2
Cinta gak liat nilai matematika.
Jadi bucin gak harus bisa ngerjain fisika.
Apa ngitung perasaan bakal serumit ngitung pembentukan sel di sapi?
Tapi, bukannya cinta itu ∞?
Iya, begonya pun sama: infinity,
Tak hingga῀
-Catatan Aura-
***
Kalian pernah gak sih, mikirin sesuatu sampai pusing padahal itu bukan urusan kalian? Kalian hanya penasaran.
Seperti Aura.
Aura penasaran terhadap The Hidden. Ia jadi takut, jangan-jangan The Hidden itu hantu. Bayangkan saja, seram.
Tuk!
Aura tersadar dari lamunan ketika sebuah pensil mengetuk kepalanya.
"Mikirin apa?" tanya Raksa datar, ekspresinya tak berdosa telah mengetuk kepala Aura dengan pensil yang ia pegang.
Perempuan di depan Raksa menggeleng, "Gapapa."
"Kemaren ada yang bilang gapapa ke gue, besoknya meninggal." Raksa masih berujar datar.
Sementara Aura? Ia membulatkan matanya. "Gue bosen belajar kimia kayak gini, gak menantang!" Perempuan itu melirik jam yang melingkar di tangan kiri Raksa, masih sekitar dua jam untuk mendengar bel pulang.
Raksa berpikir sejenak, "Gue bisa bikin lo gak bosen." Cowok itu bangkit dari tempatnya duduk.
Ia meraih jaketnya yang berwarna hitam, "Pake!" lemparnya pada Aura. Kemudian Raksa memakai jaket putihnya yang tadi pagi ia kenakan.
Aura mencium wangi jaketnya, seketika aroma maskulin menyelusup ke rongga hidung Aura. Kemudian perempuan itu memakainya.
"Gue mau belajar di tempat lain," ujar Raksa pada orang yang ada di dalam ruangan, namun tak ada yang menggubrisnya karena yang lain sibuk dengan soal di hadapan mereka.
Raksa mengisyaratkan Aura mengikutinya. Sepanjang koridor, mereka berjalan bersampingan. Ini jam pelajaran, jadi koridor tak terlalu ramai.
Hanya saja, lapangan olahraga dipenuhi murid kelas Raksa. Beberapa orang menyapanya, namun tak menyapa Aura.
Hingga akhirnya, mereka sampai di parkiran.
"Eh, mau ke mana? Kita kan masih jam pelajaran?" jelas, Aura bingung. Terlebih saat Raksa menyalakan mesin motornya. "Gue gak ada helem," lanjut Aura.
"Naik, gue pinjemin ke pos."
Akhirnya, Aura menurut. Mereka berhenti beberapa saat depan pos satpam. Pak Diko memberikan helem berwarna putih yang langsung dipakai Aura.
"Kita gak dilarang?" tanya Aura saat mereka melewati gerbang sekolah.
"Pinteran dikit pertanyaannya," komentar Raksa lantas membelah ramainya jalanan.
Iya juga, sih. Kalau dilarang pasti sekarang gak ada di jalanan gini. Aura menghela napasnya.
Ini jam setengah tiga sore, dan Aura diajak ke salah satu pusat perbelanjaan kota.
"Kita belajar di sini? Yang bener aja, Kak!" Aura melihat sekeliling.
Raksa tetap melangkah, menuju antrean tiket film, ia memberi atensi pada pelayan tiket lantas memesan dua untuk jadwal film pukul lima sore. "Ketika dua atom atau ion 'berpegangan' dengan sangat erat, dapat dikatakan
bahwa di antaranya terdapat suatu ikatan kimia."
Aura masih mencerna perkataan cowok itu, aneh sekali dia.
"Olimpiade gak mungkin bahas tentang dasar ikatan kimia, Kak." Aura melirik Raksa, tersenyum.
Dua detik, Raksa menatap Aura. "Siapa juga yang lagi ngomongin materi olimpiade."
Aura mematung beberapa saat. Mengingat kalimat yang Raksa ucapkan. Darahnya berdesir, namun jika dipikir-pikir, Aura harap dirinya salah tangkap makna dari ucapan Raksa.
***
Film dengan judul OPERA itu mampu membuat setiap kursi bioskop terisi. Karya yang bermula dari sebuah novel dan berhasil dipinang produser film internasional itu kini menyedot atensi semua orang yang berada di dalam ruangan, kecuali Raksa.
Cowok itu tak nyaman.
Punggung kursi yang ia tempati di tendang-tendang kecil oleh seorang di belakangnya, membuat bunyi berisik yang menurut Raksa mengganggu.
Ia tahu, bahwa ada orang-orang dengan kelainan seperti itu. Restless Leg Syndrome, atau juga dikenal sebagai penyakit Willis-Ekbom, yaitu gangguan sistem saraf yang menyebabkan dorongan besar dan tak tertahankan untuk menggerakkan kaki.
Dan kemungkinan, seorang di belakang Raksa mengalami hal tersebut.
Wajah galak Raksa tertekuk bete. Aura menyadari itu.
Raksa melirik ke belakang, laki-laki yang terlihat dua tahun lebih muda darinya auto terdiam.
Aura melirik Raksa, lantas kembali melihat layar.
Beberapa saat Raksa dapat menonton dengan nyaman, namun selang setelahnya, bunyi tendangan itu kembali terdengar.
Aura melirik ke belakang, kemudian melirik Raksa yang mendesah pelan, tangannya terlipat.
Raksa merogoh ponsel di jaketnya. Kemudian menyalakan senter hp. Aura membulatkan matanya ketika Raksa justru bangkit berdiri.
"Lo bisa diem gak sih?" sembur Raksa dengan cahaya senter yang menyorot ke wajah laki-laki di belakangnya tadi.
Aura menutup mulutnya, kini satu bioskop hening. Atensi sepenuhnya tumpah pada Raksa dan laki-laki di depannya.
Raksa menaikkan hoodie jaketnya sampai menutupi kepala, menarik tangan Aura lantas keluar ruangan.
Bisik-bisik terdengar, beberapa memperhatikan Raksa yang keluar ruangan, sisanya memperhatikan laki-laki yang kini wajahnya sudah pasi.
Aura diam, ia hanya... takut. Ketika di rooftop saja, tidak dibentak Raksa rasanya membunuh. Apa lagi dibentak, loncat saja jantungnya ke perut.
"Kenapa?" tanya Aura yang kemudian melihat genggaman tangan Raksa terlepas.
"Gue terganggu," ujar Raksa santai.
"Bukan, kenapa, kenapa lo nyalain flash hp lo?"
"Biar muka dia keliatan dan muka gue engga." Raksa membuka hoodienya, menyisir rambut dengan jari tangan kemudian terkekeh.
Pipi Aura bersemu merah, memanas. Gue kenapa?
"Sorry, pengalaman pertama kita nonton film kesannya gak baik. Gue bayar utang deh kapan-kapan kalo gue lagi mood kita nonton lagi."
"Gak apa-apa, sekarang jam berapa?"
Raksa melirik arlojinya, "Setengah tujuh."
Aura mengangguk. "Jadi, seharusnya kita belajar, kan? Kenapa malah main?"
Cowok itu nampak berpikir, "Gue gak suka belajar. Gue lebih suka memahami apa yang terjadi di sekitar gue, dibanding menghapal dan baca."
"Jadi, apa pelajaran yang lo dapat hari ini?"
"Pupil mata akan mengecil kalau terkena cahaya."
Aura tersenyum miring, "Tapi itu gak ada hubungannya sama kimia. Itu biologi."
Raksa mengangguk, "Ya, dan gue belajar banyak hal biologi hari ini. Salah satu yang lainnya adalah, pupil mata akan membesar, ketika orang tertarik terhadap sesuatu."
"Seriously? Liat di mana lo?"
Raksa menyalakan ponselnya, membuka kamera. Kemudian cowok itu mengarahkan kamera ke depan mereka dengan posisi selfie. "Di mata lo, sekarang."
Sontak, Aura memejamkan matanya.
Cekrek!
***
Hai, apa kabar?
Aku kembali menulis.
Kalau dipikir-pikir, aku seperti penulis yang tidak tahu diri.
Tau kenapa?
Karena kadang, semua kalimat yang kalian baca, kisah yang kalian selami lewat tulisan yang kubuat hanya sebuah pelarian kecil, hanya berupa penampungan dari seorang aku yang sesekali kacau.
Maaf ya, telah membuat kalian membaca bentuk dari kekacauan yang aku ciptakan.
Tapi jangan sampai, ada doa agar aku kacau terus, biar aku terus nulis 🤣
Engga seperti itu.
Aku bakal terus nulis, karena aku tidak tau caranya berhenti. Hanya saja, beberapa ada yang kubagi dengan kalian, beberapa yang lain hanya kusimpan sendirian.
Terima kasih, telah menemani aku. Berkisah dengan aku, membaca tulisanku.
Terima kasih banyak ❤️
Oh iya, sudah lama aku gak buka gerbang dialog dengan kalian yang juga ingin berkisah namun malu.
Biasanya, kalian boleh curhat ke dm instagramku.
Tapi sudah cukup lama aku gak lakukan hal itu dan aku sedikit rindu.
Jika ada keluh kesah, kalian boleh sekedar mampir ke instagram pribadi aku @bellaanjni dan bercerita di sana.
Maaf jika slow respon tapi kuusahakan dibalas semua.
Salam, author jahat
Bellaanjni
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro