Sweater and Ice Cream
Happy World Mental Health Day 💚
⚠️ : suicide thought, self harm, please be a wise reader. Thank you.
[ Yunho X Wooyoung ]
Hidup Yunho tidak spesial seperti kebanyakan orang, malah cenderung membosankan. Kegiatan Yunho sehari-hari adalah berangkat ke kampus, mengikuti kelas pagi sampai siang hari, kemudian dilanjut dengan kumpul-kumpul di kantin bersama San dan Mingi. Tetapi, Yunho tidak banyak mengeluh dan protes. Ia cukup menikmati kehidupannya yang biasa-biasa saja ini.
Sampai Yunho melihat laki-laki dengan sweater hijau muda yang membalut tubuh mungilnya, dan ketika ia berbalik, Yunho dapat melihat dengan jelas senyum manis menghiasi wajah pria itu.
Hanya terjadi selama kurang dari dua menit, namun peristiwa itu merupakan hal yang sangat berarti bagi Yunho.
Jadi, berdasarkan kemampuan stalking Yunho yang di atas rata-rata, ia berhasil menemukan akun Instagram lelaki tersebut. Namanya Jung Wooyoung dari fakultas ilmu komunikasi. Akun Instagramnya tidak begitu ramai, hanya terdapat enam ratus pengikut dan empat postingan, yang dimana postingan terakhir milik Wooyoung diunggah empat bulan yang lalu.
Karena Yunho tidak pantang menyerah, jadi ia memutuskan untuk mengikuti akun Instagram Wooyoung. Tak sampai disitu, Yunho pun turut mengirim pesan kepadanya lewat DM.
Hai, boleh kenalan?
Sedetik kemudian, Yunho menyesal. Ia terdengar seperti pria mesum yang siap memangsa. Tapi kenyataannya tidak begitu kok! Yunho tulus ingin mengenal Wooyoung lebih jauh.
Dan keajaiban pun terjadi. Wooyoung mengikuti balik akun Yunho dan membaca pesannya. Yunho antusias, tangannya berkeringat sementara Wooyoung tengah mengetik balasan untuknya.
👍
Apa maksudnya itu? Emoji jempol? Apakah Wooyoung menyetujui ajakan Yunho?
Meski Yunho bingung bukan kepalang, namun ia tetap menanggapi pesan tersebut dengan baik. Mungkin memang perlu pendekatan ekstra dan lebih dari sekedar pesan singkat. Yunho yakin ia bisa melakukannya.
*****
Keesokan harinya, Yunho tengah mengantri untuk memesan ayam geprek level 5, favoritnya. San dan Mingi sedang berleha-leha di pojokan kantin, menunggu Yunho membawakan pesanan mereka. Dasar teman-teman kurang ajar, batin Yunho. Tentu saja kedua temannya itu memesan ayam geprek level 1, mereka berdua kan tidak sanggup makan pedas.
"Lebih enak es teh atau es jeruk ya?"
Yunho menoleh ke samping dan mendapati sosok lelaki mungil dengan sweater abu-abu tengah bergumam dengan dahi berkerut. Jung Wooyoung. Pria itu serius sekali dalam menentukan pilihannya, sampai-sampai tak sadar bahwa di sebelahnya berdiri seorang Jeong Yunho yang mengirimi pesan kepadanya kemarin.
"Es jeruk lebih enak." Celetuk Yunho, membuat Wooyoung menoleh menatapnya dan Yunho menyadari bahwa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
"Oke." Wooyoung akhirnya menyebut pesanannya dan ikut mengantri bersebelahan dengan Yunho.
"Hai."
Wooyoung kembali menoleh, menatap Yunho dengan alis bertaut.
"Aku Yunho, yang kemarin mengirim DM padamu."
Baru Wooyoung mengerti, mulutnya menganga dan matanya mengerjap beberapa kali.
Ya Tuhan lucu sekali KAHSIWGEOWHEKWLA!
"Hai juga, Yunho." Lelaki itu tersenyum. "Kalau boleh tahu, kenapa ingin berkenalan?"
"Kau menarik, aku ingin mengenalmu lebih jauh." Yunho tidak seharusnya mengatakan itu diawal perbincangan mereka. Wooyoung memang menarik, gemas, lucu, apalah. Tapi seharusnya Yunho memberi jawaban standar seperti 'kuharap kita bisa menjadi teman' semacam itu. Tapi Yunho terlampau jujur, dan ia memang tertarik kepada Wooyoung pada pandangan pertama.
"O-oh." Wooyoung terlihat salah tingkah dan Yunho mendapati wajah lelaki itu memerah.
"Bolehkan?"
Dan seperti balasannya di DM, Wooyoung mengangkat jempolnya sambil tersipu. "Boleh."
Yunho lemah.
*****
"Kenapa senyum-senyum?" Tanya San pada Yunho yang sedang sibuk mengetik sesuatu diponselnya.
Yunho menggeleng dan San mendengus. Sudah hampir tiga minggu teman bongsornya itu bertingkah laku aneh, dan setiap San bertanya pasti Yunho hanya memberi gelengan sebagai jawaban.
"Bye San." Sedetik kemudian Yunho telah berdiri dari duduknya.
"Mau kemana?"
"Pulang."
San melongo, kenapa temannya itu menjadi misterius dalam kurun waktu singkat. Ini aneh. Sangat aneh. Pasti Yunho punya pacar atau mungkin ia terlibat perjudian. Iya kan?! Apalagi yang bisa membuat seorang pria tersenyum bak orang gila kalau tidak melibatkan cinta dan uang?
San bertekad untuk mencari tahu yang sebenarnya.
*****
Sambil bersenandung, Yunho mengirim pesan singkat pada Wooyoung untuk menunggu sebentar karena ia hampir sampai. Yunho menawarkan diri pada Wooyoung untuk mengantarnya pulang, dan terhitung sudah empat kali Wooyoung berakhir menjadi penumpang di jok motor Yunho. Kali ini, Wooyoung kembali mengiyakan dengan menunggu Yunho di parkiran kampus.
"Jeong Yunho, benar kan?"
Yunho mendongak dari ponselnya dan bertatapan dengan seseorang yang tak ia kenal. "Ya, ada apa?"
"Namaku Yeosang dan aku temannya Wooyoung. Beberapa hari ini aku menyadari bahwa Wooyoung terlihat lebih ceria dan suka tersenyum sendiri sambil menatap ponselnya. Sampai aku bertanya dan ia mengaku sedang 'berteman' denganmu."
Wow to the point sekali.
Yunho tahu saat Yeosang menekan kata 'berteman' dalam ucapannya. Mungkin pendekatan adalah kata yang lebih tepat.
"Lalu, apakah ada masalah?" Tanya Yunho tak sabar.
Yeosang menggeleng. "Tidak, tapi tidakkah kau penasaran kenapa Wooyoung selalu memakai sweater meski di siang hari yang panas?"
Lelaki Jeong itu terdiam.
"Aku tidak ingin memberitahumu, biar Wooyoung yang bercerita sendiri ketika ia siap. Tetapi aku mohon, jangan sakiti Wooyoung. Jika kau ingin berpacaran dengannya tolong perlakukan ia dengan baik. Karena sebenarnya ia sangat rapuh."
Yunho tidak mengerti.
"Kau boleh menganggap aku freak tapi memang itulah kenyataannya. Sebagai teman, aku tidak ingin melihat Wooyoung bersedih lagi. Kau bisa melakukannya kan?"
Tanpa diminta pun Yunho akan melakukannya, ia memang menyukai Wooyoung dan Yunho akan melindungi lelaki itu. Maka Yunho mengangguk dan Yeosang tersenyum, kemudian melenggang pergi. Begitu juga dengan Yunho yang kini berlari ke parkiran, Wooyoung pasti sudah menunggunya.
"Hai, Yunho!" Wooyoung melambai-lambaikan tangannya dengan antusias, membuat ujung lengan sweaternya bergerak-gerak.
"Hai, maaf aku terlambat." Yunho lekas memasangkan helm pada kepala Wooyoung. "Mau langsung pulang?"
Wooyoung mengangguk.
*****
Sesampainya di rumah Wooyoung, lelaki itu masih enggan melepas Yunho. Dan Wooyoung menyadari bahwa raut wajah Yunho agak sedikit suram hari ini. Itu tidak biasanya terjadi, Yunho adalah sosok yang periang.
"Aku buat es krim stroberi, Yunho mau?" Tanya Wooyoung sambil menggenggam ujung kemeja Yunho, berharap semangkuk es krim stroberi yang manis dapat membuat Yunho tersenyum.
"Boleh."
Wooyoung langsung sumringah, ia cepat-cepat mengajak Yunho untuk masuk ke dalam rumah, melewati ruang makan dan berhenti di depan kulkas.
"Tunggu sebentar ya." Perintah Wooyoung sambil mengeluarkan semangkuk besar es krim dari dalam freezer dan Yunho hanya tersenyum melihatnya. Kemudian Wooyoung memberi Yunho sendok sementara ia sendiri sudah mulai menyantap es krimnya.
"Ayo dicoba, Yunho."
Yunho menurut, ia mulai menyendokkan es krim tersebut ke dalam mulutnya. Rasanya manis dan sedikit asam, enak sekali.
"Enak kan?"
"Iya, enak."
Wooyoung terlihat senang. "Aku membuat dan memakannya sendiri. Selalu begitu karena Ayah dan Ibu selalu sibuk bekerja, tapi hari ini aku senang bisa makan es krimnya bersama Yunho."
Lelaki yang lebih tinggi tak menjawab, ia sibuk memperhatikan Wooyoung yang masih menyendokkan es krim ke dalam mulutnya dengan semangat.
"Wooyoung."
"Ya?"
"Kenapa kau selalu pakai sweater? Memangnya tidak panas?"
Raut wajah Wooyoung berubah, ia meletakkan sendok es krimnya perlahan ke atas meja. Wooyoung menunduk, kemudian mulai menarik lengan sweaternya ke atas.
Disitulah Yunho baru mengetahui semuanya.
Lengan kiri Wooyoung dipenuhi luka sayat, tidak hanya satu tetapi banyak, seperti dibuat dengan sengaja menggunakan silet. Luka-luka itu sudah mengering namun bekasnya masih terlihat dengan jelas.
"Wooyoung, maaf aku--"
"Tidak apa-apa." Tukas Wooyoung. "Kau penasaran maka aku menjawabnya."
Jemari Yunho lekas menggenggam telapak tangan Wooyoung, menjalarkan perasaan hangat untuk menenangkan pria itu.
"Orangtuaku selalu sibuk dan kami jarang menghabiskan waktu bersama. Kalaupun mereka berada di rumah, hubungan kami tidak dekat. Dan saat itu, yang aku punya hanyalah pacarku."
Wooyoung mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.
"Namanya Yeonjun. Kami berpacaran cukup lama. Tadinya kami baik-baik saja sampai Yeonjun berubah. Ia menjadi posesif, ia selalu melarangku untuk pergi bersama teman-teman, ia bahkan melarangku untuk menghabiskan waktu bersama Yeosang, sahabatku sejak SMA. Kami sering bertengkar dan Yeonjun suka sekali meneriaki aku. Entah itu di kampus atau saat kami sedang pergi berdua."
Membayangkan Wooyoung diperlakukan seperti itu membuat darah Yunho mendidih dengan cepat.
"Hubungan kami menjadi toxic dan akhirnya aku meminta putus. Tapi Yeonjun menolak, ia marah dan menerorku. Saat itu aku takut sekali. Tapi Yeosang mendampingiku sampai aku lepas sepenuhnya dari Yeonjun. Keadaanku memburuk, aku mulai menyakiti diriku sendiri. Membuat luka-luka ini. Orangtuaku tidak tahu dan mungkin jika mereka tahu, mereka tidak akan peduli."
Wooyoung hampir menangis tapi ia tetap melanjutkan ceritanya.
"Aku lelah, aku ingin mati. Maka aku mulai melakukan ini. Rasanya menyenangkan melihat darah dari luka yang kubuat tapi sehabis itu aku gemetaran dan menangis. Sampai Yeosang menyadari bahwa aku tidak baik-baik saja dan ia berusaha berbicara dengan orangtuaku. Dan kau tahu? Mereka merasa bersalah. Mereka memelukku erat sekali dan meminta maaf karena telah mengabaikan aku. Mereka berjanji akan menghabiskan waktu lebih sering denganku, dan janji itu ditepati. Kami mulai bepergian saat akhir pekan meski pada hari-hari biasa aku tetap sendiri. Lalu Ayah dan Ibu membawaku ke psikolog. Aku diobati. Dan sekarang sudah berangsur-angsur sembuh."
Kepala Wooyoung masih menunduk tetapi kemudian ia mendongak, menatap Yunho dengan ragu.
"Jadi, itu alasanku selalu memakai sweater. Karena aku malu dengan bekas luka ini."
Ibu jari Yunho mengusap kulit Wooyoung dengan pelan. "Terima kasih karena sudah mau bercerita. Kau hebat, Wooyoung. This is your battle scars, don't be ashamed about it."
Senyum kecil terbit disudut bibir Wooyoung.
"Setelah kejadianmu dengan Yeonjun, kau tidak takut padaku?"
Wooyoung menggeleng. "Yeosang bilang, aku harus mulai membuka diri pada orang lain. Lalu kau datang dan kau membuktikan bahwa seorang Jeong Yunho adalah pria yang baik."
Yunho tersenyum, ia merengkuh tubuh Wooyoung dengan lembut. Mengusap punggung lelaki mungil itu dengan sayang. "You're so fragile, I wanna hug you forever."
"You're so fluffy, I wanna hug you forever." Balas Wooyoung sambil terkekeh. "Terima kasih karena tetap berada di sisiku, Yunho."
"Anytime." Dan Yunho mengeratkan pelukannya sambil menggoyangkan tubuh Wooyoung ke kanan dan kiri. Keduanya tertawa sampai mereka ingat tentang es krim yang masih berada di dalam mangkuk kini sudah mencair dan berubah menjadi genangan. Wooyoung dan Yunho berjanji akan membereskannya nanti, tapi untuk saat ini, mereka ingin saling memeluk satu sama lain terlebih dahulu.
----
A/N :
Di hari kesehatan mental sedunia ini, aku mau mengucapkan terima kasih untuk kalian semua yang sudah membaca chapter ini. Kalau kalian pernah mengalami kejadian serupa, I'm so sorry to hear that. But you know what? You're strong. Dan terima kasih karena tetap bertahan ❤
And shoutout to my best friend, Mel. Terima kasih karena sudah bersedia menceritakan kisah hidupmu dan mengizinkan aku untuk membuatnya menjadi oneshot spesial ini dan membagikannya kepada teman-teman pembaca. ❤
Terakhir, please mulai perhatikan diri sendiri dan juga orang-orang di sekitar kita. Sekiranya ada dari mereka yang terlihat baik-baik saja tapi ternyata sedang mengalami struggle yang tidak mudah. Kita gak harus kasih nasihat, just be there for them. Encourage them. Because mental health matters ❤
-yeosha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro