4
Kukira, jiwamu erat, kuat tak berhambur. Nyatanya, Kamu tak lain serpihan tersesak yang enggan terhimpun, pecah dan hancur.
...
Angin lembut bersemilir di luar, menerbangkan dedaunan kering yang sudah tak bernyawa di tangkainya. Aura tengah berbelanja keperluannya untuk training ke Makassar dua hari lagi. Minggu sore ini cuaca cukup hangat.
Sweater rajut kebesaran berwarna abu yang ia kenakan membuat Aura nyaman. Earphone yang ia pasang di telinga dengan volume penuh membuatnya tak bisa mendengar suara di sekelilingnya. Lagu Langit Abu-Abu yang dibawakan penyanyi Tulus mengalun, menemani ia berkeliling toko serba ada ini.
Ya, serba ada.
Sampai Raksa pun ada di sana.
Aura memutar tubuhnya saat ia mengetahui bahwa di depannya ada Raksa tengah mengantre untuk mengambil handuk kecil.
Perempuan itu lebih suka belanja sendirian daripada ditemani. Dan ditemani Raksa bukanlah hal yang baik. Tidak ada masalah, tapi rasanya aneh saja. Aura melepas earphone yang ia kenakan, memasukkannya ke dalam tas kecil yang ia bawa, kemudian pergi dengan terburu dari daerah perhandukan.
"Gue gak akan ganggu lo, gak usah kepedean."
Aura cukup terkejut, terbukti dari roll on untuk masuk angin yang ia pegang terjatuh. Perempuan itu menelan salivanya susah. "Hai, Kak," ujar Aura merasa tolol. Untuk apa ia menyapa Raksa? Padahal baru saja Raksa mencibirnya.
Raksa mengambil dua kotak plester, menyerahkan yang satu ke tangan Aura. "Hai," jawab Raksa datar.
"Kebetulan banget kita ketemu di sini." Aura berusaha mencairkan suasana. Tidak ada yang marah-marah di sini, tapi suasananya tegang mencekam. Hehe, Aura sedikit geli memikirkan kalimatnya barusan.
"Basa basi lo gak bermutu, lagipula gak kebetulan." Raksa beralih pada rak di sebelah kirinya yang berjejer toples-toples permen.
"Lo suka apa kak?" tanya Aura melihat toples-toples seperti yang dilakukan Raksa.
"Kiss," jawab Raksa mengambil toples berisi permen Yupi berbentuk hati.
Aura mengerutkan keningnya, "Tapi permen Kiss yang ini." Ia menyodorkan toples itu pada Raksa.
"Oh tadi lo nanya permen kesukaan? Bilang dong." Raksa terkekeh kecil, membuat Aura bengong dan mengingat-ingat pertanyaan yang dilontarkannya tadi.
"SEMUANYA DIAM DI TEMPAT! JANGAN ADA YANG BERGERAK!"
Suara teriakan tegas yang mengisi toko membuat semua pengunjung terdiam di tempatnya. Kini hening, tak ada suara obrolan. Yang ada hanya suara langkah kaki beberapa orang berseragam polisi.
"Ini ada apa?" tanya Aura bingung, bergeser sedikit dari tempatnya agar semakin mendekati Raksa.
Raksa hanya mengangkat kedua bahunya, menandakan ia tak tahu dan tak peduli.
Langkah polisi itu kemudian mendekati mereka. Di lorong rak permen dan obat-obatan hanya ada Raksa dan Aura.
Dua orang polisi mendekati mereka. Seorang mengambil toples yupi yang dipegang Raksa, membukanya. Kemudian masing-masing dari mereka menggeledah isi keranjang yang Aura dan Raksa bawa.
"Ini di sini!" ujar seorang polisi yang menggeledah keranjang Aura.
"Hah? Apa?" tanya Aura bingung.
Polisi itu membuka kotak plester, dan menemukan dua bungkus serbuk putih dengan plastik zipper kecil di dalamnya. "Kamu ikut saya untuk dimintai keterangan."
Aura semakin bingung, ia menarik jaket hoodie putih yang dikenakan Raksa secara refleks. "Ngg-Nggak mau!" Aura bersembunyi di belakang lengan Raksa.
"Itu saya yang kasih, jadi saya yang harus kalian mintai keterangan." Raksa berujar tenang, kemudian menengok ke bawah ketiaknya, di mana kepala Aura bersembunyi.
"Nah iya, bawa Kak Raksa aja," ucap Aura masih menunduk.
Raksa menaikkan kedua alisnya mendengar jawaban Aura.
"Kalian berdua!" ujar polisi dengan tubuh tinggi berisi.
Kemudian, mereka pun digiring ke kantor.
***
Masuk ke kantor polisi, mereka diminta untuk mengisi berbagai macam formulir. Tapi, hanya Aura yang mengisi. Raksa hanya melipat tangan di depan dadanya sambil bersandar di kursi. Menurut Raksa, ini hanya buang-buang waktu. Toh data mereka nanti tidak diperlukan.
"Gimana kalian ini, masih sekolah belajar yang benar. Terjerumus kan akibat pergaulan yang enggak benar." Salah satu polisi di sana berkomentar.
Ruangan mereka tertutup rapat. Di dalam ada tiga orang polisi dan Raksa juga Aura.
"Itu bukan punya kami," ujar Raksa tak tertarik. "Kenapa kalian tidak cek CCTV? Atau melakukan hal yang lebih bermanfaat? Ini hanya buang-buang waktu."
"Akhirnyaa, banyak banget kayak mau pindah sekolah." Aura bertepuk tangan kecil saat formulirnya selesai diisi. Semua mata otomatis menuju ke arahnya. "Maaf," ucap Aura menganggukkan kepalanya.
"Lagi pula, yang ada di dalam situ bukan C10H15N. Kalian tertipu. Saya tidak tahu kasus yang sedang kalian dalami apa, yang jelas, plastik dalam plester itu bukan sabu." Raksa menatap ketiga polisi itu dengan pandangan yakin.
Salah satu polisi tertawa, "Kita lihat nanti hasil labnya. Sementara, identitas kalian kami jadikan saksi, dan kalian dalam pengawasan," ujarnya.
"Tapi kami dibebaskan?" tanya Aura tak yakin.
Polisi di depan Aura mengangguk, "Jaminannya kartu identitas kalian."
Aura melirik Raksa, "Saya belum punya KTP."
Raksa mendengus geli, "Kami akan melakukan perjalanan ke luar pulau dua hari lagi, kartu identitas kami akan sangat diperlukan."
"Oh, ya? Kalau begitu, bayar biaya administrasinya saja."
Cowok di samping Aura menaikkan kedua alisnya.
"5 juta saja." Polisi bertubuh gempal itu tampak mencatat sesuatu.
Kening Aura berkerut, "Mahal amat, Pak. Untuk apa?"
"Pengganti identitas kalian, nanti kami hubungi lagi untuk pengembalian uangnya jika identitas kalian sudah diserahkan."
Raksa mengambil dompet di saku celananya. "Saya tahu ini tanggal tua." Ia kemudian mengeluarkan kartu berwarna biru. "Tahan aja KTP saya," ujar Raksa tersenyum.
Polisi di depan Raksa berhenti mencatat, kemudian mengambil KTP tersebut. "Ini tidak bisa diambil dua hari kedepan."
"It's ok. Sudah, kan? Selamat bekerja." Raksa bangkit dari kursinya, ia menyentuh lengan Aura untuk mengikutinya. "Gak jelas!" komentar Raksa di ambang pintu. Setelah itu, mereka keluar tanpa ucapan perpisahan pada para polisi.
Keluar gerbang kantor mereka tak menemukan kendaraan yang melintasi jalanan tersebut. Hari sudah petang ternyata, besok Senin mereka masuk sekolah.
Jalanan cukup sepi, hanya ada satu dua motor yang melintas. Mereka berjalan beriringan di trotoar jalan.
Motor Raksa berada di toko serba ada, dan perjalanan mereka menuju sana kurang lebih dua kilo meter.
"Lo gak ada pesen taksi online?" tanya Raksa meskipun tak melihat Aura lesu karena berjalan.
"Ponsel gue mati, Kak."
Raksa mengangguk, ia kemudian membuka ponselnya dan menginstall aplikasi taksi online. "Rumah lo di mana?" tanya Raksa membuat Aura bingung.
Cowok itu kemudian menyerahkan ponselnya pada Aura. Menampilkan alamat kosong untuk diisi.
Aura mengambilnya, mengetikkan alamat rumah. Kemudian, sebuah notifikasi di ponsel Raksa berhasil mencuri perhatian Aura.
Papa: Saya tidak mengharapkan kepulanganmu.
***
TBC..
Xixixixiixxixiixxiixi.
Hayuuu follow ig kepenulisan aku @thinker.belle_
Sama ig aku juga @bellaanjni
Sayang banget akutuh sama Raksa, tapi belum nemu visual yang cocok.
Ada saran?
Salam, Author jahat
Bellaanjni
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro