan koper Aura.
"Gue tadi udah naik, untungnya masih bisa turun, kasian kalo lo sendiri, seenggaknya ada temen lebih baik, Ra."
Aura mengangguk, "Makasih, ya!"
"Santai," ujar Arsan kemudian duduk di salah satu kafetaria yang ada di bandara. Mereka memesan roti bakar dan teh hangat untuk sarapan. "Ngapain ya kita sampe jam sebelas nanti?"
Keduanya tak punya rencana, hingga setelah berpikir beberapa saat, Arsan berdehem pelan. "Kita cerita-cerita aja, ya?"
***
"Harusnya gue yang tadi turun." Raksa menatap lurus kursi di depannya dengan ekspresi kesal.
Raya dan Nano menoleh bersamaan, "Apa, sih, lo." Raya menanggapi.
"Kenapa harus Arsan? Kenapa gak lo aja gitu, No," kesal Raksa lagi.
"Apa, sih, lo," ujar Nano meniru gaya bicara Raya.
"Lagian nih ya, mau Aura sama siapa juga, yang penting anggota Sin1 dan tujuannya sama. Kayak ke siapa aja lo, Arsan sama lo temenan juga udah lama, cemburuan amat." Raya mengeluarkan kotak bedak miliknya kemudian becermin.
"Cemburu lo bilang?" Raksa terkekeh, "Gue cuma ngerasa yang jagain Aura tuh harus punya tanggung jawab lebih aja, secara dia rese dan kekanak-kanakan. Gak ada cemburu-cemburuan!"
"Yayaya, terserah lo. Yang penting sih, kita gak ninggalin dia, Sin1 kan? Solidarity is number 1." Raya tertawa di akhir kalimatnya.
"Salah, lo, Sin itu dosa, 1 itu semua, jadi artinya bikin dosa rame-rame." Nano tertawa lebih kencang.
"Tolol," cibir Raya.
Raksa tidak mengerti kenapa saat ini dirinya cukup mengkhawatirkan Aura. Setelah dari kepolisian dan malamnya ia mengajak Aura berkeliling kota, rasanya Aura membuat candu tersendiri.
Andai saja Raksa menawarkan diri terlebih dahulu ketimbang Arsan, pasti ia sedang bersama Aura sekarang. "Apa, sih, gue!" Raksa mengacak rambutnya, menyadari bahwa pikirannya sedaritadi berpusat pada seorang yang raganya tak ada bersamanya.
Sepanjang perjalanan, Raya bercerita banyak hal, begitu pun Nano, sementara Raksa hanya menjadi pendengar setia serta beberapa kali menanggapi. Hingga tak terasa, lamanya perjalanan yang berlangsung enam jam itu terlumat habis, mereka sampai di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar dengan landing yang aman dan lancar.
Raya beberapa kali mengambil foto di bandara, untuk mengisi feed instagram yang ia tata se-aesthetic mungkin. Nano sibuk memotret Raya dengan berbagai macam pose. Sementara itu, Raksa membuka ponselnya, beberapa panggilan tak terjawab dari Aura pagi tadi. Ia kemudian mengirimkan beberapa pesan.
Astro Hotel, nama itu terpampang di layar ponsel Raksa. Pak Willis sudah memesan dua kamar, yang satu untuk Raya dan Aura, satu lagi untuk Raksa, Nano, dan Arsan. Perjalanan dari bandara menuju hotel berkisar 15 menit.
Jam menunjukkan pukul tiga sore. Sesampainya di Astro, Raya dan kedua temannya berpisah di lorong hotel, kamar mereka bersebelahan. Perempuan itu menjatuhkan dirinya di atas kasur, ia menyadari sesuatu yang janggal. Sejak Arsan menawarkan diri untuk menemani Aura, desibel suara Raksa berubah menjadi lebih berat.
Perempuan itu tersenyum, apa mungkin jiwa lain pada tubuh Raksa menyukai Aura?
Bagaimana rasanya?
Berbagi tempat pada satu raga?
Iya, Raksa adalah seorang dengan jiwa yang pecah.
Raya menggeleng, mengingat hal tersebut membuatnya ingin menangis.
Jika Nano sedang mengerjakan projek mesin waktu, di mana ia belajar mati-matian untuk bisa kembali ke masa lalu, maka Raksa memiliki jiwa lain dalam tubuhnya. Lalu bagaimana dengan dirinya? Raya selalu mendengar dunia begitu berisik, hingga ia kerap kali menuyuruh teman-temannya untuk diam, meski tak satu pun dari mereka mengeluarkan suara.
Dunianya hanya akan sepi saat ia menangis.
Raya tidak tahu, ia tidak bisa melihat hantu, jadi ia tidak yakin bahwa yang ia dengar selama ini adalah hantu. Ia juga bukan Tuhan yang bisa mendengar isi hati manusia. Jadi, Raya anggap ia adalah seorang yang harusnya buta, di mana indra yang diandalkan adalah pendengaran.
Raya menyebut suara yang ia dengar adalah suara buangan, yaitu suara-suara yang dibisikkan manusia saat mereka sendiri, atau saat manusia berbincang dengan angin. Gelombangnya merambat melalui udara, hingga sampai pada telinganya.
Terkadang, itu menjadi beban tersendiri untuk Raya. Karena kalian tau? Saat apa orang-orang berbicara sendiri? Saat sedang gelisah, putus asa, panik, sangat jarang sekali ia mendengar suara seorang yang berbahagia.
Raya tidak tahu apa sisi unik dari Arsan, begitu pun Aura. Mereka hanya tampak seperti murid dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata, itu saja.
Pikiran Raya teralihkan, ia mendengar sesuatu yang menakjubkan. Seseorang dengan puisinya. Perempuan itu mematung seketika,
Gelombang pasang surut berkaitan, dengan purnama mau pun sabit yang jauhnya bak cermin yang ditopang air.
Laut dan langit, berjeda dengan jarak tak dapat dijangkau tatap.
Manusia-manusia, tercipta secara buta.
Mereka meraba, pada peta berisi takdir yang sudah tertata.
...
Komen tembus 1.5K baru aku update lagi xixiixix
Btw, aku pengen bilang ini sama kalian sejak lama.
Buat kamu, yang mungkin merasakan hal yang sama dengan tokoh yang aku tulis, semangat ya!
Aku ngerti, pecah berserakan itu sangat sulit untuk kembali direkatkan.
Cuma, kamu engga sendirian. Kamu bisa lewatin semuanya, apapun yang bikin kamu struggle, itu lebih menguatkan kamu nantinya.
Buat kamu yang enggak merasakan, tapi ada dalam tahap sakit, kecewa, putus asa.
Terima kasih sudah menjadi sangat kuat, dengan tidak pecah.
Aku tau, berat banget, stress banget.
Mungkin, Tuhan sedang rindu kamu.
Dia ingin lebih ditempatkan di hati kamu.
Dan tenang, semua yang terjadi sama kamu udah tertulis. Tugas kita cuma menyelesaikan sebaik mungkin.
Kata-kata aku engga tertata dengan baik, tapi aku harap, kalian bisa ngertiin maksud aku.
Makasih ya!
Salam,
Bellaanjni
JAHAT BANGET GILA
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro