Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 18 - Paket Perjalanan


"Jaya, kamu kenapa tidak masuk Sabtu kemarin?" Suara manja merajuk Desi Nanda di ujung sambungan telepon. "Aku kan kangen."

Jaya tak kuasa menahan gemuruh dalam dada. Tembang 'Kangen' langsung memutar di kepala. "Aku tidak enak badan Desi. Percayalah padaku aku pun rindu kamu."

"Ehh, malah nyanyi." Desi langsung tertawa. "Kamu sakit apa? Kamu di rumah? Aku mampir ya?"

Amin yang sedang menyimak sambungan itu menggelengkan kepala kepada Jaya. "Hmm, sebaiknya jangan dulu Des. Nanti kamu repot. Nanti kamu ketularan sakit bagaimana?"

"Ahh, gak apa apa Jaya. Ya aku ke rumah kamu ya." Rajuk Desi.

Amin menggeleng makin kencang. Jaya memutar kepala bagaimana caranya membujuk kekasihnya itu. "Tidak usah Desi sayang. Aku sudah agak mendingan kok." Lalu Jaya memberi janji-janji untuk menyumbat rajukan Desi. Janji berkeliling kota di akhir pekan.

"Bener nih?"

"Iya. Aku mau istirahat dulu ya. Kamu selamat beraktifitas juga ya." Jaya berdusta hendak istirahat.

"Oke oke. Cepat sembuh Jayaku." Desi memberi suara kecup penanda berakhirnya sambungan telepon.

Amin menggeleng-geleng sambil menahan tawa. "Aduh aduh mak. Kawanku lucu sekali jalinan asmaranya. Aku tak tahan mendengarnya mak. Panas telingaku mak. Aku dibuatnya iri mak." Jaya melempar bantal sofa ke muka Amin.

Yang sebenarnya terjadi adalah Jaya kelelahan amat sangat setelah mengirim sukma Jumari ke New York. Perjalanan sukma lintas benua sungguh menguras tenaga. Baik batiniah maupun lahiriah. Empat hari Jaya kolaps.

"Kita baru bisa buka paket perjalanan bila kau sudah mengatasi kelelahan ini." Kata Eyang Wiro. "Ambil waktu untuk memulihkan diri." Beserta itu Eyang membawakan Jaya racikan jamu untuk diminum sebelum tidur.

Jamunya amat tak enak, menggaruk lidah kemudian menohok sukma. Tapi untungnya, Eyang Wiro sudah mengucurkan upah yang lumayan buat perjalanan sukma luar negeri uji coba itu. Jaya memberi segepok buat Amin. Kawannya itu gembira riang bukan main menerima durian runtuh.

"Terus saja begini. Bisa kaya lama-lama aku." Kata Amin.

"Gampanglah itu. Aku akan terus berbagi." Amin mengacungkan jempol untuk itu.

"Jadi bagaimana New York?"

"Ya seperti yang kau lihat di film-film."

"Keren Jay. Aku maulah kau kirim ke sana."

"Hush, jangan Min. Bahaya. Aku tak mau kawanku ikut-ikutan ngastral. Biarlah mereka orang-orang tajir kebanyakan duit yang mencoba." Jaya masih terpikirkan perkataan Jumari waktu itu. Tentang pendahulunya. Siapa yang dimaksud?

Pertanyaan itu mengganggu tidur malamnya seusai percobaan pertama kali itu. Sudah sekian lama, barulah itu Jaya mengalami kesulitan tidur kembali. Mungkin itu pula yang menyebabkan kelelahan ekstra ini. Goncangan segitu sudah membuatnya kacau. Ah tidak, Jaya harus melupakan masalah itu. Biar dipikir belakangan saja.

"Oke oke. Nanti aku diculik dedemit ya."

"Lah, dedemit mana yang mau culik kau Min? mereka takut sama jenggot spiritualmu itu."

Amin seketika mengelus jenggot panjang lebatnya. "Ini kebanggaanku sebagai seorang pria Jay."

"Jenggot kambing yang melegenda."

Amin memesankan tukang pijat melalui aplikasi daring sebagai wujud balas kasihnya kepada Jaya. Yang datang seorang bapak berkumis tebal dan berotot. Pijatannya sungguh mantab dibaluri minyak pijat hangat, merasuk ke lapisan dalam raga, menyegarkan urat-urat yang merengek sakit.

Sebab pijatan yang merelaksasi itu, Jaya dapat tidur tenang dan pikiran kusut mengenai teka-teki Jumari itu untuk sementara terhanyut ke tepian benak. Ia pun bisa tidur pulas kembali.

Segar mata membangunkan jiwa raga segera dibasuh dengan air yang cukup dingin. Berhari-hari akhir ini senantiasa turun hujan. Karena semesta tengah menyambut datangnya bulan suci. Hari-hari besar seperti itu memang biasanya didahului dengan hujan, sebagai bentuk pengesahan keberkahan.

Jaya memikirkan untuk berbuka bersama di hari pertama dengan Desi Nanda. Di tempat yang bagus. Bagus baik tempat dan hidangannya. Kini ia telah berdompet tebal, jadi bukan lagi masalah bila sesekali mengunjungi tempat makan yang elit. Ia akan menjemput Desi Senin sore. Mungkin setelah itu ia akan membelanjakan barang-barang bagus pula buat kekasihnya itu. Pemikiran itu membuatnya optimis melalui hari. Tadi malam Desi menelepon untuk membangunkan sahur Jaya.

Menjejaki kaki masuk ke pintu kantor Astral Travel Agent, senyum merekah di muka Jaya. Segala beban rasanya meluruh ke sudut ingatan. "Pagi mas Slamet." Ia sapa kawan sekerjanya. "Kok tampak ngantuk begitu?"

"Iya, semalam begadang, anak lagi rewel." Jawab mas Slamet.

Tetiba Jaya terpikirkan sesuatu. "Oh ya mas Slamet. Sebelum saya memangnya ada yang pernah bekerja di sini ya?"

"Iya mas. Ada dulu. Cewek. Tapi sudah berhenti."

"Oh. Berhentinya kenapa ya mas?"

"Wah, kurang tau saya mas Jay."

"Oh oke." Jaya mengangguk, lalu menaiki undakan tangga ke lantai dua.

"Bagaimana kondisimu Jaya?" tanya Eyang Wiro di ujung tangga.

"Pulih seratus persen Eyang."

"Bagus. Kau sudah siap untuk percobaan ulang?"

"Siap seratus persen." Jawabnya semangat.

Menjelang tengah hari, Jumari tiba. "Ke mana kita kali ini?" ia sudah melepaskan jas dan mengikat rambutnya yang ikal panjang. Sudah pula merebahkan badan di sofa praktik.

"Tokyo." Eyang menyerahkan foto kota Tokyo, Jepang kepada Jaya. "Jaya, kali ini kau tidak perlu menunggui Jumari. Tinggalkan saja dia di sana."

"Loh, kenapa Eyang?"

"Masa orang mau jalan-jalan kau kuntiti terus. Lagipula juga untuk menghemat energimu."

"Iya nak Jaya. Tinggalkan saja saya di sana. Ada beberapa hal yang mau diurus juga perihal Paket Perjalanan yang mau kita luncurkan. Tiga hari cukuplah. Nanti kau datang kembali menjemput saya."

"Baiklah. Ayo mulai." Jaya melemaskan jari lalu merebahkan diri. Sesudah Jumari mengonsumsi zat penenang dan tubuh astral Jaya telah keluar, perjalanan dimulai. Mengulur tali jiwa supaya menjadi jalur kembali pulang. Jalur keperakan yang panjang menembus dimensi.

"Bagus nak Jaya. Perjalanan sukmamu mulai mantap. Tiga hari ke depan temui saya lagi di sini, bawa saya pulang." Jumari menjabat tangan astral Jaya.

"Sampai ketemu pak." Jaya meluncuri tali jiwa kembali ke alam sadar.

Sewaktu membuka mata, Eyang Wiro tengah duduk dekat sekali di sampingnya. "Jaya, kau mau tahu satu rahasia?"

"Apa itu Eyang?"

"Sesungguhnya bila kau mampu, kupercaya kau mampu, kau bisa mengirim sukma orang lain tanpa harus memisah raga."

Jaya membelalak. Mulut menganga. "Serius Eyang?"

"Serius. Kau bisa melakukan itu nanti bila semakin mahir mengirim sukma-sukma orang ke tempat jauh. Kini, coba kau bayangkan sendiri kemungkinan-kemungkinan yang bisa kau lakukan dari bakatmu ini."

Jaya mengangguk-angguk. "Semakin keren."

"Tapi, tetaplah waspada. Karena semakin mahir kau semakin pihak jahat menginginkanmu."

Deg. Itu lagi. Membuat Jaya ngeri lagi. "Cincin dan kalung ini bisa melindungiku kan Eyang?"

Eyang Wiro mengangguk tanpa menjawab lebih lanjut.

Sore menjelang dan dipenuhi gairah menyenangkan Jaya bersiap-siap, mandi segar, memakai wangi-wangian, pakaian yang necis dan mahal, motor gagah, siap menjemput Desi Nanda.

Desi mengenakan gaun merah yang semakin menerangkan kulit cerah dan rambut bersemir merah jingga. Desi seperti matahari terbenam yang membakar langit. Membara dalam asmara. Jaya sampai terperangah tersihir kejelitaan gadis itu. "Hei, kayak lagi lihat apa saja." Tegur Desi. "Ayo berangkat." Desi memanjat naik.

"Kamu cantik sekali Desi. Sungguh. Ini lebih dari pertama kali aku melihatmu. Aku sungguh-sungguh terpesona."

Desi tersipu mendengar itu. Sebelum mengenakan helmet ia mengecupkan bibir merahnya ke bahu Jaya. Membikin merinding Jaya!

Meluncurlah mereka menuju Alam Sutera. Di pinggir jalan depan kantor Astral Travel Agent Jaya berhenti sebentar. "Itu tempat kerjaku Desi."

"Oh..i.ini." Suara Desi tertahan batuk. "Ayo lanjut saja Jaya."

Tiba mereka di salah satu restauran bergengsi di wilayah Alam Sutera. Jaya menarikkan bangku untuk Desi tempati. "Silakan tuan puteri." Kata Jaya.

"Ah kamu bisa aja."

Sembari memesan dan menunggu adzan berkumandang, Jaya menggenggam tangan Desi. Mengusapnya lembut dan penuh kasih. "Aku cinta kamu, Desi."

Desi tersenyum lebar seperti kuntum mawar merekah di pagi hari berembun. "Ah, Jaya, kamu manis sekali. Aku cinta kamu juga."

"Ada yang mau aku beri buat kamu." Jaya merogoh saku jasnya. Sebuah kotak mungil.

Desi menganga. "Apa ini Jaya?"

Jaya membukakan kotak merah mungil itu. Sebuah kalung emas berbandul liontin hati. Jaya bangkit berdiri dan berjalan agak kikuk mendekati Desi. "Bi..biar aku pakaikan."

"Ya ampun Jaya... aku berasa seperti di film." Desi menyibak rambutnya biar Jaya lebih mudah memasangnya. "Ini romantis sekali."

Jaya kikuk dan gugup. Leher belakang Desi tampak menyilaukan. Membuatnya kesulitan mengaitkan kalung itu.

"Jaya, bisa gak?" Desi akhirnya berkata karena Jaya sudah lebih dari dua menit belum kelar-kelar juga.

"Sebentar. Tanganku besar sekali ya ternyata." Tawanya gugup. Desi langsung menyentuh tangan Jaya dan mengambil alih pemasangan kait. Walau tanpa melihat pun, Desi dengan mudah memasangnya. "Yah, jadi berkurang romantisnya. Duh aku gugup sekali Desi."

"Justru itu yang bikin kamu makin manis Jaya. Terima kasih ya. Aku makin sayang kamu."

Hidangan tiba tepat saat adzan berkumandang.

******

"Bagaimana putriku?"

"Dugaan kita semakin kuat, ayah. Bukti-buktinya mendukung. Tempat kerjanya itu terlingkupi tabir penghalang terawangan. Aku bisa merasakannya. Kuat sekali sampai-sampai aku hampir lemah dibuatnya."

"Sudah kuduga dari awal-awal memang. Benar dia orangnya. Jangan paksakan terawanganmu putriku, nanti kau celaka."

"Baik ayah."

******

Tiga hari sudah lewat. Jaya pun menjemput Jumari.

"Semua sudah beres." Kata Jumari kepada Eyang Wiro, sembari menjabat tangan dan mengangsurkan segulung kertas. Yang Jaya lihat ia bawa dari Tokyo. Jaya menduga yang diurusnya di sana adalah mengenai Jaringan Rahasia Perjalanan Sukma.

"Bagus. Dua minggu menjelang lebaran kita baru bisa rilis secara terbuka. Terima kasih Jumari. Kau yang terbaik memang."

"Sama-sama, saya selalu senang membantu. Kau, nak Jaya, yang bagus ya kerjanya. Kau hebat." Jumari meremas pundak Jaya, pamit pergi.

Eyang Jaya memberikan amplop coklat gemuk kepada Jaya. "Kerja bagus Jaya. Siapkan untuk minggu depan. Daftar negara dan lokasi wisata sukma, serta rincian harga. Jangan pasang harga rendah untuk perjalanan sukma, ingat itu Jaya. Bakatmu itu tidak boleh dihargai murah. Mereka itu tak peduli berapa pun akan dibayar."

"Baik Eyang." Jaya semangat. Pundi-pundi uangnya makin tebal. Eyang Wiro memberi masukan daftar negara yang akan menjadi tujuan wisata sukma seperti: Mesir, New York, Roma, New Zealand, Antartika, Kamboja, Tibet, Tokyo, Bangkok.

"Kau boleh menentukan harga sendiri. Tentunya setiap negara dan jangka waktu berwisata berbeda ongkosnya. Ingat Jaya, jangan bolehkan mereka menentukan hari terlalu panjang. Karena sukma yang pergi terlalu lama dari raga bisa-bisa lupa dan tergoda untuk memotong tali jiwa mereka."

"Siap Eyang."

Maka Jaya memasang tarif termurah 75 juta.

Eyang menyetujui.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro