
Bab 30 - Mustika Berbahaya
Hanya dengan sekali hempasan tangan kegelapan yang berselimutkan asap hitam tebal bagai awan kelam mendung menggelegarkan kilat, tubuh terikat Nyai Laksmi terlempar dan menghantam batang sebuah pohon bersisi enam. Di sana, sulur-sulur ranting hidup menggantikan ikatan kawat bertegangan milik Sukma Ayu. Nyai Laksmi yang bertubuh kecil layaknya tubuh seorang nenek tua, meski dengan segenap kesaktian akibat tempaan waktu, tak mampu membebaskan diri. Inilah akibat dari ajian tapak hempas maut dari Sukma Ayu yang melenyapkan eksistensi murid Gandarupa kesayangannya. Semua tahu, ajian tapak hempas maut itu begitu dahsyat dan menguras begitu banyak energi. Tidak patut dipergunakan sering-sering. Jika hendak hidup lebih lama, lebih baik bijak untuk mengerahkannya sekali waktu dalam hidup. Itulah ajian berbahaya yang bisa diperoleh dari pendekar golongan hitam yang keberadaan padepokannya sukar diketemukan.
Semenjak dahulu, putih selalu saja berseberangan dengan hitam. Kali ini, hitam tengah menampilkan sisi yang lebih mengerikan. Lalu ke mana sang putih? Menurut semedi yang Nyai Laksmi lakukan, sang putih bukanlah satu orang saja, putih adalah kita. Satu yang disebut pendekar putih yang ikut serta membuka dunia Watukayu ini bersama tiga pendekar abu-abu, tengah menjalani misi di dunia permukaan. Maka, harapan jatuh kepada Jaka si Wayah Kelana. Nyai Laksmi tak menghabiskan energi untuk mencoba berontak, dia justru memusatkan energi yang tersisa untuk mengirim sinyal kepada tiga pendekar dan para nyai dan ki pengasuh padepokan. Didapati olehnya, mereka tidak berada dekat-dekat sini. Semoga mereka selamat.
Hal yang gawat sedang terjadi di depan mata. Sosok hitam itu tengah melahap jiwa-jiwa malang yang terkurung dalam botol hasil tangkapan tiga pendekar abu-abu. Jadi itulah yang mereka incar di peristiwa huru-hara di padepokannya. Perempuan muda itu, Sukma Ayu, dugaannya benar, perempuan yang dikatakan dalam legenda, si pendamping yang berkhianat terhadap Jaka si Wayah Kelana, bersekutu dengan pihak jahat.
"Kau benar, jiwa-jiwa malang ini adalah nutrisiku." Kata si sosok hitam. Wujudnya memadat, tanduk dan ekornya melesak masuk ke balik kulit kehitaman. Matanya merah darah. Asap kehitaman yang mengelilingi sosoknya, berubah menjadi kain yang mampu bergerak sendiri melilititi tubuh sebagai jubah. "Banyaknya jiwa-jiwa malang hasil pembunuhanmu, cukup memberi suntikan kekuatan dari paruh jiwa yang dihembuskan Ratu Siluman untukku."
Sukma Ayu yang kini telah berganti pakaian selendang warna merah muda, meletakkan lututnya ke tanah untuk memberi abdi kepada sosok hitam. Ia menundukkan kepala tunduk.
"Namun kau jangan bersenang dulu. Tugasmu masih belum usai. Aku masih memerlukan mustika itu."
"Akan kudapatkan untukmu, tuanku."
"Bila tidak, jantungmu akan kucabik dan kuambil sendiri mustika kekasihmu."
Sukma Ayu mendongakkan kepala. Menatap tajam kepada sosok hitam. "Dia bukan lagi kekasihku. Kekasihku pastilah dengan sukarela memberikan jantungnya untukku."
"Anggapan yang bodoh. Sedalam-dalamnya cinta seseorang, kusangsikan mereka bakal menyerahkan nyawa untuk membuktikan itu." Sosok hitam mencemooh.
"Akan kucabik jantungnya untukmu dan kurenggut mustikanya!" Sukma Ayu bangkit berdiri. Meneguhkan pendirian di hadapan tuan kelamnya.
Sosok hitam bangkit berdiri dengan gagahnya. Menjulang satu kepala lebih tinggi dari pada Sukma Ayu. Gerak tangannya menyeret Sukma Ayu yang berdiri sepuluh langkah darinya jadi lebih dekat. Sukma Ayu membiarkan dirinya jatuh dalam dekapan sosok hitam yang membabi buta mencumbunya.
"Napas kehidupan hawa. Sebuah suntikan hidup."
Ini berarti sepersekian jiwa Sukma Ayu telah menjadi milik sang hitam.
******
"Kita terlambat." Kata Darto saat mereka berempat telah kembali ke padepokan Nyai Laksmi yang telah porak poranda berserakan mayat-mayat para pendekar dan Gandarupa, serta gundukan abu para siluman baik yang gugur.
"Tidak mungkin. Bukankah pertahanan tempat ini cukup kuat demi menghalau pihak jahat?" kata Eko.
"Mungkin bila mereka cukup kuat untuk mendobraknya." Simpul Takim.
Jaka Wiranggaleng yang telah mendapat kesejatian utuhnya, tercenung pilu melihat kehancuran ini. Mereka pergi hanya barang sebentar, menurut perkiraan waktu yang telah dimanipulasinya.
"Jaka?" tegur Darto, yang mendapati si Wayah Kelana itu tengah menggerakkan tangan menyapu udara.
Jaka Wiranggaleng tengah memutar waktu, hendak menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi. Barang satu menit, dia telah usai menunaikan. Baru mau menjelaskan apa yang terjadi, ada suara rintih kesakitan yang memanggil.
"Jaka, kau terlambat."
Suara itu dikenalnya sebagai, "Gandarupa Desi?" Jaka Wiranggaleng bergegas mencari sumber suara, diketemukannyalah sosok Gandarupa Kuning yang babak belur penuh darah dan sendi yang memuntir, tertiban balok kayu pendopo. "Kau terluka. Di mana yang lain?"
Tiga pendekar abu-abu mendekat, menatap prihatin, sekaligus memandang awas ke sekitar.
Gandarupa Desi kesulitan menjawab. Terbatuk-batuk darah. Pendekar Takim mengulurkan sebuah botol kecil, "Ini minumlah." Jaka Wiranggaleng meneteskan cairan kehijauan dari botol kecil itu ke mulut penuh darah Gandarupa Desi.
"Kau terlambat." Kata Gandarupa Desi setelah mereguk secuil kepulihan. Ia merintih ketika sendinya tengah memperbaiki sendiri. "Mereka membawa Nyai Laksmi."
"Ke mana? Lalu, mana juga yang lain?"
"Yang lain tumbang. Para pengasuh padepokan lain telah pergi kembali ke tempatnya masing-masing dengan luka parah."
"Bagaimana dengan ayahmu?"
"Ayahku sirna. Ajian tapak hempas maut. Sukma Ayu-mu." Gandarupa Desi mengucapkan dengan getir.
Ketiga pendekar abu-abu saling tukar pandang. Ajian yang baru disebut Gandarupa Kuning adalah ajian tapak yang paling mematikan. Tak mungkin selamat dari serangan itu.
"Sukma Ayu-mu membawa Nyai Laksmi. Kau ditunggu olehnya. Di tempat pertama."
Jaka Wiranggaleng menggeleng. "Jangan lagi-lagi katakan dia sebagai Sukma Ayu-ku. Karena sudah bukan lagi. Dia adalah Sukma Ayu jahanam."
Gandarupa Desi terbatuk lagi. "Dia memang jahanam pembudak para siluman jahat berkekuatan tinggi. Jaka, kau harapan alam ini. Kau adalah sang legenda. Kuharap kau datang membawa jawaban atas segala kekacauan ini." Gandarupa Desi kemudian jatuh tak sadarkan diri akibat luka yang sedang menyembuhkan diri.
Jaka menyerahkan Gandarupa Desi yang terluka itu kepada Eko. Lalu ia bangkit berdiri. "Bawa dia ke padepokan Nyai Sekar Jati. Pulihkan dia dan kalian temui Nyai Sekar Jati. Beliau tahu penuntas segala kekacauan ini. Bergegaslah."
Darto menghentikan Jaka yang hendak membuat portal di udara. "Lalu kau mau ke mana? Menghadapi mereka sendirian? Kau butuh segala kekuatan."
"Dapatkan kekuatan itu di padepokan Nyai Sekar Jati. Aku harus menuntaskan satu hal dulu."
"Apa itu?"
"Aku tidak bisa melanjutkan dengan tubuh ini. Tubuh ini tidak seharusnya di sini. Tubuh ini milik Jaya. Aku tahu tempat diriku dulu menyembunyikan jiwanya." Jaka Wiranggaleng melanjutkan membuat portal demi tiga pendekar abu-abu itu lewati menuju padepokan Nyai Sekar Jati.
"Lalu bagaimana kami menemukanmu? Di mana tempat pertama itu?" tuntut Takim.
"Tenang. Kalian akan tahu, lihatlah ke langit dan cari sorotan sinar kebiruan. Aku akan mengungkap tempat itu. Bergegaslah."
Yang menjadi pertanyaan tiga pendekar abu-abu saat memasuki portal adalah, jika tubuh itu milik jiwa manusia Jaya, lalu bagaimana Jaka Wiranggaleng mendapatkan tubuh utuhnya? Lalu bagaimana dengan mustika yang berada di jantung Jaka? Jaka belum menjelaskan secara gamblang hal tersebut.
******
Jaka Wiranggaleng mengayungkan tangan membelah udara. Menciptakan lingkaran portal. Menuju dimensi percabangan. Dia melangkah masuk dan menjulurkan tangan mengeluarkan semacam tali yang membentang menunjukkan jalan. Di dimensi percabangan itu dia haruslah hati-hati, karena baru dialah yang mampu masuk ke tempat ini. Jangan sampai ada satu pintu yang tak sengaja terbuka karena kelalaianya, seperti waktu dahulu ketika portal siluman jebol karena ketidakmampuannya mengontrol kekuatan. Jaka Wiranggaleng berjalan cepat sembari menjaga kefokusan. Di dimensi percabangan ini waktu tidak berlaku.
Berada di dimensi percabangan ini, jantungnya tampak menyala seolah tubuhnya terbuat dari daging yang transparan. Menyala dan berdenyut seiring langkah menelusuri tali penunjuk.
Rencana pelarian yang dibuatnya dahulu ketika Sukma Ayu menuntut demi jantungnya, adalah rencana gegabah, namun harus dilakukan. Dia tidak sempat memilih siapa manusia yang bakal menjadi inangnya. Awal mula ia berencana untuk mengubah partikel tubuhnya menjadi sedemikian fleksibel sehingga keutuhan jiwa raganya dapat menumpang di tubuh manusia itu tanpa dirasa dan tanpa disadari. Namun, yang terjadi sungguhlah di luar dugaan. Jalur perpindahan jiwa yang dibuatnya kurang sempurna, jembatan untuk menyambung ke manusia yang sedang tak sengaja melakukan perjalanan sukma yang tanpa disadari, kuranglah kokoh. Sehingga ketika jiwa termampatkan Jaka telah menempati raga kosong Jaya, jembatan itu telah terputus akibat amukan Sukma Ayu. Sehingga menyebabkan jiwa Jaya yang lagi tersesat terputus talinya dan tersedot ke sebuah alam yang memuat jiwa-jiwa yang bakal ditiupkan ke tubuh mungil calon manusia.
Kini, setelah kesejatiannya ia peroleh secara utuh. Dia tahu di mana tempat itu. Dia tengah membukanya dengan hati-hati. Sebuah pintu serupa lubang hitam yang berjajaran dengan pintu-pintu lain yang tengah tertutup. Berdenyar-denyar sinar warna-warni berkedip-kedip, menjalar saling mengikat satu sama lain seperti benang-benang saraf.
Demi memisahkan jiwa termampatkan seorang Jaka Wiranggaleng sang Wayah Kelana, ia mesti menubrukkan diri pada tombak kehidupan yang menjadi pusat alam jiwa-jiwa ini. Jaka melesat cepat dengan bantuan dorongan tali translusen yang menjulur dari tangannya. Kecepatannya mendekati kecepatan cahaya. Inilah cara supaya raga milik manusia bernama Jaya menjadi kosong dan jiwa Jaya akan mencarinya untuk kemudian memasuki. Di alam ini, untunglah, tali jiwa yang telah terputus mampu tersambung kembali apabila raga berada dalam jarak yang dekat.
Ujung lancip tombak kehidupan itu berdenyar-denyar keperakan menyambut lesatan Jaka. Tertembuslah dia. Raga kosong milik Jaya dihempaskan dari pangkal tombak kehidupan, meluncur kemudian mengapung di udara. Jiwa termampatkan Jaka berubah menjadi keperakan dan membebaskan diri dari tusukan tombak kehidupan. Ia melayang mengamati adakah jiwa yang tengah meluncur sebab mencium raga sejatinya sedang berada dekat-dekat.
Tak perlu menunggu lama. Raga Jaya yang tengah mengapung itu seperti dibungkus semacam jaring keperakan. Lalu sesuatu yang mirip laba-laba translusen tengah memintal kembali tali jiwanya. Denyut-denyut kehidupan terjalin kembali untuk menyatu utuh seperti sedia kala. Seiring dengan itu, Jaka Wiranggaleng dengan segenap kekuatan yang menjadikannya legenda, mewujud. Dari non materi menjadi materi, memadat. Tubuh yang memanglah bila dipandang sekilas, agak serupa dengan milik Jaya.
Napas baru terasa berhembus dalam alam itu. Dilihatnya menyeluncuri tali jiwa keperakan yang dibangun laba-laba translusen itu, tubuh perak yang menyatakan diri sebagai jiwa Jaya, masuk ke raganya. Jaya membuka mata dengan takjub. Jaka Wiranggaleng berdiri di hadapannya. Menyentuh keningnya. "Kau harus kembali. Maafkan aku telah melibatkanmu dalam bencana ini." Tangan Jaka satunya menyentuh dengan tekanan lebih ke dada tempat jantung Jaya berdetak.
Dari belakang tubuh Jaya, membukalah sebuah portal yang menyerupai corong. Dengan sekali hempasan, Jaka mengirim Jaya kembali ke dunia permukaan. Dunia tempat asal.
******
Tiga pendekar abu-abu duduk di seberang meja tempat mangkok-mangkok gerabah berasap milik Nyai Sekar Jati. Mereka mengawasi perempuan yang tak pantas disebut sesepuh karena masihlah tampak dia sebagai perempuan muda. Banyak yang berkata dari kalangan pendekar golongan bebas bahwa, penampilan yang tampak di mata orang yang bertemu dengannya, bisa berbeda-beda. Bahwasanya perempuan pengasuh padepokan pendekar kelas tinggi itu mampu memanipulasi umur serta realitas. Nyai Sekar Jati tampak cantik walau tengah dikepung asap beraromakan kembang kamboja dan melati bercampur. Pakaiannya agak minim, hanya selendang panjang yang menutupi payudara menyembul dan bagian kewanitaan. Rambutnya yang dikepang satu ke belakang, panjangnya tak ada yang tahu. Ada yang berkata panjangnya mampu mengeliling padepokan asuhannya. Pipi perempuan itu ditorehi dua garis berwarnakan putih, dan di kepalanya terpasang jalinan dedaunan yang berujungkan warna merah. Tidak ada yang mampu menyangkal bahwasanya Nyai Sekar Jati adalah perempuan yang eksotis.
Terbukanya mata putih Nyai Sekar Jati mengejutkan tiga pendekar abu-abu beserta Gandarupa Kuning. Itu adalah tanda, tubuh astral perempuan itu telah kembali ke raga. Telah kembali dari perjalanan mencari kebenaran.
Dengan nada agak berguncang Nyai Sekar Jati mengatakan, "Mustika jantung Wayah Kelana itu berbahaya. Mustika itu adalah mustika dimensi. Celakalah bila sampai direnggut oleh pihak jahat. Dan celakalah, sebab Wayah Kelana itu akan melakukan hal yang kita khawatirkan."
"Dia bakal melakukan apa Nyai?"
"Dia akan mengorbankan diri."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro