Asyifa - 18
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"Aku rindu denganmu ayah, aku ingin memelukmu dan bercerita banyak hal tentang perjalananku. Namun sekarang hanya doa yang mampu kusampaikan, agar engkau tenang disisiNya"
Author Pov.
Gadis itu sedang menunggu hujan reda di halte bus, aneh memang. Tubuhnya sudah basah kuyup tetapi ia memilih untuk berhenti dan membiarkan tubuhnya diserang angin dingin. Ia tak ingin resiko lagi, jika ia tetap menerjang hujan lebat ia tak yakin akan pulang selamat.
Sudah 20 menit Syifa berteduh di halte bus, hujan tak mau berhenti seakan mengurung Syifa sendiri dengan tubuh menggigil. Motornya ia taruh di sebelah halte bus, syukurnya motornya tak rusak, hanya ada goresan kecil disekitar plat motornya. Hari yang berat menurutnya.
Derai air hujan membawa Syifa pada lamunannya. Jika orang lain teringat pacar atau mantan saat hujan, Syifa teringat dengan sosok ayah yang sangat disayanginya dan sudah lama tiada.
Sesosok ayah dengan ciri khas berkumis tebal dan bertubuh tinggi juga watak keras hingga membuat ayah Syifa menjadi orang yang disegani di kampungnya karena wataknya yang keras dan pendiam. Bapak Mulyono, itulah namanya.
Syifa sudah kehilangan sosok itu sejak 8 tahun yang lalu, terkadang Syifa rindu dan hanya bisa memandang foto ayahnya. Terkadang air mata mengalir dengan sendirinya, ia teringat saat-saat terakhir yang indah dengan ayahnya.
*Flashback on*
Saat itu ayahnya mengajaknya untuk pergi ke sawah di sore hari, tak biasanya ayahnya mengajak Syifa pergi, Syifa yang berumur 15 tahun itu senang sekali. Mereka berjalan kaki di jalan kecil menuju sawah yang terkenal dengan pemandangan yang indah.
"Fafa, apa yang kamu inginkan nanti kalau sudah besar?" Tanya sang ayah pada Syifa.
"Fafa ingin membuat bapak dan ibu bangga karena kesuksesan Fafa" jawab Syifa yang saat itu berumur 15 tahun.
"Janji dengan bapak ya! Fafa harus sukses dan jadi anak yang baik" Ujar Ayah Syifa sambil mengelus kepala.
"Janji" jawab Syifa.
Mereka menghabiskan waktu dengan bercengkrama, menceritakan kisah lucu dan bermain-main sampai senja datang, mereka menikmati waktu sambil melihat matahari terbenam. Syifa bahagia sekali di senja itu, itu adalah senja pertamanya yang dilewati dengan ayahnya. Ayah Syifa yang biasanya dingin tiba-tiba berubah menjadi sosok yang hangat dan menyayangi Syifa. Syifa kira ayahnya akan selalu seperti ini sampai ia dewasa nanti, namun sayang takdir kehidupan lebih kejam daripada yang ia bayangkan.
Di malam hari pukul 11 malam setelah sore hari yang indah, tiba-tiba suara gaduh datang dari kamar Ayah dan ibunya. Syifa bertanya-tanya pada dirinya apa yang terjadi di kamar ayahnya sampai ibunya berteriak? Syifa lantas berdiri menahan kantuknya lalu berjalan menuju kamar ayahnya.
Alangkah terkejutnya Syifa, ayahnya pingsan dalam dekapan ibunya yang menahan berat badan. Ibunya meminta Syifa untuk menemani ayahnya yang tengah sesak nafas sambil meracau tidak jelas sementara Ibu Narsih pergi meminta tolong kepada tetangga sebelah yang mempunyai mobil untuk membantunya membawa suaminya ke rumah sakit.
Tak berapa lama rumahnya sudah dipenuhi dengan tetangga yang bersiap mengantarkan ayahnya ke rumah sakit.
"Syifa, kamu berani dirumah sendiri atau tidur di rumah Mbak Mia?" Tanya ibu yang mulai panik.
"Syifa tidur di rumah aja bu" ucap Syifa. Gadis itu memilih tinggal daripada ikut ibunya karena besok ia harus mengerjakan soal Try Out I dan untungnya sudah hari terakhir.
"Nanti kalau ada apa-apa gimana? Kamu tidur di rumah Mbak Mia ya?" Ibu Narsih tetap memberi tawaran pada Syifa, Bu Narsih takut anak gadisnya dirumah sendiri.
Syifa mengangguk pasrah, ia akan tidur di rumah tetangganya malam ini, sebenarnya ia agak asing karena Syifa tak punya saudara disini, kalau ada apa-apa pasti selalu merepotkan tetangganya, untung saja tetangga bagian utara baik dan menganggap bahwa Syifa dan keluarganya sebagai kerabat.
Gadis itu tidur di Kamar Mia-- yang saat itu berusia 18 tahun, Pikirannya tak tenang memikirkan apa yang terjadi dengan ayahnya, sekilas bayangan buruk melintas di pikirannya. Syifa berdoa dalam hatinya, memohon kepada Allah agar diberi ketenangan hati dan berdoa agar ayahnya baik-baik saja. Perlahan ia terlelap, ia berdoa dalam hatinya berharap kejadian hari ini adalah mimpi. Ia berharap agar besok ia terbangun dan semuanya baik-baik saja.
***
Esoknya Syifa terbangun dan mengedarkan pandangannya, ia masih di rumah tetangganya, ternyata tadi malam itu bukan mimpi tetapi kenyataan. Syifa bersiap pulang ke rumah, mandi lalu sekolah. Syifa menyempatkan waktu belajar karena ini adalah hari terakhirnya mengerjakan Try Out I dan mengerjakan mapel yang Syifa sukai, mapel IPA.
Gadis itu berangkat dengan sepeda bututnya, ia tak pernah malu dengan kendaraan yang dipakainya, dengan semangat ia mengayuh sepeda, tak peduli bahwa ia memiliki masalah di rumah. Ia harus tetap semangat, hari ini adalah hari ujian Syifa, ia ingin mendapat nilai yang memuaskan dan membanggakan, untuk ayah dan ibunya.
***
Selesai ujian gadis itu langsung bersiap pulang, ia ingin menelfon ibunya dan ikut ke rumah sakit. Dahi Syifa berkerut melihat ada tenda di depan rumahnya, banyak juga kerabat Syifa yang berkumpul. Sebenarnya ada apa ini?
"Mba Syifa" panggil seseorang dari belakang. Syifa menoleh.
Fifah--- sepupunya datang kemari dan langsung memeluk Syifa.
"Kenapa Fa?" Tanya Syifa yang melihat tubuh Fifah bergetar.
"Mba Syifa yang sabar ya" ucapan Fifah membuat Syifa tersadar, Syifa langsung masuk rumah dan pandangannya melihat tubuh kaku yang tertutup kain jarik.
"Ba-bapak" ucap Syifa bergetar melihat tubuh sang ayah yang pucat.
"Syifaa" panggil ibunya.
"Ibuu, bapak kenapa bu?" Tanya Syifa sambil menangis. Ibu Narsih mengelus pundak Syifa yang masih memakai seragam SMP.
"Bapakmu sudah gak ada nak" ucap Ibu Narsih.
Bagai disambar petir di siang hari, Syifa terkejut luar biasa mendengar kematian sang ayah yang mendadak.
"Gak bu, gak mungkin, bapak sehat-sehat saja buu, Gak mungkin!" Teriak Syifa, meski ayahnya wataknya keras tapi Syifa tahu ayahnya menyayanginya, ayahnya tak mungkin meninggalkan Syifa.
Syifa bahkan belum bisa menepati janji ayahnya untuk sukses, kenapa ayahnya pergi secepat ini?
Dari sinilah Asyifa berubah, ia menjadi sedikit pendiam dan selalu menyalahkan takdirNya, kenapa kebahagiaan tak pernah memihak Syifa? Apa salahnya sampai kebahagiaan yang baru saja diciptakan bersama ayahnya terenggut juga? Terkadang Asyifa tak mengerti, drama kehidupan memang sepahit ini.
Hingga seseorang membantu Syifa dari lubang keterpurukan, seseorang itu membimbing Syifa agar tak mudah mengeluh dan menyalahkan takdir. Dia, Hafidz. Sahabatnya yang selalu ada saat bahagia atau terpuruk. Lelaki itu menguatkan Syifa saat ia down. Selalu disampingnya dan tidak meninggalkannya.
Sudah cukup ia kehilangan satu orang pria yang berarti dihidupnya. Ia tak ingin sahabatnya juga pergi meninggalkannya. Kali ini ia menginginkan, agar kebahagiaan yang sesungguhnya segera datang menghampirinya.
*Flashback Off*
Syifa masih termangu dalam pikirannya hingga tak sadar bahwa hujan telah berhenti. Gadis itu segera menstater motornya, beruntung motornya tak mogok sehabis jatuh. Sisa perih di lututnya ia coba hilangkan, sisa perih di sikunya tak lagi ia rasakan saat bertemu dengan sang ibu di rumah.
"Ya Allah, nih anak basah kuyup pasti nerjang hujan ya?" Sodor ibunya saat masih di ambang pintu.
"Iya bu, biasa lah masa kecil kurang bahagia" jawab Syifa.
"Yaudah sana masuk, masuk angin baru tau rasa" gerutu ibunya. Syifa melengang dan masuk rumah.
"Eh bentar, kakimu kenapa?" Tanya ibu. Syifa mendadak pias, ia lupa akibat jatuh tadi roknya jadi berlubang.
"Gak papa bu, nabrak meja tadi" jawab Syifa, ia tak ingin ibunya tau. Ibunya menatap sipit pada kaki Syifa seakan meminta penjelasan.
"Makasih kain batiknya ya bu, Syifa syukak" ucap Syifa mengalihkan pembicaraan.
"Iya, yaudah sana mandi. Mau ibu rebusin air panas?" Tanya Bu Narsih.
"Enggak usah bu, Syifa rebus sendiri aja" Ucap Syifa. Hal yang enak dilakukan saat musim hujan adalah mandi air hangat, entah mengapa Syifa suka hal itu. Ia bahkan bisa menghabiskan waktu berjam-jam di kamar mandi.
Syifa merebus air lalu setelah itu ia mandi selama 30 menit lamanya.
Syifa keluar dengan keadaan fresh, lalu ia berjalan keluar dan membuka jok motor mengambil tas dan hpnya.
3 whats app message.
Ila
P
P
Jawab elahh
Syifa mendengus, tak adakah yang ngechat selain dia?
Anda
Hm.
I
la
Besok kan weekend, out yokk.
Anda
Gak punya duit.
Ila
Alah, bilang aja minta traktir.
Anda
Tuh tau.
Ila
Yaudah, aku traktir. Ke hill vaganza ya!
Anda
Terserah.
Syifa menutup handphonenya, kakinya semakin perih jika tidak diobati. Ia mengambil kasa dan betadine di kotak obat lalu segera ia obati.
Layarnya berkedip pertanda ada pesan masuk.
Ila
Sif, aku ngajak Si Hafidz.
Seketika Syifa melotot membaca pesan itu.
Anda
Kok gitu?
Ila
Tenang aja, orangnya mau kok.
Syifa menghembuskan nafas, Ila merupakan orang yang selalu optimis, apa yang ia inginkan harus ia dapatkan. Syifa semakin tersisih posisinya, suatu hari ia takut Hafidz pergi meninggalkannya seperti ayahnya yang pergi untuk selama-lamanya.
Bersambung..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro