Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Asyifa - 8

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Tuhan, bolehkah aku memberhentikan waktu? Aku ingin menikmati detik demi detik merasakan hangatnya keluarga yang jarang sekali terjadi. Jika bisa tolong hapus hari esok, karena aku tau kebersamaan ini akan hilang saat esok hari menjelang"

Author Pov.

Syifa sampai di tempat kerja yaitu di Bank Syariah Amanah, yang berada di pinggir kota dekat dengan pasar Rayung. Jauh memang dari rumah, tapi Syifa bangga dapat bekerja disini karena Bank ini adalah Bank Utama / pusat dari kantor cabang yang tersebar di beberapa kecamatan.

"Apa kabar tim?" Tanya Bu Siska sebagai pimpinan di Bank ini.

"Alhamdulillah, baik sekali" ucap kami kompak.

Seperti biasa, ada briefing morning sebelum melaksanakan tugas. Terkadang kalau Syifa terlambat ia melewatkan briefing morning dan langsung nangkring di kursi CS. Tapi sekarang sudah diperketat, dan ada hukumannya jika terlambat, yaitu berurusan dengan pimpinan. Jadi sekarang Syifa datang tepat waktu begitupun dengan yang lain.

Selesai briefing morning, Syifa dan yang lain pun bubar dan menuju ke counter masing-masing.

Memasang senyum seramah mungkin dan melayani nasabah sepenuh hati.

***

Jam kerja sudah selesai, Syifa bercakap-cakap dulu dengan Nawang yang masih di counternya, ia masih riwut dengan pekerjaannya.

"Gimana hari ini mbak?" Tanya Syifa pada Nawang.

"Yah, seperti biasa Sif. Banyak yang bertransaksi" ucap Nawang disela-sela urusannya dengan beberapa kertas yang Syifa yakini itu kertas laporan.

"Rata-rata kalo tanggal muda pada nabung, ntar tanggal tua pasti penarikan" gerutu Nawang.

Syifa tertawa.

"Jangan menggerutu gitu ah mbak, kan malah bagus pada nabung" ucap Syifa terkekeh.

"Iya bagus Sif, tapi kalo ujung-ujungnya ditarik lagi kan sama aja boong "ucap Nawang.

"Sudahlah mbak, itu kan duit-duit mereka juga. Apa aku bantuin? Tapi lewat doa aja" gurau Syifa.

Nawang mendengus.

"CS gimana Sif?" Tanya Nawang.

"Rame juga mbak, banyak yang buat tabungan" terang Syifa.

Nawang mangut-mangut.

"Mau pulang bareng mbak?" Tawar Syifa. Ini sudah jam pulang kerja.

"Kamu pulang dulu aja, aku masih harus setoran" ucap Nawang.

Syifa mengangguk lalu berpamitan pulang pada Nawang. Nawang sudah menjadi kakak perempuan bagi Syifa, ia adalah perempuan paling peka dan paling mengerti kondisi Syifa. Meski Syifa dan Nawang baru bersama sekitar 1 tahun tapi rasa-rasanya sudah kenal lama sekali.

Baru saja Syifa mau melangkahkan kaki. Ada seseorang menyapa Syifa dari arah berlawanan.

"Hai Syifa, mau pulang?" Tanya Rio. Ia teller seperti Nawang.

"Iya Ri, kamu juga mau pulang?" Tanya Syifa balik.

"Aku pulang nanti Sif, masih ada setoran" ucap Rio.

"Oh, aku pulang dulu ya Ri. Assalamualaikum" pamit Syifa ramah sambil menunjukan senyumnya. Lalu berlalu keluar ruangan.

"Walaikumussalam" balas Rio dengan tatapan kagum.

Asyifa. Tak heran jika banyak orang menyapa atau melihatnya dengan terang-terangan. Siapa yang tak suka Syifa? Wanita baik bertutur sopan dan cantik juga prestasinya sebagai CSO terbaik di Bank tak membuatnya besar kepala. Bagi Syifa, itu semua karena kehendak Allah yang memberinya kelebihan. Tentu saja ia bersyukur.

"Il, mau pulang sekarang?" Tanya Syifa saat melihat Ila di parkiran.

"Iya Sif, masa pulang besok?" Tanya balik Ila dengan ketus.

"Yee, kali aja mau nongkrong cantik di cafe" sindir Syifa.

Kebiasaan Ila di cafe adalah nongkrong dengan teman perempuannya yang bernama Devi. Alasannya tak lain adalah mencari cogan dan menikmati wifi gratis. Pernah sekali Syifa ikut dan menurutnya itu membosankan.

"Emang kamu mau ikut?" Tanya Ila balik.

"Gak ah, bosan" ucap Syifa.

"Kamu mah gak asik. Itung-itung cari jodoh sama aku, ikut ya" ucap Ila dengan mata lucu.

"Gak. Jodoh itu datang sendiri, gak usah nongkrong-nongkrong gak jelas" ucap Syifa pedas.

"Ga ada yang namanya 'datang sendiri'. Harus dijemput dulu" ucap Ila tak mau kalah.

"Terserah" putus Syifa.

"Bener gak mau ikut? Aku mau nongkrong lho ini" Tanya Ila lagi.

"Enggak Il, lebih baik aku pulang dan istirahat" ucap Syifa kekeh.

Ila geleng-geleng kepala. Lalu, Ila mengemudikan scoopy pinknya perlahan menjauhi area kantor.

***

Sampai di rumah Syifa mengernyit, ada motor kakaknya yang terparkir di halaman rumahnya.

Perlahan Syifa masuk rumahnya. Pandangannya jatuh pada seseorang yang sedang bermain handphone.

"Mas Rian" panggil Syifa membuat kakaknya menoleh.

Kakak laki-lakinya yang berusia 32 tahun itu berkunjung ke rumah. Jarang-jarang sekali ia berkunjung karena kesibukan nya sebagai perantauan yang jarang pulang. Kakaknya baru pulang saat Lebaran tiba.

"Eh, Sifa udah pulang" ucap Rian ramah.

Ia rindu dengan adik kecilnya itu. Adik kecil yang setiap hari dijahili. Bukan, lebih tepatnya ditindas. Kakaknya suka sekali menyuruh Syifa ini itu saat masih kecil.

Tapi Rian tetaplah kakak bagi Syifa. Ia menyayangi adik satu-satunya itu. Adik yang terpaut 10 tahun darinya, terkadang ia kasihan pada Syifa. Saat Syifa baru menginjak remaja, ia sudah berkeluarga dan jarang menjenguk adiknya.

"Kapan kesini mas?" Tanya Syifa sambil menyalami kakaknya.

"Tadi pagi" ucap Rian.

"Lha ibu dimana?" Tanya Syifa yang tak melihat ibunya. Biasanya nongol soalnya.

"Di warung sama Zain dan Ara" ucap Rian membuat Syifa mengangguk. Zain dan Ara adalah keponakannya.

Ibu dan warungnya memang tak dapat dipisahkan, bahkan saat anak dan menantunya datang yang dipentingkan adalah urusan 'warung'.

"Lalu yang masak siapa mas? Mbak Dian?" Tanya Syifa yang mendengar suara menggoreng di dapurnya.

"Heem" balas Rian singkat.

Syifa menuju kamarnya dan berganti pakaian rumahan. Selepas itu, Syifa menghampiri kakak iparnya yang sibuk memasak.

"Biar Syifa bantu mbak" tawar Syifa.

"Oh dek Syifa, udah mau selesai kok" ucap Mbak Dian, kakak iparnya.

"Zain sama Ara di warung ya mbak?" Tanya Syifa.

"Iya, mereka ikut simbahnya (nenek) jaga warung" pungkas Dian. Ia mematikan kompor dan menaruh ikan yang ia goreng di rak.

"Nah, ikannya sudah matang. Makan gih dek. Kamu belum makan kan?" Tanya Dian.

"Iya mbak" ucap Syifa lalu mengambil piring. Ia lapar sekali.

Selepas makan, Syifa mandi dan shalat lalu berniat menyusul ibunya di warung.

"Mau kemana Fa?" tanya Rian yang melihat adiknya tampil cantik.

"Mau ke warung nyusul ibu, mas nginap disini kan?" Tanya Syifa.

"Iya, mungkin besok pagi pulang dan sorenya langsung berangkat ke Sulawesi" ucap Rian. Syifa mengangguk pelan.

"Kapan lagi aku bisa menghabiskan waktu denganmu mas?" Batin Syifa.

Kakaknya ini sudah punya rumah sendiri, dan rumahnya ada di kampung Dian, istrinya. Ia memilih di kampung Dian karena ia terkadang pergi lama dan ia khawatir anak dan istrinya yang sendirian. Makanya ia buat rumah dekat dengan orang tua serta saudara Dian.

Rian tak memikirkan bahwa Syifa dan Ibu nya juga sendirian di rumah ini. Tak ada lelaki yang menjaga rumah. Saudara-saudara dari ayah dan ibunya jauh dari desa.

Terkadang Syifa menghela nafas pedih saat musim liburan ataupun musim lebaran. Melihat tetangga-tetangganya yang hidup bergerombol membentuk kawanan yang kompak saat pergi liburan bersama.

Ia memang akrab dengan tetangganya dan mereka juga menganggap Syifa dan ibunya sebagai keluarga. Tapi percayalah, ada rasa berbeda mengingat Syifa dan ibunya hanya orang lain. Berbeda dengan saudara asli, ia bisa merasakan kehangatan saat bersama keluarganya sendiri.

"Yaudah, Syifa mau nyusul ibuk dulu mas" ucap Syifa pamit. Rian mengangguk.

Syifa mengendarai motornya ke warung ibu. Sampai disana, ia mendapati ibu sedang kerepotan. Ibunya sedang menghitung belanjaan pembeli dan Ara menangis hebat.

Syifa menghampiri kedua ponakannya itu.

"Ara, kenapa nangis? Cup-cup" ucap Syifa sambil menggendong Ara yang berusia 5 tahun.

"Akak nakal Bu Lek (tante)" adu Ara pada Syifa masih menangis.

"Enggak Bu Lek, Zain gak ngapa-ngapain adek" lelaki yang berusia 10 tahun itu tak terima ucapan adiknya.

"Udah-udah, nanti Bu Lek marahin Kak Zain!" Ucap Syifa.

"Sif, kamu ajak ponakanmu motor-motoran ke sawah gih. Dari tadi mereka bikin ibu pusing, gak mau diem" teriak ibu sambil menotal belanjaan ibu-ibu.

"Iya bu, Ara dan Kak Zain mau ikut lihat matahari terbenam gak?" rayu Syifa. Mereka serempak bilang ikut.

Akhirnya Syifa menaiki motornya dengan Ara di depannya dan Zain dibelakangnya.

"Ayo, capcuss" ucap Syifa semangat.

"Ayoo" balas bocah-bocah tak kalah semangat.

Asyifa mengajak kedua ponakannya itu keliling sawah. Nampak indah karena padi sudah menguning tanda siap panen. Tampak matahari perlahan menurun dari ufuk barat.

"Akak lihat mataharinya, mataharinya turun" ucap Ara.

"Iya dek, indah" ucap Zain.

Asyifa tersenyum, bukan ia saja yang menyukai matahari terbenam, tapi kedua ponakannya juga menyukainya. Mengingat tentang matahari, Syifa jadi teringat seseorang.

Mereka bertiga menikmati terbenamnya matahari, cahaya orange yang indah membuat suasananya mendukung.

"Ara dan Kak Zain, ayo pulang udah mau petang lho!" Ucap Syifa pada kedua ponakannya.

Kedua ponakannya mengangguk, mereka bertiga pulang ke rumah tepat adzan maghrib.

Syifa mencuci kaki dan tangannya lalu wudhu untuk menjalankan sholat maghrib.

"Sifa, ayo sholat bareng. Masmu yang imamin" ucap ibu.

"Oke bu" balas Sifa.

Anggota keluarganya berkumpul di ruangan kecil khusus untuk sholat. Kedua keponakannya juga ikut dan sudah memakai sarung dan mukena. Sholat maghrib yang diimami Rian sangat khusyu' dan khidmat.

Selepas sholat maghrib, Syifa berbincang dengan keluarganya. Syifa harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin sebelum keluarga kakaknya pergi.

"Ibu, nanti keluar yuk. Jalan-jalan ke alun-alun kota" ajak Rian pada Ibu.

"Bener? ibu mau, asalkan traktir" ucap ibu cuek.

"Iya-iya, nanti habis isya' ya! Kita jalan-jalan bareng" ucap Rian.

"Ara ikut ya ayah" ucap Ara.

"Iya, Kak Zain juga ikut kok" ucap Rian pada anaknya.

"Akak gak usah diajak yah, akak nakal" ucap Ara manyun.

"Ara! Nanti gak kakak beliin permen" ancam Zain.

Syifa tersenyum hangat melihat interaksi dan gelak tawa keluarganya. Sungguh ia akan merindukan suasana kebersamaan ini. Suasana yang jarang sekali terjadi dirumah ini.

"Tuhan, bolehkah aku memberhentikan waktu? Aku ingin menikmati detik demi detik merasakan hangatnya keluarga yang jarang sekali terjadi. Jika bisa tolong hapus hari esok, karena aku tau kebersamaan ini akan hilang saat esok hari menjelang" Batin Syifa.

Syifa masuk kamar karena mengingat handphonenya.

1 pesan whatsapp terpampang di layar. Syifa mengernyit lalu membukanya.

Novilla: Sifaa.

Syifa: Iyes.

Novilla: Tadi aku bertemu lelaki yang sama di pasar malam.

Syifa: Iyakah? Dimana?

Novilla: Aku bertemu dia 2 kali. Yang pertama ia sedang jalan kaki ke masjid Sif, aku waktu itu abis nongkrong dan ga sengaja liat cowok itu.

Syifa: Wih, abis nongkrong ketemu akhi-akhi nih yee.

Novilla: Iya Sif, Subhanallah ♡♡ tampan bgtt.

Syifa: Jangan pilih yang tampan doang, tapi agamanya juga dong.

Novilla: Heheh iya Sif, kayaknya tuh orang gak cuma tampan, tapi agamanya juga baik.

Syifa: Wih, mantap.

Novilla: Yang kedua, aku bertemu di maret-maret. Katanya kalo kita ketemu seseorang 3 kali berturut-turut itu jodoh ya Sif?

Syifa: Mana kutau, kan belom pernah ngrasain.

Novilla: yaudah. Besok aku ceritain lebih lanjut okey!

Syifa: yaa

Syifa mematikan data selulernya.

"Kira-kira, siapa ya lelaki pasar malam yang dimaksud Ila sampai bertemu dengannya berkali-kali?" Batin Syifa.

Bersambung..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro