Asyifa - 26
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"Bukannya aku menyerah memperjuangkanmu. Bukannya aku mengalah membiarkanmu pergi. Tapi aku menyadari, kamu ditakdirkan hanya untuk menjadi teman"
Author Pov.
Asyifa. Gadis itu tengah bersiap untuk pergi menemui seseorang yang sering ia sebut dalam akhir doanya. Seseorang yang diharapkan akan menjadi calon imamnya. Seseorang yang ia yakini akan melengkapi hidupnya.
Sayang..
Harapan itu pupus sejak sahabatnya juga menyukai orang yang sama. Kenyataan pahit yang sulit untuk diterima. Cepat atau lambat pasti ia akan tersakiti.
Gadis cantik itu sedang memperbaiki tatanan hijab simpelnya di kamar. Dia sudah mendapat balasan pesan dari Hafidz bahwa jam 3 nanti ia akan bertemu dengannya. Gadis itu menarik nafas panjang, ia akan bertanya dengan Hafidz tentang unek-unek yang selama ini mengganggu pikirannya.
Dia mengajak bertemu di rumahnya, ralat di depan rumahnya tepatnya bangku di bawah pohon rambutan yang sedang berbuah. Alasannya simpel, dia tak ingin neko-neko mencari tempat jika hanya untuk mengobrol biasa. Lagipula di depan rumahnya juga ramai dengan tetangga yang mengobrol, jadi tidak akan menimbulkan fitnah.
Ia mencoba melapangkan dada sebelum bertemu dengan teman kecilnya. Jantungnya berdegup kencang seakan tak siap menghadapi kenyataan.
Entah perasaan apa ini? Perasaan tak senang seperti anak kecil yang dirampas benda kesayangannya, ataukah perasaan takut seperti takut kehilangan seseorang? Ah lupakan.
Sepeda motor berwarna hitam baru saja berhenti di depan rumahnya. Syifa langsung menghampiri orang itu dan mempersilakannya duduk di bangku yang sudah disediakan dengan latar di bawah pohon rambutan lebat. Dengan candaannya ia mempersilakan tamunya duduk.
"Maaf ya kak, tamu malah duduk diluar, di bawah pohon rambutan lagi. Tapi gak papa kok, pohon rambutannya lagi gak musim ulat" Perkataan Syifa membuat Hafidz memucat seketika. Dia paling alergi dan merinding dengan ulat bulu.
"Gak usah pucat dulu kak, beneran gak ada ulat" Syifa menahan tawa. Ia paling tahu dengan sahabatnya ini.
"Aku ambilin minum di dalam dulu ya kak" ucap Syifa yang tidak diangguki Hafidz. Ia masih kesal dengan gadis tadi karena menakut-nakutinya.
Syifa keluar dengan membawa teko berisi es sirup dan biskuit coklat di nampan.
"Minum dulu kak" Ucap Syifa yang diangguki Hafidz.
"Ibumu mana?" Tanya Hafidz pada akhirnya.
"Di warung" jawab Syifa singkat sambil ngemil biskuit coklat untuk tamunya tetapi malah ia makan sendiri. Menambah stamina sebelum ia menyampaikan sesuatu.
"Jadi rumahmu gak ada orang?" Tanya Hafidz lagi. Syifa menggeleng.
"Makanya Kak Hafidz aku suruh duduk diluar" Ucap Syifa.
"Jadi? Mau bicara apa?" Tanya Hafidz dengan raut tenang. Syifa nyaris tersedak karena Hafidz terlalu to the point.
"Sebelumnya makan dulu biskuit coklatnya kak, minum dulu esnya. Hari ini gak sibuk kan?" Hafidz menggeleng lalu suasana menjadi sedikit santai karena lelaki itu fokus makan camilan.
Syifa meminum es yang ada di gelasnya sampai tandas.
"Jadi? Apa yang mau kamu bicarakan?" Tanya Hafidz. Syifa terdiam sejenak sebelum membuka mulutnya.
"Kak Hafidz, maaf kalau ini terlalu menjorok ke privasi-" gadis itu menggigit bibir bagian dalam sebelum melanjutkan ke kalimat berikutnya.
"Jadi Kak Hafidz sudah melamar Ila?" Ucap Syifa akhirnya.
Hafidz menatap sahabatnya itu yang tiba-tiba menunduk.
"Aku belum melamarnya" ucapan Hafidz membuat Syifa menoleh dan bingung.
"Jangan bohong kak, Ila sendiri yang bercerita padaku" Ucap Syifa.
"Kapan? Aku memang belum pernah melamarnya"
"Tapi Ila bilang kakak sudah membawanya bertemu orangtua kakak" Ucap Syifa dengan raut bingung.
"Memang. Tapi aku belum melamarnya sendiri. Aku lebih fokus dengan restu umi dan abi tentang penilaian wanita, bukankah restu itu paling penting dalam suatu hubungan?" Ucapan Hafidz membuat dada Syifa mencelos. Betapa gentlenya lelaki di hadapannya.
"Tapi kakak baru mengenalnya beberapa minggu. Kenapa langsung memutuskan ke jenjang yang serius?" Tanya Syifa penuh dengan unek-uneknya.
"Seberapa lamanya perkenalan itu tidak penting Kai. Hati lah yang membawa kita kepada pemilik separuh hati yang lainnya. Dan saat aku memutuskan melabuhkan separuh hatiku, aku ingin melabuhkannya tanpa ada rasa dosa dengan cara menghalalkannya" tutur Hafidz. Dada Syifa mendadak sesak.
Mungkin. Jika wanita yang ia maksud adalah Asyifa, ia pasti akan menjadi wanita paling bahagia di dunia. Namun seperti di awal kata, hanya mungkin.
Sayangnya, ia tak seberuntung itu untuk ada di posisi wanita yang Hafidz maksud, Ila beruntung. Ya, gadis itu selalu beruntung dalam hidupnya. Entah kenapa ia jadi iri dengannya. Iri karena gadis itu selalu mendapat keberuntungan.
"Tapi kak, katanya jodoh itu cerminan diri kita. Kak Hafidz itu orangnya baik, rajin ibadah, penghafal dan qiro' al-qur'an. Tapi kenapa Kak Hafidz memilih dia yang jauh dari sifat Kak Hafidz?" Elak Syifa.
"Aku tahu gimana kehidupan Ila. Dia tak lebih adalah gadis manja, malas ibadah, sering nongkrong bersama lelaki di cafe. Tapi kenapa? Kenapa dia tak mendapat seperti cerminannya?" Tanya Syifa beruntun.
"Jadi jodoh itu cerminan diri, ataukah pelengkap hidup Kak?" Akhir dari ucapan Syifa yang panjang.
Syifa menetralkan pernafasannya karena pertanyaan yang menggebu. Hafidz pun angkat suara.
"Wanita wanita yang keji untuk laki laki yang keji, dan laki laki yang keji untuk wanita wanita yang keji pula. Dan wanita wanita baik untuk laki laki yang baik, dan laki laki yang baik untuk wanita wanita yang baik pula (QS An Nur : 26)"
"Yang kita tahu. Jodoh, rezeki dan juga mati itu sudah diatur oleh Allah. Tentang jodoh, jodoh itu sudah tertulis di lauhul mahfudz sebelum manusia itu diciptakan. Makna dari 'jodoh itu cerminan diri' adalah supaya kita ikhtiar dan memperbaiki diri agar jodoh kita nantinya orang baik-baik" Jelas Hafidz.
"Jodoh itu rahasia illahi Kai, awalnya pun aku ragu karena pertemuan kami tergolong singkat. Namun seperti ada debaran dalam hati dan rasa yakin yang kuat. Aku tak mau jatuh dalam kubangan dosa karena selalu memikirkan dia yang tak halal untukku" Hafidz bercerita tanpa memikirkan perasaan gadis di sampingnya.
"Apa Kak Hafidz yakin akan melanjutkan hubungan yang lebih serius? Kakak juga belum mengenal sifat luar dalamnya. Dan juga apa yang membuat Kak Hafidz yakin bahwa ia jodoh Kak Hafidz?" Tanya Syifa panjang lebar.
"Perkenalan akan lebih manis jika kami sudah ada di dalam ikatan halal Kai. Aku gak mau berlama-lama dalam perkenalan dan membuat dosa karena sering memikirkannya"
"Lalu aku ini apa kak? Terlalu banyak dosa yang kutanggung karena sering memikirkanmu, berapa banyak doa yang sering aku panjatkan untuk memintamu agar menjadi pelengkap hidupku. Tapi kenapa Allah tidak kunjung membuka hatimu padahal aku sering memintamu dalam akhir doaku?" Hanya di batin saja Syifa mampu mengutarakan hatinya.
"Juga perkara baik memang harus dipercepat bukan?"
Lanjut Hafidz sambil tersenyum menampakkan kedua lesung pipitnya membuat hati Syifa perih.
Jika wanita itu bukan sahabatnya, mungkin sakitnya tidak akan seperti ini. Jika wanita yang ia maksud bukan sahabatnya, mungkin hatinya tak akan sehancur ini. Tapi kembalikan lagi pada kata pertama 'Jika'.
"Mengingat pertemuan pertama dengannya adalah hal yang paling tidak kusangka. Di pasar malam lebih tepatnya di rumah hantu kami dipertemukan. Tak hanya itu, berkali-kali aku bertemu dengannya membuatku menduga ternyata dia sahabat kamu Kai. Jika sudah seperti itu, aku tak ingin berlama-lama lagi" ucapan Hafidz terhenti.
"Secepatnya kami akan menikah" ucapan pendek membuat raut Asyifa memudar dan memucat. Secepat ini kah? Sudah cukup ia mendengar kesaksian dari sahabatnya, ia tak ingin menyakiti hatinya lagi hanya untuk mendengar curhatan bahagia sahabatnya.
"Terima kasih telah meluangkan waktu untuk mengobrol denganku kak, jika kak Hafidz sudah menikah, jangan lupain Syifa ya! Setidaknya, Syifa pernah bermain bersama dulu di waktu kecil" Syifa rasa ia tak sanggup lagi pura-pura tegar di hadapan lelaki itu. Tapi ia terus memaksakan hatinya dan bersikap biasa saja.
"Tentu saja aku tak akan melupakan gadis yang sudah aku anggap adik sendiri Kai" Hafidz terkekeh sementara Syifa menatapnya sendu.
"Sudah petang kak, Syifa mau masuk dan mandi. Kak Hafidz pulang ya!" Syifa mengusir halus sahabatnya itu.
"Iya, terima kasih sudah mau mendengar curhatanku Kai. Aku doain kamu segera mendapat jodoh yang sesuai dengan harapanmu" Syifa hanya mengangguk. Hafidz mulai pamit pulang hingga akhirnya motor itu tak lagi nampak di indra penglihatannya.
"Bagaimana aku bisa mendapat jodoh yang aku harapkan Kak? Jika jodoh yang aku maksud, akan menikah sebentar lagi" Batin Syifa sedih karena tak ada harapan lagi.
***
Suasana hati Syifa memburuk hari ini, semenjak tadi ia tidak tersenyum kecuali dengan nasabah. Menjadi seorang Customer Service artinya seperti mempunyai 2 kepribadian. Disaat ia lelah, ingin marah, ingin menangis, namun ia tetap dituntut untuk tersenyum. Senyuman palsu.
Seperti di sore hari ini, ia berencana akan pulang lebih awal dan malas-malasan di kasur kesayangannya. Motor matic miliknya sudah melaju di jalan raya namun ia berhenti mendadak dan mencari benda persegi panjang di sakunya.
"Mana ya? Masa sih ketinggalan?" Syifa merogoh saku kanan kiri namun nihil, hpnya tertinggal di meja kantor. Bagaimana bisa ia seteledor ini?
Syifa memutar jalur dan kembali menuju Bank. Setelah sampai dia langsung masuk dan matanya tertuju pada hpnya yang tergeletak di meja.
"Syukurlah, gak hilang" ucapnya sambil memeluk ponselnya.
Dia keluar dari dalam dan menuju motornya namun krasa-krusu suara menghentikannya.
"Itu suara Mbak Nawang kan?" Batinnya. Ia pergi menuju arah suara itu yang membawanya ke area belakang kantor.
"Kamu itu bodoh atau gimana sih Fid? Apa kamu gak bisa bedain mana orang yang suka sama kamu atau enggak?" Syifa terkejut melihat Nawang yang sedang berbicara dengan.. Hafidz!?
"Maksudnya gimana sih Wang? Aku gak ngerti"
"Syifa suka sama kamu sejak dulu Fidz, peka dikitlah!" Sentak Nawang. Syifa terkejut dalam posisinya, ia tak menyangka Nawang akan bilang pada Hafidz.
"Aku mungkin sudah melanggar rahasianya Fidz, tapi seenggaknya kamu tahu perasaannya. Sekarang kamu pilih siapa? Setelah kamu tahu perasaannya, kamu memilih siapa?" Nawang nampak ngos-ngosan sedangkan Hafidz terdiam.
"Dia udah lama sama kamu Fidz, kalian sering bersama. Tak adakah perasaan sedikitpun tentangnya sebagai seorang wanita?" Tanya Nawang.
Hafidz menarik nafas, ia tak menyangka akan serumit ini.
"Kamu tahu kan Wang? Aku baru punya adik saat aku menginjak kelas 3 SMA? Selama ini aku menganggap Kafia sebagai adik aku Wang. Gak lebih!" Nawang menatapnya dengan tatapan tak percaya. Sementara Syifa shock di tempatnya.
"Kafia itu aku anggap sebagai adik aku sendiri Wang, tapi Ila-- Aku kemarin sholat istikharah meminta jawaban tentang Fila yang akan kujadikan sebagai calon istri aku. Dan apa kamu tau jawabannya?"
"Aku bermimpi Fila datang dengan pakaian syar'i lengkap dengan cadarnya seperti bidadari surga. Dia mengangguk malu-malu seolah ia tahu maksudku"
"Dia nampak cantik dengan balutan gamis berwarna putih. Aku ingin membimbing Fila agar menjadi wanita seperti itu, menjadikan dia istri sholihah, membangun keluarga bahagia dan mememaninya sampai akhir usia" Ucapan manis dari Hafidz membuat Syifa langsung pergi dengan mata memerah.
Ternyata ini rencana Allah yang ia buat untuk hambanya. Membuat handphone Syifa tertinggal dan mendengarkan pengakuan dari seseorang yang ia sayangi. Sungguh, hatinya remuk redam mendengar kenyataan pahit ini. Setelah ini apalagi Ya Allah?
Ia meraih helmnya yang berkaca hitam lalu mengeluarkan air mata di dalamnya. Gadis itu menangisi kebodohonnya yang ia lakukan bertahun-tahun. Seharusnya dia tahu, berharap kepada sesama manusia hanya akan mendapatkan kepahitan.
Seharusnya Ia berdoa meminta yang terbaik menurut Allah, bukan yang terbaik menurutnya. Mulai hari ini Syifa berhenti berharap pada siapapun, ia tak ingin terluka lagi. Luka yang sama seperti ini.
Di detik ini juga ia mulai mengikhlaskan dia, membuang semua rasa yang ia punya. Ia berdoa dalam hatinya meminta kekuatan dan ketabahan agar ia segera menghapus semua perasaannya.
"Terima kasih atas hari-harinya, semoga bersama dia kamu bisa lebih bahagia ya kak"
Bersambung..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro