Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Asyifa - 21

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Jika tak ingin membantu, setidaknya jangan menambah beban! Karena kau tak akan tau, betapa sulitnya berdiri, saat tak ada yang menyemangati"

-Asyifa-

Asyifa Pov.

Lelah, itulah yang aku rasakan sekarang. Lelah karena pergi berjalan-jalan kesana kemari, berfoto hampir semua spot foto di Hill Vaganza ditambah menguatkan hati saat Ila menggoda Kak Hafidz dengan candaannya yang selalu menyoroh ke jodoh. Aku tak tau lagi apa yang aku rasakan setelah ini. Setelah berpamitan dengan keluarga Ila aku langsung pulang karena sudah lelah sekali, jarak rumahku dan Ila juga tergolong jauh hampir 3 km dan harus melewati banyak rambu-rambu kota.

Aku fokus mengendarai motor. Setelah sampai di jalan raya tiba-tiba motor yang aku kendarai tersendat dan membuatku bingung. Aku menepikan motorku di pinggir jalan dan terpaksa untuk meng-oglengnya agar bisa distater.

Aku sudah berusaha berulang kali namun zonk. Motorku tak bisa distater mungkin karena kemarin aku terjatuh di jalan beraspal dengan keras. Batinku mendesah. Setelah ini apalagi ya Allah?

Tak ada yang dapat aku mintai pertolongan karena aku merasa asing disini ditambah lagi aku ini orangnya pemalu jika bertemu orang baru.

Aku masih berusaha menstater motor sebelum ada suara menginterupsiku.

"Maaf mbak, tadi saya lihat mbak sedang kesulitan. Bolehkah saya membantu?" Suara orang itu dari belakang membuatku sedikit terkejut.

Aku menoleh dan terkejut melihat orang itu.

"Kak Farsya?!" Kagetku. Nampak lelaki itu sedang berpikir.

"Oh, Asyifa ya?" Tanya lelaki itu pada akhirnya.

"Iya kak" jawabku sambil tersenyum canggung. Sudah berapa tahun aku tak bertemu dengannya? 3 tahun atau 4 tahun? Setelah Kak Farsya wisuda aku tak lagi bertemu dengannya.

"Motormu mogok?" Tanya Kak Farsya. Aku mengangguk jujur.

"Boleh aku coba stater?" Izin Kak Farsya padaku.

"Boleh kak" ucapku.

Kak Farsya nampak menstater berulang kali namun zonk, motornya tetap tak bisa jalan.

"Lebih baik motormu ditaruh di bengkel dulu Syif, mesin bagian dalamnya sepertinya rusak dan butuh service" ucap Kak Farsya setelah mengutak-atik motorku.

"Iya Kak. Tapi Syifa gak tau bengkelnya dimana?" Ucapku jujur. Aku memang tak tau karena aku bukan orang sini.

"Oh, didepan sana ada gang, kamu masuk saja dan tepat di pinggir jalan ada bengkel yang lumayan ramai" jelas Kak Farsya membuatku mengangguk dan berterima kasih.

"Oh iya Syif, bengkel disana lumayan ramai. Mungkin motormu jadinya besok" ucapan Kak Farsya membuatku tambah bingung.

"Terus aku pulangnya gimana kak?" Tanyaku dengan raut nelangsa malah membuat lelaki itu terkekeh.

"Jalan kaki lah" ucapnya santai membuatku melongo. Jarak jalan ini sampai ke rumah berkisar 1,5 kilometer belum ditambah jalanan desa.

"Ish, bukan saat bercanda ini" aku merengut marah.

"Bercanda ya, kalau gitu aku anterin kamu pulang gimana?" Tawar Kak Farsya membuatku tak enak hati.

"Gak usah kak, aku bisa naik taksi atau angkutan nanti" tolakku halus.

"Aku maksa lho Syif, sekalian kita bisa ngobrol-ngobrol" aku menimang tawarannya.

Aku terdiam sebentar, aku bukannya meragukan kebaikan Kak Farsya tetapi aku baru saja bertemu dengannya dan aku belum tau sifatnya yang sekarang. Aku takut jika dia yang aku kenal bukan orang seperti dulu. Bisa saja dia mau macam-macam denganku kan? Ucapan ibu tiba-tiba melintas di kepalaku.

"Jangan asal percaya dengan seseorang yang baru saja kamu temui meski itu teman lama! Bisa saja ia tak lagi seperti yang kamu kenal dan mau macam-macam denganmu. Ingat itu Syifa!" Nasihat itu datang tanpa komando di kepalaku.

Karena inilah aku waspada pada semua lelaki yang berusaha mendekatiku.

"Aku tak seperti yang ada di pikiranmu Syifa" celetuk seseorang membuatku tersadar. Dia bisa membaca pikiran?

"Aku tak bisa membaca pikiran, dari ekspresimu aku langsung bisa menyimpulkan" ucapnya seakan menjawab pertanyaanku.

Aku nyengir.

"Yasudah, mau aku bantu dorong motor ke bengkel?" Tanyanya.

"Gak usah kak, biar aku aja" jawabku lalu bersiap mendorong motor menuju tempat yang dimaksud tadi.

Benar saja, bengkelnya penuh dengan motor-motor yang berderet. Benar kata Kak Farsya, mungkin bisa sampai besok selesainya. Aku sudah bilang ke bapak-bapak bengkel dan dia bilang besok sudah siap. Aku mengangguk dan berterima kasih.

Aku keluar dari gang tadi dan nampaklah Kak Farsya melambai di seberang jalan. Aku mendekat ke arahnya dan ia mempersilahkanku masuk ke mobilnya.

"Makasih ya Kak, untung saja tadi ada Kak Farsya" ucapku tulus setelah masuk ke dalam mobil.

"Iya, aku gak mungkin biarin wanita yang sedang kesulitan di pinggir jalan sambil menstater motor" canda Kak Farsya.

Kak Farsya lalu mengemudikan mobil, kami hening sesaat karena tak ada yang membuka obrolan. Lagipula aku lelah untuk mengobrol, aku sangat capek kali ini. Aku menutup mata sejenak untuk merilekskan tubuh.

"Syifa" panggil seseorang membuatku membuka mata.

"Iya"

"Sekarang kerja dimana?" Tanya Kak Farsya.

"Di Bank Syariah kak, depan Pasar Rayung" ucapku

"Kerja apa?" Tanyanya lagi.

"Jadi CS kak" jawabku.

Lagi-lagi hening yang aku dapatkan. Lelaki disampingku juga fokus mengemudi.

"Kakak sendiri kerja dimana? Setelah wisuda Syifa gak pernah bertemu kakak" tanyaku. Lelaki di depanku ini adalah kakak tingkat yang most wanted saat masa kuliah dulu. Selain Ila, Kak Farsya juga sering menemaniku, dengan Ila tentunya.

"Alhamdulillah di Perusahaan yang aku impikan dulu Syif, dan sekarang aku menjadi Manager Keuangan" senyum cerah terpampang di wajahnya. Nampak dia sangat bangga karena usahanya.

"Wah, alhamdulillah" ucapku turut senang.

Aku mengarahkan jalan rumahku ke Kak Farsya, sejak dulu ia belum pernah berkunjung karena aku baru akrab dengannya saat semester 2 dan Kak Farsya sudah semester 4. Lagipula aku jarang mengajak lelaki manapun selain Kak Hafidz karena ibu tak mengizinkan. Nasihat ibu yang paling membekas adalah.

"Ra usah neko-neko, kuliah seng bener ben dadi wong sukses, ra usah pacaran disik! Dadio wong sukses, mergane jodoh sing apik bakalan teko ning waktu apik" Pepatah dari Ibuku tersayang dengan bahasa jawa ngokonya.

(Terjemah: Gak usah aneh-aneh, kuliah yang benar supaya jadi orang sukses, gak usah pacaran dulu! Jadilah orang sukses, karena jodoh yang baik akan datang di waktu yang baik pula)

Ibu menceramahiku seperti itu karena sejak dulu selalu ada lelaki yang mendekatiku. Padahal aku sendiri menganggap teman laki-laki hanya sekedar teman biasa, tak ada apapun yang terjadi karena memang aku ini tau batasan antara lelaki dan wanita. Masa kuliahku dulu tak semulus yang aku bayangkan, jadi aku memang tak neko-neko dalam hal pergaulan.

"Berhenti disini aja kak, biar Syifa jalan kaki. Lagian dekat kok" Ucapku saat sampai di gang depan dukuhku.

"Maaf Syifa, aku bukan tipe lelaki yang memberhentikan wanita di depan gang" ucapnya sambil memasuki gang rumahku.

"Kak gak usah" tolakku yang dianggap angin lalu oleh Si Farsya ini. Aku takut jadi santapan ibu nanti mengajak seorang lelaki ke rumah. Meskipun sekarang aku sudah dewasa, tetapi aku takut kalau ibu mengusirnya.

Aku merapalkan doa semoga ibu sedang jaga warung atau tidak sedang tidur siang. Mobil Kak Farsya berhenti tepat di depan halaman rumahku aku berterima kasih.

Aku keluar mobil disusul Kak Farsya yang juga keluar.

"Besok aku jemput ya Syifa, bukan maksud apa-apa tapi aku ingin membantu" ucapnya terlihat tulus.

"Terima kasih kak, tapi kayaknya gak usah deh" tolakku. Bukan maksud apapun tapi aku memang tak suka membuat orang repot karenaku.

"Tapi motormu?" Tanya Kak Farsya.

"Aku masih punya motor di rumah kok kak. Motor butut ibu" ucapku tanpa menucapkan kalimat terakhir.

"Ah gitu ya?"

"Maaf ya kak, terima kasih bantuannya hari ini" pamitku yang diangguki Kak Farsya. Aku menunggu sampai mobil Kak Farsya pergi dari halaman rumahku, setelah tak terlihat aku langsung masuk rumah dan terkejut saat ibu ada di jendela.

"Motormu dimana Syif? Terus tadi itu siapa? Kenapa bisa pulang bareng?" Tanya ibu beruntun.

"Nih oleh-oleh buat ibu" sodorku dengan plastik hitam.

"Gak sopan! Ibu lagi tanya, dijawab dulu!" Aku mendesah dan akhirnya aku menjawab jujur.

"Motornya mogok di jalan saat Syifa pulang bu, dia Kak Farsya kakak tingkat Syifa dulu, dia menawarkan untuk mengantar Syifa pulang" jelasku membuat Syifa mangut-mangut.

"Terus motor kamu kapan diambil?" Pertanyaan Ibu membuatku berpikir.

"Besok bu, ambil sama ibu ya?" Pintaku dengan mata memohon.

"Hm iya" jawab ibu.

"Nih bu, Syifa beliin bagus-bagus. Syifa mau ke kamar dulu ya" ucapku setelah menyerahkan kantong kresek dan lari ke kamar.

Sampai kamar aku langsung membanting tubuh di kasur kesayanganku. Bukan kasur yang luas, juga bukan spring bed namun kasur ini adalah kasur yang menemaniku saat aku berurai air mata. Kasur ini tempatku melepaskan beban yang tak diketahui orang lain.

"SYIFAA, KENAPA ISINYA DALEMAN SEMUAA?" Teriakan ibu membuat tawaku pecah. Aku memang sengaja membelikan ibu banyak dalaman karena aku melihat beberapa dalaman milik ibu rusak dan bahkan sobek, jadi aku memutuskan untuk membeli itu. Aku heran bagaimana bisa ada orang jualan dalaman di tempat wisata. Untungnya aku belanja sendiri, jadi Ila tak tahu kalau aku beli ini, jika tahu pasti aku ditertawai habis-habisan.

Aku mengusap air mataku setelah puas tertawa, aku menatap figura yang terpampang di dinding kamarku dengan hembusan nafas bahagia. Figura saat aku wisuda dan meraih gelar Sarjana Ekonomi. Senyum cerah dariku dan seluruh anggota keluargaku menyaksikanku bangga saat aku berpidato di podium.

Terlepas dari senyum itu, pastilah ada sisi pahit di belakangnya. Sisi pahit yang tak diketahui siapapun yang mengenalku.

Flashback-

Saat itu adalah hari kelulusanku di masa putih abu-abu. Sorak sorai semua temanku dengan raut bahagia mendengar kami lulus dengan nilai memuaskan. Tak sedikit pula yang bersedih karena selepas ini kita akan jarang bertemu, meninggalkan kenangan yang sudah tercipta dari 3 tahun lamanya kebersamaan.

Perpisahan memang menyakitkan, namun ada arti dibalik itu. Kehidupan yang sebenarnya akan dimulai saat sudah lulus dari masa putih abu-abu.

Saat itu aku punya mimpi untuk bisa berkuliah setelah aku lulus SMK, aku mengutarakan pendapatku namun aku ditentang mentah-mentah oleh Mas Rian-- kakak lelakiku. Lelaki yang bernama lengkap Arianto Hermawan yang saat itu berusia 26 tahun dengan wajah sangar menentang pendapatku.

"Syifa! Hidup kita ini sudah sulit, kamu mau ngebebanin ibu lagi?!" Sentak Mas Rian kepadaku di ruang tamu. Saat itu ibu pergi bekerja sebagai buruh cuci di desa seberang. Istri Mas Rian-- Mbak Dian dan anaknya-- Zain yang berusia 1 tahun ditinggal di rumah mertuanya karena saat itu masih menumpang.

"Tapi mas- aku bisa cari pekerjaan sambil kuliah" ucapku mempertahankan pendapatku.

"Syifa, pada akhirnya perempuan itu di dapur dan ngurus anak! Kamu gak usah aneh-aneh, hidup kita ini sudah susah Syifaa" aku merasa tersinggung dengan perkataan Mas Rian meski aku tau setengahnya benar.

"Pasti ada jalan mas, kita gak akan tau apa yang terjadi nanti. Jika akhirnya Syifa menjadi ibu rumah tangga, Syifa bisa ngedidik anak-anak Syifa dengan ilmu pendidikan" bantahku lagi.

"Nurut sama mas Rian Syifaa, mas ini sudah repot ngurus istri dan anak, sekarang mas harus nanggung biaya kamu?" Ujar Mas Rian dengan kenyataan yang menusuk.

"Mas cuma lulusan SMP dan mas gak bisa kerja di kantor-kantor, mas ini cuma kuli bangunan Syifaa" Sekali lagi, ucapan Mas Rian membuatku down.

"Syifa gak pernah minta mas bayarin uang kuliah! Syifa bisa cari sendiri mas!" Aku masih mempertahankan pendapat.

"Kita gak punya biaya lagi Syifa, kita udah gak punya bapak, ibu juga kerja serabutan ditambah mas yang fokus pada istri dan anaknya mas. Mas ingin kamu prihatin sedikit"

"Jika kamu kuliah pasti butuh motor bukan? Kita hanya punya sepeda butut Syifaa"

"Uang hasil kerja ibu juga habis buat makan sehari-hari, juga masih banyak hutang di saudara-saudara yang menumpuk. Kamu masih punya hati untuk menambah beban ibu?" Aku tercenung, bibirku kelu untuk menjawabnya dan aku hanya mampu pergi ke kamar lalu terisak pelan di kasur ini.

Flashback off-

Saat itu aku hanya berpikir, bagaimana aku bisa mencari uang? Untungnya pihak SMK sudah menyediakan pekerjaan yang sesuai jurusanku.

Berbagai macam pekerjaan sudah pernah aku lakoni. Dari pengalaman pahit menjadi sales kosmetik, pengalaman rumit menjadi account officer, dan pengalaman yang lainnya.

Saat semua orang ingin kuliah agar bisa kerja, sementara aku kerja agar bisa kuliah. Disaat yang lain kuliah agar bisa mencari uang, sementara aku mencari uang agar bisa kuliah. Disaat yang lain mencari ilmu untuk uang, kami mencari uang untuk ilmu. #KuliahSambilKerja.

Bersambung..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro