Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

An Orange And A Raspberry Back To Manhattan

Part 3 dari series Yeosang dan Mingi 😉

[ Yeosang X Mingi ]

Seminggu di Bali dan mendapat banyak pengalaman baru yang menyenangkan membuat Mingi menghela napas ketika harus kembali menginjakkan kaki di dalam pesawat menuju Manhattan.

"Are you sad?" Yeosang beralih dari layar TV di hadapannya dan menatap Mingi yang kini sedang memainkan kancing kemejanya.

"No, I'm not."

Yeosang tersenyum lalu mencubit pipi Mingi singkat. "Kan sudah kubilang untuk melanjutkan liburan di--"

"Ssstt!" Mingi mengacungkan telunjuknya di depan bibir Yeosang. "Tidak ada liburan, kau harus kembali bekerja."

Dan Yeosang menurut.

Mingi mengucap syukur karena ia tidak gugup lagi selama di penerbangan menuju Manhattan, mungkin karena genggaman tangan Yeosang yang terasa hangat dan menenangkannya. Mingi merasa dilindungi.

*****

Yeosang kembali menghadapi hari-harinya yang sibuk dalam artian kembali ke kantor dan menghadiri segudang rapat yang menanti.

Ngomong-ngomong, Yeosang tidak memberi oleh-oleh untuk Seonghwa, membuat rekan kerjanya itu mengamuk sementara Yeosang hanya menjulurkan lidahnya.

Beberapa kali Yeosang sempat menyinggung tentang destinasi liburan lain yang ingin ia datangi, namun Mingi terus mengatakan untuk saat ini lebih baik Yeosang fokus pada pekerjaannya dan sudah berulang kali pula Yeosang meyakinkan Mingi bahwa ia tidak perlu khawatir, toh perusahaan itu milik Yeosang, ia bisa liburan kapanpun dan di manapun yang ia mau.

Tapi yang Mingi katakan itu benar, Yeosang menjadi lebih sibuk akhir-akhir ini. Ia akan pulang ke rumah larut malam dan terkadang berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya, sehingga interaksi yang keduanya lakukan tak lebih dari sekedar ciuman di pipi sebagai tanda perpisahan ketika Yeosang meninggalkan rumah.

Mingi merasa kehilangan sosok Yeosang, namun ia tidak bisa protes, tidak boleh. Seluruh hidupnya disediakan oleh Yeosang dan oleh karena itu ia harus menjadi Sugar Baby yang baik. Tidak membantah, tidak melawan, dan yang terpenting adalah patuh.

*****

Telepon genggam Yeosang berdering namun ia tidak dapat menemukannya, membuat Yeosang harus memindahkan beberapa dokumen yang berserakan di atas meja untuk mencari sumber suara yang cukup memekakkan telinga itu.

Incoming call from Mingi🍊 ...

"Halo?"

"Hai, Yeosang. Apakah kau akan pulang malam ini?"

Yeosang melirik jam dinding dan waktu telah menunjukkan pukul dua belas lebih tiga puluh menit. "Ya, aku hanya harus menyelesaikan beberapa pekerjaan lagi."

"Oh.." Suara Mingi terdengar kecewa.

"Tidurlah lebih dulu."

"Tidak bisa, kau tahu aku akan bermimpi buruk jika tidur sendirian."

Yeosang mendengus kasar. "Kalau begitu jadilah pria dan lawan mimpi burukmu, Song Mingi! Kau tahu bahwa tidak selamanya kau bisa bergantung padaku!"

Hening beberapa saat sebelum Mingi kembali menjawab. "B-baiklah, kalau begitu selamat malam, Yeosang."

Panggilan telepon terputus dengan napas Yeosang yang tak beraturan, seharusnya ia tidak mengatakan hal tersebut kepada Mingi. Pria itu pasti terkejut dan sakit hati.

"Arghh!" Jemari Yeosang mengacak rambutnya frustasi, ia tidak tahu harus bagaimana sekarang.

*****

"Jadi Mingi memintamu untuk pulang karena ia tidak bisa tidur tanpamu tetapi kau membentaknya dan mengatakan hal bodoh?" Tanya Seonghwa.

Yeosang mengangguk lesu sambil mengunyah toast yang dibawakan oleh sekretarisnya, Jung Wooyoung. Pria itu memekik kaget ketika melihat keadaan Yeosang yang berantakan dengan mata merah dan kondisi perut lapar ketika ia sampai di kantor. Jadi Wooyoung buru-buru pergi ke dapur untuk membuatkan beberapa keping toast dan segelas kopi hitam untuk Yeosang konsumsi sebagai sarapan.

Ngomong-ngomong, semalam Yeosang tidak pulang ke apartemennya. Selain karena pekerjaannya yang masih banyak, ia juga tidak ingin bertemu dengan Mingi untuk sementara waktu. Yeosang menyakiti lelaki yang jelas-jelas tidak bersalah dan sekarang ia merasa sangat kacau.

"Pabo."

"Huh?" Yeosang mengerutkan dahinya.

"Kau tahu pabo? Pabo artinya bodoh dalam Bahasa Korea. Kau itu pabo!"

"Diam atau kupotong gajimu."

Seonghwa langsung menutup mulutnya rapat-rapat.

"Aku lelah sekali semalam dan melampiaskannya pada Mingi." Yeosang menghabiskan toastnya dalam sekali telan. "Menurutmu, apakah aku harus memberikannya hadiah?"

"Tentu saja! Kau menyakiti hatinya, maka dari itu belikan Mingi hadiah yang mahal. Ia pasti akan memaafkanmu."

Mingi bukan tipe manusia yang seperti itu. Yeosang sudah berulang kali membelikannya berbagai barang mewah mulai dari sepatu hingga jam tangan, Mingi memang tidak menolaknya tetapi ia menyimpannya. Ia juga meminta Yeosang untuk tidak membelikannya barang-barang seperti itu lagi, kalau Mingi butuh, ia pasti akan langsung meminta.

Awalnya, Yeosang tersinggung, tetapi kemudian ia paham bahwa Mingi bukan tipikal Sugar Baby yang mengeruk keuntungan dari sang Sugar Daddy. Mingi memang menggunakan uang yang Yeosang beri, tetapi hanya sesekali dan sisanya ditabung. Ia menggunakannya jika butuh, bukan jika ingin berfoya-foya.

Song Mingi terlalu baik dan kini Yeosang menyakitinya.

"Wooyoung, bagaimana menurutmu?"

"Huh? Anda meminta saran dari saya, Sir?"

Yeosang mengangguk, sekretarisnya itu memang ikut sesi sarapan bersama dengan Yeosang dan Seonghwa pagi ini.

"Menurut saya, Anda tidak perlu membelikan hadiah yang mahal atau mewah. Jika Anda meminta maaf dengan tulus, Tuan Mingi pasti akan memaafkan Anda. Permintaan maaf akan lebih bernilai harganya ketimbang barang mewah."

"Memang seharusnya aku meminta saran dari Wooyoung bukannya dirimu, dasar mata duitan." Yeosang mencebik sinis pada Seonghwa. "Baiklah, terima kasih, Wooyoung."

"Kau tidak akan mengucapkan terima kasih padaku?" Tanya Seonghwa sambil menunjuk dirinya sendiri.

Yeosang pura-pura tidak mendengar, namun dalam hati ia merenungi perkataan Wooyoung barusan.

*****

Meskipun Wooyoung berkata bahwa Yeosang tidak perlu memberi Mingi barang, tetapi Yeosang tidak bisa pulang ke rumah dengan tangan kosong. Maka ia membeli sekotak cokelat dengan berbagai bentuk yang lucu dan terdapat pita kecil di atasnya. Memang tidak mahal dan bukan barang mewah, namun manis. Yeosang yakin Mingi akan menyukainya.

Mingi tetap menyambutnya seperti biasa ketika Yeosang berdiri di ambang pintu, wajahnya ceria dan menggemaskan, walau begitu Yeosang dapat menangkap gurat kecewa pada sorot matanya.

Mereka makan malam dan mengobrol seadanya, Mingi juga sempat bertanya kenapa Yeosang tidak pulang semalam dan Yeosang mengatakan yang sejujurnya, tentang pekerjaan dan dirinya yang kacau.

"Apakah kau sudah baik-baik saja sekarang?"

Yeosang mengangguk.

Makan malam berakhir dan Mingi masuk ke dalam kamar, meninggalkan Yeosang yang masih terdiam di meja makan. Entah apa yang ingin Mingi lakukan tapi ia tampak terburu-buru dan Yeosang menggerutu dalam hati karena ia belum sempat meminta maaf.

Secepat kilat, Yeosang meraih kotak cokelat yang ia simpan sejak tadi dan pergi ke kamar mereka. Ia mendapati Mingi sedang duduk memunggunginya di tepi ranjang dan Yeosang mengatur napas beberapa kali sebelum mengucapkan permintaan maafnya.

"Mingi, aku tahu aku sangat berengsek semalam. Seharusnya, aku tidak membentakmu seperti itu. Aku telah berjanji untuk selalu berada di sisimu, bukan karena agar mimpi burukmu tidak datang lagi--well itu salah satunya tetapi alasan terbesarnya ialah karena aku ingin melindungimu. Semalam, aku telah gagal dan menyakiti dirimu, maka dari itu aku meminta maaf--"

"Yeosang?" Mingi menatapnya dengan dahi berkerut ketika ia membalikkan badan. "Sudah berapa lama kau berada di situ?"

"Huh? Aku.."

"Apakah kau sudah berada di situ sejak tadi? Maaf, alat bantu dengarnya kumatikan sejenak."

Yeosang melongo, itu artinya Mingi tidak mendengar pidato Yeosang berisi permintaan maaf dan isi hatinya. Jadi, sia-sia saja Yeosang berucap panjang lebar sejak tadi.

"Apakah kau mengatakan sesuatu?" Tanya Mingi.

Kotak berisi cokelat itu terulur di hadapan Mingi, ia menerimanya dengan wajah kebingungan lalu menatap Yeosang yang kemudian mengangkat tangannya membentuk sebuah pergerakan yang Mingi sangat tahu artinya.

'Aku minta maaf.'

Mingi terdiam, ia menatap tangan Yeosang yang kembali bergerak.

'Maaf karena membentakmu semalam.'

"Yeosang.."

Lelaki Kang itu menubruk tubuh Mingi dan merengkuhnya dengan erat. Ia bisa merasakan Mingi tersentak sebelum melingkarkan tangannya pada pinggang Yeosang.

"Apakah kau bermimpi buruk lagi semalam?"

"Ya."

Yeosang mengeratkan rengkuhannya. "Aku minta maaf, kau tidak seharusnya mengalami hal itu lagi jika aku berada di sisimu."

"Tidak apa-apa, Yeosang. Aku mengerti bahwa kau sibuk dan seharusnya aku tidak mengganggumu."

Keduanya diam untuk beberapa saat, menikmati kehangatan dari tubuh satu sama lain sebelum Yeosang menjauhkan tubuhnya dan menatap wajah Mingi lekat-lekat sementara lelaki itu memangku kotak cokelatnya dengan senyum lebar.

"Ini untukku?"

Yeosang mengangguk. "Aku beli yang itu karena varian rasa jeruk sudah habis."

"Tidak apa-apa, selama itu cokelat, aku tetap menyukainya!"

Yeosang terkekeh lalu membubuhi satu ciuman singkat pada pipi gembul Mingi. Sekarang, ia dapat bernapas lega karena situasi di antaranya sudah membaik.

*****

Mingi menunggu dengan sabar di tepi ranjang sementara Yeosang masih berada di dalam kamar mandi. Kotak berisi cokelat itu telah kosong karena Mingi menghabiskannya dalam sekejap dan Yeosang berjanji untuk membelikannya lagi esok hari.

"Ku pikir kau sudah tidur." Ucap Yeosang sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.

Mingi menggeleng, "Aku ingin memastikan bahwa kau tidak pergi malam ini."

Yeosang tersenyum simpul, ia membungkukkan badan dan mencubit ujung hidung Mingi. "Aku akan menemanimu tidur, mulai sekarang sampai seterusnya. Tanpa pengecualian."

"Kau berjanji?"

"Aku berjanji."

"Kalau begitu, tutup matamu."

Walau kebingungan, Yeosang tetap memejamkan matanya. Ia sempat berpikir bahwa Mingi akan memberinya ciuman sampai ia merasakan sesuatu yang lembut diletakkan pada telapak tangannya.

"Buka matamu."

Ketika Yeosang membuka mata, ia mendapati sebuah sweater rajut berwarna hijau tua yang tampak sangat nyaman.

"Kau membuatnya sendiri?"

Mingi mengangguk. "Akhir-akhir ini kau sangat sibuk dan aku pikir kau harus tetap hangat agar tidak sakit. Jadi aku mulai belajar merajut dan ini hasilnya."

Yeosang tersenyum dan mengusap permukaan sweater itu perlahan, ia benar-benar tersentuh dengan apa yang Mingi utarakan.

"Apakah kau menyukainya?"

"Ya, aku menyukainya. Terima kasih, Mingi."

Sementara Yeosang berdiri di depan cermin dan memakai sweaternya, Mingi berdiri di belakang lelaki itu sambil mengumpulkan keberanian untuk bertanya. "Yeosang."

"Ya?"

"Aku terkejut karena kau bisa menggunakan bahasa isyarat. Sejak kapan kau mempelajarinya?"

"Sejak aku bertemu denganmu."

"Kenapa?"

"Karena jika suatu hari nanti ada sesuatu di antara kita yang tak dapat diucapkan dengan kata-kata, aku tetap bisa menyampaikannya kepadamu lewat bahasa isyarat."

Ia tahu sekali apa yang Yeosang maksud, namun Mingi tidak menyangka bahwa Yeosang akan mempelajari bahasa isyarat dan berpikir sejauh itu untuk mereka berdua.

Mingi tidak mengatakan apapun lagi, namun keduanya saling memandang lewat pantulan cermin di hadapan mereka dan Yeosang dapat melihat kedua pipi Mingi yang bersemu kemerahan.

---

A/N :

Aku gak nyangka kalo imagine ini bakal jadi 3 part but I'm definitely love this series so much. Terima kasih untuk para readers yang udah ngikutin dari awal sampai akhir 😙 (iya part 3 ini endingnya)

Ps : ini pertama kalinya aku nulis threeshot loh, I hope you guys like it 😆

-yeosha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro