Asyifa - 23
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"Aku beruntung diberikan kehidupan seperti ini, dan aku bersyukur masih diberikan nafas sampai saat ini. Intinya, jangan lupa bersyukur!"
Asyifa Pov.
Lagi-lagi aku tercengang dengan kenyataan bahwa Kak Farsya akan menikah dengan wanita cantik di depanku. Aku tersenyum dan menyahuti obrolan mereka.
"Iya kak, jangan lupa undangannya ya!" Ucapku menutupi rasa sesak di dada. Jujur saja, aku dulu pernah ada rasa dengan lelaki di depanku. Menyukai perhatiannya padaku dulu.
"Pasti lah" Kak Farsya mengacungkan jempolnya.
Aku melihat jam tanganku dan buru-buru pamitan karena sepertinya briefing akan dimulai.
"Nia Kak Farsya, saya pamit dulu ya! Bentar lagi briefing" pamitku yang diangguki senyuman dan anggukan dari calon istri Kak Farsya.
Aku menyeberang jalan dan sedikit berlari masuk ke dalam kantor meninggalkan dua orang itu dibelakangku. Bicara tentang Kak Farsya aku jadi teringat masa kuliahku.
Flashback-
Siang hari yang terik di lingkungan kampus, aku sedang membaca buku berjudul 'Perbankan Syariah' karya salahsatu profesor yang terkenal dengan kecerdasan dan keahliannya. Membaca buku tebal di depan kelas ditemani jus jambu memang pilihan yang cocok untukku.
"Dorr" tepukan dari belakang membuatku menjengit.
"Eh bojong, eh bojong" latahku. Aku menatap tajam orang itu dan menjitak kepalanya yang menyebabkan dia gesrek sampai sekarang, ups.
"Baca buku itu lagi, gak bosan apa?" Tanya Ila sambil duduk disampingku.
"Enggak lah, buku itu jendela dunia tau" ucapku yang dibalas lengkungan bibir bawah Ila.
"Masa? Bukannya pengen dipuji sama Pak Richard?" Aku menatap Ila yang bicara ngawur itu.
"Maksudnya gimana nih?" Tanyaku mulai tak suka. Gadis itu mengedikkan bahu membuatku kesal saja. Pak Richard itu guru Mata kuliah Ekonomi yang masih berusia 35 tahun. Gossipnya belum menikah.
"Eh Syif, ada Kak Farsya tuh" tepuk Ila antusias melihat Kak Farsya berjalan kemari.
Lelaki dengan fisik tinggi, berambut ikal, wajah dewasa tapi sayang, dia judes. Namun hal itu malah membuat para wanita mengidolakannya sehingga membuatnya populer di kampus. Akhir-akhir ini lelaki populer itu sering menemani kami di jam istirahat.
Awal mula aku bertemu Kak Farsya berawal dari Ila yang sering mendekatinya. Kak Farsya yang awalnya cuek pun menjadi lebih terbuka dan ia kini sering bertemu dengan kami.
"Hai" sapanya membuatku membalas dengan senyuman.
"Hai Kak Farsyaa" riang Ila disampingku.
Bisik-bisik para mahasiswa sampai terdengar di telingaku, mereka bilang aku beruntung dapat didekati pria most wanted di kampus. Bagiku itu tak ada artinya, dia sama sepertiku yaitu orang biasa dan sama dihadapan sang pencipta.
"Lagi pada ngapain?" Tanya Kak Farsya sambil mendekat.
"Baca buku" jawabku sambil mengangkat buku tebal.
"Nemenin kutu buku nih kak" canda Ila disampingku.
"Wah~ Syifa ini rajin ya!" Pujian dari Kak Farsya hanya kubalas dengan senyuman.
"Masih jualan siomay di pertigaan?" Tanya Kak Farsya padaku.
"Masih kok" jawabku. Aku tak sengaja bertemu dengannya satu kali saat aku jualan siomay di malam hari. Kak Farsya yang saat itu tahu aku yang jualan, ia langsung memborong siomayku.
"Hebat ya kamu, siang kuliah malam kerja" pujinya. Aku hanya tersenyum tipis.
"Nanti malam aku datang ke tempatmu jualan ya! Sekalian aku ajak teman-temanku supaya mereka membeli daganganmu sambil nongkrong. Gimana?" Tanya Kak Farsya dengan mata berbinar.
"Emm, gimana ya Kak? Syifa dan ibu kan cuman niat jualan, Syifa gak suka ada yang nongkrong di tempat jualan. Selain itu, ibu juga pasti akan marah" tolakku sehalus mungkin.
Jujur saja, aku risih saat menemani ibu jualan. Waktu aku yang jaga ada banyak pria di sekelilingku menggodaku. Jika kalian pikir aku senang, kalian salah! Aku risih, risih sekali.
Yang masih terbayang saat aku jualan adalah saat aku tengah membuat pesanan siomay tiba-tiba ada yang memeluk pinggangku atau menepuk pantatku. Aku tak segan menguntir tangannya atau menginjak jempol kakinya, maaf saja karena tubuhku terlalu berharga untuk tangan kotor seperti itu.
"Ah, gak boleh ya?" Mata itu berubah sendu. Aku menggeleng pelan.
"Syifa lebih senang ada pembeli lalu langsung pulang kak, daripada harus nongkrong gak jelas" jelasku yang diangguki Kak Farsya.
"Baiklah, aku menghormati ucapanmu Sif" ucapnya mencoba paham.
"Selesai kuliah pergi yuk" ajak Kak Farsya yang langsung diangguki Ila.
"Ayo kak, mumpung habis kuliah free" serobot Ila. Dia tahu saja yang bening-bening.
"Gimana Syifa? Novila sudah mau ikut tuh" ucap Kak Farsya.
"Maaf kak, hari ini Syifa gak bisa. Bantuin ibu jualan rujak soalnya" ucapku jujur.
Bukannya aku tak ingin atau jual mahal, tapi aku sadar derajat, mereka anak-anak yang mudah hang out dan punya uang lebih. Sementara aku untuk uang kuliah dan saku saja sudah pas-pasan. Beruntung masih ada sepeda yang bisa kugunakan untuk kuliah. Aku tak malu, toh untuk apa? Mereka mencari ilmu sama sepertiku. Aku tak gengsi, aku sadar diri untuk tidak menutupi kenyataannya.
"Jualan rujak?" Tanyanya. Aku mengangguk.
"Gak capek apa? Kali-kali refreshing lah" aku menggeleng.
"Kalau kakak ingin pergi kan ada Ila, Ila mau tuh" tunjukku pada Ila yang cengo.
"Ah kan gak seru, yaudah gak jadi aja deh" putus Kak Farsya begitu saja membuat wajah Ila nampak kecewa.
"Eh, kok gitu kak. Ila kan udah mau" aku tak terima dengan keputusan Kak Farsya yang membuat sahabatku kecewa.
"Aku maunya sama kamu Syifa!" Ucapan tegas itu membuatku terbengong. Setelah Kak Farsya berkata begitu, Ila yang disampingku tiba-tiba pergi dengan alasan ke toilet meninggalkan aku dalam kecanggungan.
"Kenapa aku Kak?" Tanyaku dengan tatapan tak percaya.
"Kamu itu special Syifa, kamu wanita paling mandiri yang aku kenal" tutur Kak Farsya.
"Syifa, kamu belum punya pacar atau calon suami kan?" Dia sudah duduk dibangku sampingku.
"Jika suatu saat aku melamarmu, apakah akan kamu terima?" Aku tercenung, bibirku kelu untuk menjawab. Disaat seperti ini aku malah kepikiran dengan Kak Hafidz. Aku masih mengharap hingga saat ini, mengharap dia yang kutunggu akan benar-benar bersamaku. Menjaga perasaannya yang tak tau apapun tentang perasaanku. Aku menghembuskan nafas.
"Maaf Kak Farsya, aku sudah punya calon" ucapku pelan, aku tak tau jika aku salah bicara.
"Benarkah? Jangan bohong Syifa!" Tanya Kak Farsya dengan muka serius.
"Benar Kak, dia sedang di luar kota dan menempuh pendidikan magisternya" ucapku lagi. Aku dan Kak Farsya hening sejenak.
"Begitu ya? Jadi, aku terlambat Sif?" Kak Farsya tersenyum getir membuatku berfikir bahwa aku telah menyakiti hatinya.
"Kak, jangan karena perasaan ditolak kakak jadi menjauh. Syifa gak suka dengan namanya 'berubah'. Jujur kak, Syifa nyaman di posisi ini. Menjadi adik tingkat dan kakak tingkat saja sudah membuatku bahagia" ujarku mencoba memberi pengertian.
"Syifa sudah senang Kak Farsya disini, tak peduli hubungan kita hanya sebatas kating" ujarku yang diberi senyuman.
"Menjadi kakak tingkat tidak terlalu buruk! Aku terima penolakanmu Syifa" ucapnya dengan wajah tenang namun sendu.
Setelah insiden menolak perasaannya, aku dan Kak Farsya tetap akrab dan kita sepakat melupakan penolakan yang pernah aku lakukan. Dia memang dewasa, tak heran banyak yang mengidolakannya.
Sementara itu, Ila jarang bersamaku saat ada Kak Farsya, itu membuatku bingung karena Ila seperti menjauh dan membuat jarak dengan Kak Farsya. Memang ya, kehidupan masa kuliah itu membingungkan dan tak semenyenangkan yang aku pikirkan.
Tahun pun berlalu dengan cepatnya, Kak Farsya sudah berada di semester akhir dan akhirnya wisuda dengan menyandang predikat 'cum laude' aku menyaksikan Kak Farsya sedang berpidato disana, aku ikut tersenyum bangga dan juga sedih karena sebentar lagi tak ada yang mengisi hari-hariku.
Flashback Off-
Aku menarik nafas panjang, rasanya sesak dan ganjil. Aku tak tau perasaan apa ini, apa aku sudah menyesal menolaknya dan malah memilih dia, seseorang yang belum pasti?
Aku menoleh ke belakang melihat mereka yang nampak saling mencintai. Kak Farsya sudah menemukan penggantiku, dan mereka akan menikah satu bulan lagi. Kebahagiaan memang selalu datang di akhir, bukankah begitu?
"Kak Farsya terima kasih waktunya dulu, kini kamu telah menemukan pendamping hidup yang akan terus bersamamu. Aku dari sini hanya bisa mendoakanmu, semoga selalu bahagia" bisikku lirih.
Aku melangkahkan kaki sambil menatap gedung Bank Syariah yang besar dan luas itu. Senyumanku tertarik ke atas saat melihat para pegawai menyapaku dengan ramahnya.
Aku bersyukur masih diberikan hidup untuk bisa melihat hari ini, dan aku beruntung mempunyai kehidupan seperti ini. Aku melihat Ila tersenyum padaku, juga dengan teman-teman lain yang ikut melambaikan tangannya. Senyuman mereka yang tulus padaku membuatku terenyuh. Aku sayang mereka semua.
Sebuah tangan melingkar di leherku membuatku menoleh. Ternyata Mbak Nawang yang merangkulku.
"Syifa, nanti habis kerja ke The Bill ya!" Ucapan Mbak Nawang membuatku mengernyit.
"Eh?"
"Ada perayaan kecil dari kantor karena Bank Syariah Amanah mendapat peringkat pelayanan terbaik se-Jawa Tengah. Bu Siska mengajak seluruh karyawan makan-makan sebagai tanda terima kasih karena kerja keras para pegawai" Penjelasan dari Mbak Nawang membuat senyumku merekah.
"Alhamdulillah Ya Allah, ikut bangga aku mbak" Ucapku ikut senang.
"Iya, nanti jangan pulang dulu ya!" Peringat Mbak Nawang.
"Iya mbak, motorku sedang di bengkel. Gak tau nanti bonceng sama siapa" ucapku.
"Tenang, nanti bonceng mbak aja. Okey" Mbak Nawang senang hati memberiku tumpangan membuatku tak bisa berhenti terharu
"Makasih ya mbak" Ucapku.
"Yaudah, yuk masuk" Mbak Nawang menarik tanganku masuk ke dalam kantor. Aku bersyukur mempunyai teman kerja yang pengertian dan lingkungan kerja yang baik. Intinya aku bersyukur atas nikmat Allah yang sudah diberikan.
"Fabiayyi ālā'i rabbikumā tukadzibān"
"Nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?"
Bersambung..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro