Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 19 - Potret Wajah

Bilik-bilik praktik Wisata Sukma telah dipugar. Dinding gipsumnya ditempeli pernak-pernik bertemakan psychedelic, yang menimbulkan tipuan mata. Di setiap pojokan terdapat vas bunga lavender, menguarkan aroma relaksasi. Lantainya bermotifkan papan catur. Masuk ke dalam bilik itu seperti langsung tersirep.

Demikian itu hasil jerih payah Jaya dibantu oleh Slamet di bawah arahan Eyang Wiro. Jaya menerka-nerka apakah Slamet tahu apa sebetulnya fungsi bilik-bilik ini. Sewaktu ditanya, jawabnya. "Ya saya mah cuma nurut permintaan Eyang saja. Saya tidak neko-neko, mas Jay. Lebih baik saya tidak tahu, daripada tahu tapi pusing dibikinnya." Dilanjut seringaian lucu.

Bisnis "rahasia" wisata sukma itu tidaklah memerlukan brosur sebagai media promosi. Cukup diladeni dengan jaringan rahasia yang Jumari urus, pelanggan mulai berdatangan. Slamet yang menjaga meja resepsionis sudah tahu bila tamu datang kemudian langsung naik ke lantai dua, berarti bukan urusan travel biasa. Slamet mengangguk saja mempersilakan tamu masuk.

Jaya mengamati, sepertinya tidak sekali pun Jumari berkomunikasi dengan Slamet ketika datang bersambang. Dalam benak ia menerka-nerka lagi.

Sebelum resmi praktik wisata sukma dibuka, Jumari membiarkan dirinya digunakan sebagai media latihan Jaya: mengirim tubuh astral tanpa memisah raga. Perlu berkali-kali ujicoba sampai akhirnya berhasil. Dan setiap percobaan itu Jaya terkulai lemas.

"Ingat Jaya. Kesadaran Universal kian meningkat." Eyang Wiro memberi dukungan.

Yang membuat Jaya terpegun adalah sewaktu berhasil melancarkan pengiriman tubuh astral Jumari itu, ia dalam kondisi sadar menyentuh ubun-ubun Jumari. Di situ ia melihat dengan jelas jalur perak terbentang. Ia bagai melihat menembus tabir-tabir dimensi. Dan dari kejauhan ia bisa menyaksikan tubuh astral Jumari berkeliaran di tempat tujuan. "Luar biasa." ucapnya seraya terengah.

"Betul kan apa yang kubilang, kemampuanmu luar biasa." ucap Eyang Wiro. Mendengar itu Jaya diam saja, khidmat sendiri.

Debar-debar ganjil senantiasa memenuhi dadanya. Setiap hari acapkali membuka mata serta tatkala malam memejamkannya. Sensasi yang menggigilkan sendi. Pundi-pundi rekeningnya memang membengkak dengan bangganya, seolah mengejek masa lalu. Pemikiran bahwa ia kini bisa disebut jutawan, menarik bibir hingga menyeringai lebar. Mengiring langkah kaki menuju kantor Astral Travel Agent.

Amin kebagian durian runtuh. Jaya betapa royal membagi lembar-lembar merah kepada karibnya itu, guna dikirim ke sanak saudara Amin di Sumatera sana.

Baru lima hari terumumkan melalui jaringan rahasia Jumari, lima bilik terisi penuh. Pelanggan itu kebanyakan bapak-bapak pejabat dan pengusaha kaya raya. Mereka-mereka yang menganggap uang 75 juta itu receh.

Perjalanan standar dengan ongkos termurah itu bertujuan Tokyo dan sekitarnya. Sedangkan perjalanan menuju Mesir, Amerika, Perancis, ada pula yang secara khusus memohon dikirim ke Antartika, bisa mencapai seratus juta.

Eyang Wiro bersandar santai di kursi goyangnya sambil kipas-kipas. Sesekali mengecek keadaan para pelanggan yang tertidur pulas. Jaya dibuatkan ramuan penjaga stamina oleh Eyang Wiro, yang tentu rasanya tidak enak.

Yang murah-murah itu, cuma mengambil waktu wisata selama satu atau dua hari saja. Itu pun mereka bangun dengan riang gembira. "Benar-benar luar biasa. Seperti berwisata asli. Aku bercengkerama dengan penduduk lokal sana." Kata anggota dewan yang mahir berbahasa Jepang. "Aku dibawakan ini oleh mereka. Ini untukmu." Bapak berambut klimis itu menyerahkan boneka porselen yang memuat boneka lebih kecil lain di dalamnya kepada Jaya.

"Benar-benar setimpal. Yang kubayarkan ini kurasa masih terlalu murah daripada pengalaman yang kudapat. Luar biasa." Ucapnya lagi sembari menggelontorkan segepok uang tunai ke tangan Eyang Wiro. "Tak sabar aku untuk perjalanan berikutnya."

Padahal sewaktu Jaya menjemput, bapak itu lagi bercumbu dengan perempuan manis Jepang, di kasur lantai.

"Terima kasih terima kasih. Tapi ambillah waktu satu atau dua bulan jeda. Slot-slot wisata sukma sudah dipesan banyak pengantre." Eyang Wiro memberitahu.

"Oh tentu. Aku bakal santai." Bapak itu kemudian pamit.

Si bapak berwajah India yang mengambil tujuan Mesir, kepala bergoyang menceritakan pengalaman. Bapak itu adalah pengusaha kain di Bintaro. Sekali waktu Jaya pernah berpapasan dengannya di salah satu kencannya bersama Desi, bapak itu memborong perlengkapan gym.

"Menyenangkan tidak perlu ribet-ribet membawa tubuh ini ke sana. Saya merasa benar-benar pulang ke kampung halaman. Jalan jalan ke piramid. Tiga hari yang mengesankan. Ziarah ke makam ibu. Mengharukan." Dia tergelak kencang. "Pasti sanak saudara yang bertemu denganku itu akan kaget kalau tahu aku tidak benar-benar secara fisik berada di sana. Kamu luar biasa, siapa namamu tadi?"

"Saya Jaya." Ribet-ribet katanya, padalah habis seratus juta. Dasar orang kaya. Jaya membatin.

"Ya, kamu luar biasa Jaya. Aku merasa beruntung menjadi pelanggan pertama. Karena waktu sebelumnya aku tidak sempat mencicipi perjalanan ini, keburu anaknya pergi." Jaya menoleh ke Eyang Wiro yang membuang muka.

Satu pertanyaan besar mendarat.

Jaya kemudian tak berhenti menerka-nerka dalam benak, siapakah gerangan pendahulunya itu. Dan apa yang terjadi dengannya? Disebut sekilas tadi, Eyang Wiro jadi terkesan menjauhi Jaya. Orang tua itu mengunci diri di ruangannya. Jaya tambah penasaran. Harus bertanya, harus!

Makin mendekati hari lebaran, makin banyak yang memesan slot wisata sukma. Jumari yang sering hadir jadi ribet sendiri menjawabi mereka-mereka yang tak sabar itu. Jaya mendengar ada yang sampai membentak-bentak, oleh Jumari tak digubris langsung dimatikan. "Yang bebal-bebal begitu jangan diladeni." Katanya.

Mondar-mandir tiap bilik Jaya periksa. Memantau dengan terawangan tembus dimensi, apakah orang-orang itu masih berada di jalur tali jiwa atau tidak. Untunglah mereka masih bisa dikendalikan, bila tidak bakal kerepotan dia. Jangan main-main dengan tubuh astralmu. Karena permintaan yang banyak itu, Jaya jadi membatasi durasi perjalanan sukma. Tentunya dengan tarif yang dipotong. Mereka toh oke-oke saja.

"Tidak apa-apa, yang penting pengalamannya itu." Kata salah satu tamu, pengusaha mebel kawasan Ciledug.

Yang tak diduga-duga datang. Seorang wanita umur tigapuluhan, tampaknya seorang sosialita. Meminta dikirim ke Afrika Selatan. Katanya, "aku ingin bertemu pacarku. Aku kangen."

Terbetik fantasi di kepala Jaya. Dan ternyata bukan sekedar fantasi, Jaya melihat dengan nyata! "Aku cuma butuh satu malam saja. Bisa kan?" kata wanita itu dengan nada manja dibuat-buat. Menggigilkan tulang belakang Jaya. "Aku mau langsung gituan sama pacarku itu."

Jaya menelan jakun.

Di bilik nomor tiga, pintu gorden ditutup olehnya. Si Wanita segera menanggalkan pakaian sampai bulat terpampang telanjang. Jaya berdebar. Badan perempuan itu masih kencang, tapi bukan hasil operasi bila ditelaah. Jaya berkeringat dingin. Ragu-ragu ia menyentuhkan jari ke kening dan ubun-ubun wanita itu yang memejamkan mata dan mengumbar senyum menjinakkan.

Jaya terpaku, kakinya menempel saja di lantai bilik nomor tiga. Mukanya jadi panas. Disaksikannyalah tubuh wanita itu sesekali menggelinjang dan berkeringat. Mulutnya membuka tutup dan digigit. Kagetlah Jaya sewaktu Jumari menyibak gorden. Seringaian lebar Jumari seolah meledek. "Dulu sering banget." Katanya.

Pagi menjelang subuh Jaya menjemput tubuh astral si wanita. Setelah mengenakan kembali pakaiannya ia memberi kecupan manis di pipi Jaya, tangan menyelipkan amplop tebal ke celana Jaya. "Te-terima kasih." Jaya menggeragap. Setelah wanita itu pergi, Jaya menemukan bahwa sofa tidur bilik nomor tiga kebanjiran cairan.

Sehari ia ambil libur dan sehari itu ia menggigil. Dampak dari tubuh aduhai wanita itu berenang-renang di tepian mata. Sulit menyirnakan pemandangan itu, apalagi semalam suntuk Jaya menungguinya.

Kesibukan itu membuat Jaya jadi jarang bertukar kabar dengan pujaan hati, Desi Nanda. Puluhan pesan selama satu hari penuh tak terbaca, pada malam harinya Jaya gelagapan memberikan seribu alasan. Desi sampai curiga kalau-kalau Jaya menikung. Apalagi liburan kuliah menjelang lebaran sudah dimulai. Makin tak ketemu mereka. Gundah Desi dibuatnya.

Satu hari seorang botak datang dan mengacau. Menerobos masuk dan menghentak-hentak naik ke lantai dua. Orang itulah yang dulu memaki-maki Jumari di telepon. "Mana si Jumari bangsat!" sumpahnya.

Jaya tersentak dan buru-buru keluar dari bilik nomor lima, tamu yang bepergian ke Bali. Tarif murah meriah. "Hei, pelan-pelan!" tegur Jaya. Hari itu baik Jumari dan Eyang Wiro sedang tidak ada di tempat.

"Apa kau!" si botak menarik kerah Jaya. "Kau bilang sama si Jumari itu ya, jangan tidak sopan sama saya."

Jaya mencoba menenangkan orang botak itu. "Sabar sabar pak. Ada apa sih?"

"Aku mau wisata! Goblok sekali kau!" bentaknya.

"Lalu?" Jaya masih terangkat oleh si botak yang berotot.

"Aku mau sekarang!"

"Tapi slotnya belum tersedia pak. Sabarlah menunggu antrian."

"Gak sudi aku menunggu. Kau gak tau siapa saya?"

Jaya menggeleng. Dalam hati sudah mendidih kesal.

"Aku ini jagoannya Tangsel. Bisa kubikin mampus kau."

"Terus?" Jaya memancing.

"Aku mau wisata sekarang! Monyet!"

"Ya kalau wisata ya daftar dulu, tunggu slot kosong. Tidak bisa kalau maksa-maksa begini." Si botak membanting Jaya ke lantai. "Ya saya jadi tidak mau mengirim bapak wisata kalau caranya kasar begini."

"Tahi kambing kau! Anjing!"

"Kalau ngatain orang ya yang konsisten dong." Sulut Jaya.

Si botak bergerak ke bilik nomor dua tempat pengusaha plastik berwisata ke Jerusalem. "Aku obrak-abrik!" ancamnya.

"Hei hei!" Jaya bangkit cepat sekali menghadang si botak. "Oke kalau bapak mau wisata. Nih saya kirim bapak!" Jaya mencengkeram kepala si botak. "Kukirim bapak ke hutan liar!" si botak seketika terkulai di lantai.

Ia mengangkat tubuh berat si botak turun dari tangga. "Ada apa mas Jay?" tanya Slamet.

"Biasa, orang rese." Jaya menyeretnya keluar, mendudukannya di parkiran mobil. Tak peduli diliat orang luar. Satpam mendekat. Menanyai Jaya.

"Ada apa ya mas?" tanya satpam yang bernama Camang.

"Ini botak tajir udik bikin kacau kantor kita. Sudah kuberi pelajaran." Jawab Jaya campur kesal.

"Wah, mas Jaya ngehajar ini orang?"

"Tidaklah. Saya setrum tadi." Jaya berbohong. "Tolong amankan si botak ini. Terima kasih." Jaya masuk kembali meninggalkan satpam Camang yang kebingungan.

Jaya sengaja membiarkan si botak tersesat di hutan Amazon tiga jam lamanya. Jaya menengok dari jendela ruangan Eyang Wiro, si botak lagi dikipas-kipasi di pos. Satpam berkerumun, menunjuk-nunjuk tempat Jaya praktik.

Kira-kira sudah puas, Jaya menjemput tubuh astral si botak lalu dikirim pulang. Jaya mengintip, di pos satpam dia terbangun. Gelagapan dan ketakutan. Bajunya robek-robek dan kepala botaknya penuh peluh dan dedaunan. Satpam Camang dan rekan-rekan bingung sekali. Lupa kalau dia bawa mobil, si botak lari ke jalan. Sejam kemudian balik lagi, merogoh-rogoh sakunya mencari kunci, melirik-lirik takut ke arah Astral Travel Agent.

"Kapok kan." Jaya tersenyum puas. Selagi memutar badan ia keserimpet kabel charger, badannya menabrak meja kerja Eyang Wiro. Satu bingkai foto kecil jatuh dari meja. Jaya memungut, benda itu yang dahulu bikin ia penasaran, diangkat dan dibaliklah olehnya. Jaya terjengkang, melihat potret di bingkai kecil itu.

Siapa dia? Siapa dia? Benak Jaya berpacu.

Ada semacam serangan mendadak ke ulu hati. Serta celekit yang mengguncang batok kepala. Jaya sampai meringkuk menahan gejolak sakit yang maya. Bukan sakit fisik, melainkan sakit kalbu. Ada sesuatu yang muncul dari dasar bawah sadar. Mungkin ingatan samar yang jauh jaraknya.

Butuh waktu untuk mencengkeram kembali kontrol diri. Jaya mengamati potret gadis manis di bingkai itu. Mengapa ada dampak sedemikian itu ketika melihatnya?

Siapa gadis manis dengan mata menembus jiwa itu?

Sepanjang malam Jaya terbayang-bayang potret gadis dengan bando merah muda. Bentuk bibirnya yang sempurna, senyum yang memikat, dan mata yang menelanjangi identitas. Tetap terbayang walau Jaya sedang menceritakan insiden siang tadi, yang ditanggapi oleh Eyang Wiro. "Bedebah-bedebah begitu memang harus dikasih pelajaran. Bagus. Habis itu biar aku yang memberesi bedebah itu."

Bahkan Jaya tak memikirkan dampak lakunya kepada si botak terhadap bisnis Wisata Sukma. Bahkan pesan-pesan dari Desi Nanda ia abaikan. Bahkan berhari-hari kemudian, Jaya kurang fokus mengirim tubuh astral para pelancong sukma.

Siapa gerangan gadis dalampotret itu? 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro