Asyifa - 25
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"Semakin berusaha mengikhlaskan semakin tenang perasaan, semakin yakin Allah berikan yang terbaik di masa depan. Belajar memasrahkan kehendak, bukan memaksakan kehendakNYA"
Author Pov.
Novila-- gadis berusia 23 tahun, sahabat Asyifa dari masa kuliah itu sedang duduk di bangku sambil merenung di taman depan kedai yang sepi karena semua karyawan di dalam.
Rasanya hampa, padahal ada ciptaan tuhan terpampang indah di depan matanya. Kebun teh luas lengkap dengan petaninya yang memetik teh itu nampak memukau. Jalanannya yang berliku sampai puncak bukit, penduduk yang ramah, serta hawa segar sekaligus dingin membuat siapapun betah disini.
Gadis itu tidak menikmati lukisan indah alam terbuka karena masih kepikiran dengan ucapan sahabatnya, baru saja ia ingin membagi cerita menariknya kemarin, namun diurungkan kala mendengar kesaksian sahabatnya yang sudah lebih dulu menyukai Hafidz-- lelaki pasar malamnya.
Gadis itu tidak tahu harus berbuat apa, mempertahankan ataukah harus melepasnya kembali.
Ila tidak berfikir jauh dan tidak memahami Syifa yang mempunyai teman kecil dengan kemungkinan mengalami witing tresno jalaran soko kulino. (Terjemah: Cinta tumbuh karena terbiasa)
Dari dalam hati yang paling dalam gadis itu merasa tak adil, sudah sering ia mengalah dan membiarkan lelaki yang ia suka menyukai Syifa.
Ia sudah sering menebalkan hati dan telinga saat gebetannya menembak bahkan melamar Syifa langsung. Tak hanya Kak Farsya, ada seorang mahasiswa fakultas managemen sampai dokter pun Syifa menolaknya dengan alasan sudah punya calon ataupun menunggu seseorang. Jangan berpikir Ila tak punya hati, ia juga ingin mendapatkan seseorang yang ia sukai.
Dan saat ia sudah memfokuskan hatinya pada satu orang. Kenyataan pahit hadir, orang yang dimaksud Syifa adalah orang yang sama dengan lelaki pasar malamnya. Selama ini ia sudah memperjuangkannya namun sebuah kenyataan yang baru ia ketahui membuatnya ragu untuk melangkah.
"Ila" panggil seseorang dari belakang membuat wanita itu terkejut. Nampak Syifa membawa 2 gelas lemon ice.
"Aku nyari kamu dari tadi, ternyata malah menyepi disini" ucap Syifa lalu duduk di bangku panjang.
"Nih, es lemon" Syifa menyerahkan segelas es lemon yang menyegarkan.
"Makasih" Ucap Ila lalu menerima segelas es lemon.
Mereka duduk di bangku dengan keheningan, Ila meminum es lemonnya sambil melamun sementara Syifa disampingnya mengernyit.
"Kenapa melamun Il? Mikirin utang?" Tanya Syifa.
"Iya Sif, utang negara makin bertambah. Pusing jadinya" Ila dengan candaanya sambil memaksakan senyumnya bersikap biasa saja.
Syifa mendengus lalu meminum es lemonnya.
"Kamu dengan Kak Hafidz gimana? Ada peningkatan?" Tanya Syifa sambil tersenyum. Ila menatap Syifa dalam mencari raut kesedihan namun sayang, gadis itu terlalu pintar menyembunyikannya.
"Masih seperti itu Sif, tahap pengenalan" Jawab Ila sekenanya. Syifa mengangguk.
Drrt.. drrrt.
Ponsel Ila bergetar di saku jasnya, ia mengambil handphonenya dan nampaklah nama kontak Hafidz terpampang.
"Assalamualaikum" ucap Ila.
"..."
"Aku sekarang di The Bill mas, kenapa ya?" Tanya Ila.
"..."
"Hah? Ke rumahmu mas? Ngapain?" Ila nampak shock.
"..." Panggilan terputus membuat Ila gusar. Masalah satunya belum kelar dan bertambah lagi.
"Siapa?" Tanya Syifa.
Ila terdiam. Dia mamang (bingung) ingin jujur pada Syifa dan membuat gadis itu sakit hati ataukah menutupinya dengan suatu alasan.
"Siapa Ila?" Tanya Syifa lagi dengan gemas. Tangan Ila meremas bangku yang didudukinya.
"Kak Hafidz" ucap Ila pelan. Ia tak tahu dorongan dari mana ia berkata seperti itu. Ia ingin membuat sahabatnya agar berhenti berharap pada sesuatu hal yang bisa membuatnya kecewa.
"Kak Hafidz? Tumben nelpon" Syifa nampak bingung.
"Bilang apa dia?" Tanya Syifa lagi. Ila semakin bingung.
"Ah, dia bilang dia akan membawaku menemui orang tuanya"
Hening.. Syifa dengan raut terkejutnya sementara Ila dengan raut tidak enak.
"Wah~ kamu beruntung Il, Kak Hafidz itu tidak pernah mengajak wanita untuk berpacaran tetapi langsung bertemu orang tuanya" Syifa mengatakan itu dengan mata berkaca.
"Semoga sampai di pelaminan ya Il, nanti kalau kamu menikah dengannya jadikan aku Putri Domas ya! (Pagar ayu/ penerima tamu)" Ucap Syifa sambil tersenyum dan menggigit bibir bawahnya agar air mata tidak meluncur bebas.
"Duh, perutku kok mules ya Il gara-gara es lemon asem itu. Aku ke toilet dulu ya!" Pamit Syifa yang diberi anggukan Ila.
Alasan. Syifa pamit ke toilet karena ia rasa tak sanggup untuk menahan air matanya. Ia tak sanggup berpura-pura baik-baik saja di hadapan sahabatnya. Ia bahagia, tentu saja. Namun entah kenapa dadanya sesak, ini lebih sakit dari kenyataan Farsya yang mengumumkan kalau ia akan menikah. Ini lebih sakit, dua kali lipatnya.
Sementara Ila juga mengeluarkan setitik air mata, ia bahagia tentu saja. Akhirnya ada lelaki yang serius dengannya di usianya yang sudah matang. Tapi entah kenapa ia sekarang menjadi tokoh jahat, merampas orang yang disayangi sahabatnya dan berbahagia diatas lukanya.
"Kenapa harus Ila ya Allah?" Batin Asyifa bergetar.
"Kenapa harus Syifa yang mengalami?" Batin Ila bersedih.
Jika mereka bertemu didepan mereka akan bersikap baik-baik saja, tapi jika dibelakang mereka terlihat sama-sama tersakiti. Entah takdir yang begitu kejam ataukah manusianya yang terlalu dalam berada di kubangan harapan?
***
H
ari berlalu seperti biasanya, setelah insiden telepon dari Hafidz mereka masih bersikap biasa saja, masih menyapa, mengobrol dan hal lain. Mereka sudah dewasa untuk tidak menyangkut pautkan masalah perasaan dengan persahabatan.
Mereka sekarang masih berada di area kantor karena jam kerja baru saja selesai. Para pegawai hilir mudik membawa data laporan hari ini, Syifa nampak masih berkutat dengan komputernya.
"Udah selesai belum Sif?" Tanya Ila di sampingnya.
"Bentar lagi, ini tinggal mengirim data nasabah" Ucap Syifa masih menatap komputernya. Ila menjauh dan membiarkan gadis itu fokus.
Jari jemari Syifa lihai dengan urusan keyboard, 10 jarinya seakan menari dan hapal betul tempat di setiap abjadnya.
"Udah selesai" sorak Syifa. Ia berdiri dan merapikan kertas yang berserakan lalu ia tata. Tas selempangnya ia lampirkan di bahunya.
"Mbak Nawang, Rio, Puja. Aku pulang dulu ya!" Pamit Syifa pada 3 teller yang masih berjibaku dengan uang itu. Syifa belum bercerita dengan Nawang tentang Hafidz karena kesibukannya.
"Iya Syif. Hati-hati di jalan, kalau jatuh berdiri sendiri ya!" Candaan Rio membuat Syifa tertawa.
"Gak mau ah, maunya dibantuin sama kamu" Canda Syifa pura-pura genit.
"Iya, kalau jatuh calling aja" Jawab Rio. Lelaki bermata sipit dan berkulit putih itu memang akrab dengan Syifa.
"Yaudah, pulang dulu yo!" Ucap Syifa lalu keluar kantor.
Indra penglihatannya menangkap seorang wanita yang bermain hp di depan kantor. Secarik senyum jail terpampang di wajah Syifa, dengan pelan ia melangkah.
"DORR" Kejut Syifa.
"Eh monyong" Hp Ila hampir terlepas karena saking terkejutnya. Ila mencubit siku sahabatnya itu dengan cubitan maut.
"Ampun Il, sakitt" Ringis Syifa. Ila menatapnya kesal.
"Lain kali kalau ngagegetin lagi, aku cubit pipi tembemmu" Sontak Syifa memegang kedua pipinya. Cubitan maut Ila sangat menyakitkan seperti terbakar.
"Eh Il, kamu hutang cerita sama aku" Ucap Syifa.
"Berapa hutangnya mbak? Ntar aku transper" Ila menjawab dengan candaannya seperti biasa.
"Ini betulan Ilaa" Syifa manyun.
"Iya-iya, hutang yang mana sih?" Tanya Ila.
"Waktu kamu diajak ke rumah Kak Hafidz. Aku kepo tauu" Ucap Syifa, meski ia tak ingin mendengarnya tapi ia ingin agar sahabatnya membagi kebahagiannya.
"Ya, Kak Hafidz memperkenalkanku sebagai calon istrinya. Gila kan? Dia aja belum pernah lamar aku. Saat aku tanya, dia bilang lamaran itu tidak penting, yang penting restu udah dikantongi" Penjelasan Ila yang panjang lebar membuat Syifa terdiam. Ila baru sadar akan respon Syifa yang diam, ia ingin menjelaskannya agar Syifa tak lagi berharap pada Hafidz.
"Hmm. Lalu apa kamu di tes uminya?" Syifa mengalihkan pembicaraan.
"Iya di tes, masak iya kemarin di tes memasak. Padahal aku cuma bisa goreng telur sama rebus mi" Adu Ila sambil merengut.
"Emang disuruh masak apa?" Tanya Syifa.
"Masak rendang. Gila gak tuh? Orang aku bedain jahe, kunyit, sama lengkuas aja bingung" Ila nampak kesal.
"Makanya di rumah tuh masak mbak! Jangan cuma makan aja" sindir Syifa.
"Yee, kalo ngomong suka bener" celetuk Ila.
"Terus saat kamu gak bisa masak uminya bilang apa?" Syifa kepo dengan apa yang terjadi dengan sahabatnya.
"Yah. Dia menceramahiku seperti ibu bijak biasa, ibunya malah memberiku petuah menjadi istri yang baik. Gokil kan?" Ila nampak bahagia sedangkan Syifa mengangguk dan memandangnya dengan senyuman namun dengan sorot sendu.
Gadis itu perlahan mulai menghilangkan perasaannya karena ia tahu, sebentar lagi rasa cinta ini akan menjadi rasa terlarang yang tak boleh ia miliki selamanya.
Gadis itu mengeluarkan handphone dan mengetik sesuatu disana.
To : Kak Hafidz.
Assalamualaikum kak, nanti sore kita bisa bicara sebentar?
Sent.
Bersambung..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro