Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10 - Cermin Diri

Satu yang bisa benar-benar diingatnya. Tadi itu merupakan tidur paling lelap yang telah lama ia dambakan. Ia merasakan sungguh nyata, benteng batu megah yang mengepung jiwa, hancur lebur sudah. Ia merasa ringan. Namun, satu pula yang membuatnya bingung.

Jaya bangun dan menangis. Tangis deras seperti seorang anak kecil ditinggal meninggal orangtuanya. Tepat di depan matanya. Jaya tersedu-sedu. Ia bahkan lupa harus bersikap malu. Di dekatnya, Eyang Wiro menyilangkan tangan di dada dan mengangguk pelan dan berulang.

Bantal telah rembes oleh air mata Jaya.

"Biarkan berlalu. Jangan kau tampung lama-lama." Ucap Eyang Wiro lembut.

Matanya sampai panas dan hidungnya memerah serta basah oleh ingus yang ikut luruh bersama air mata. "Eyang, mengapa aku menangis? Ku tak tahu apa yang membuatku sesedih ini." Susah payah Jaya melontarkan tanya itu.

"Aku pun sama tak tahunya dengan kau, Jaya. Aku hanya membantumu mengingat. Mungkin kenangan yang samar-samar itu tak bisa segera menyata, tapi dampak perasaannya saja yang sampai duluan. Kau harus biarkan segalanya masuk. Terima semua."

Jaya meringkuk. Matanya belum berhenti menderaskan kesedihan dan duka mendalam. Entah tentang apa entah tentang siapa. Mungkin, menangis tentang dirinya sendiri. Tak tahulah. Yang pasti, derai tangis ini enggan usai segera.

"Eyang, apakah tadi saya memisah raga?" Jaya bertanya sekuat tenaga agar tidak bergetar.

"Yang tahu kau sendiri, Jaya. Aku hanya manusia biasa. Hal-hal tak kasat mata tentu tak bisa ditangkap dengan mata biasa."

Jaya berusaha mengingat namun gagal. Tidak ada secuilpun petunjuk yang mampu memberinya keterangan. Itu membuatnya makin sedih.

"Berapa lama saya tertidur Eyang?" Jaya mengecek pergelangan tangan kirinya, dikiranya ada jam tangan di sana namun tiada.

Eyang mengambil jam weker kecil yang berletak di meja. Mengerucutkan bibir menghitung. "Selamat Jaya. Inilah tidur terlamamu. Masa koma jangan ikut dihitung. Koma beda dengan tidur. Kau telah tidur selama lima jam."

Jaya mengusap air mata. Panas deras air mata duka mulai mereda. Ia usap dengan kaus bola. Duduk dan mengatur napas. Nyeri-nyeri masih menusuk kalbu. Rasa itu menjadi pertanyaan yang harus dijawabnya kelak. Di masa lampau, dosa apa yang pernah ia lakukan sampai harus menanggung sakit seperti ini.

"Kau tenangkan dirimu, Jaya. Aku buatkan kau teh pait." Eyang Wiro bangkit perlahan dan tampak susah payah. Jaya sampai takut lengan kursi yang didudukinya bisa patah.

Sembab mata membuatnya jadi bengkak. Terpantul bayangan dirinya di lemari buku kaca di belakang meja Eyang Wiro. Di meja itu, yang menarik perhatiannya, ada bingkai foto tengah diletakkan terbalik.

Seperti kata orang bilang. Kadang setelah menangis, hati jadi terasa ringan. Yah, itu cukup benar. Ada suntikan kelegaan yang memenuhi dada Jaya saat ini. Padahal baru didera luka hati. Sampai Jaya berpikir, kenangan pahit memang sakit, air mata adalah penawarnya. "Tapi kenangan pahit apa yang kualami dulu?" ia bergumam.

"Seperti yang kubilang Jaya. Pelan-pelan. Nanti semua itu akan terkuak dengan sendirinya. Kenangan-kenangan itu tak serta merta hilang. Ada residu yang bersembunyi di relung jiwa. Hanya butuh waktu dan pemicu. Ini minum, akan jauh lebih menenangkan dirimu."

"Terima kasih, Eyang." Jaya menerima secangkir teh pait yang mengepul itu. Ia sesap sedikit.

"Jalan kita masih panjang. Tujuan tidak bisa diraih secepat kita mengedipkan mata. Yang penting jangan terburu-buru. Yang perlu kau lakukan adalah bersantai. Kau perlu itu. Kau sudah lama terbebani."

"Saat ini rasanya sudah enteng, Eyang."

"Ini baru langkah pertama. Kau perlu relaks yang lebih lanjut. Kau telah relaksasikan matamu. Selanjutnya kau harus berdamai."

Jaya mengernyit. "Berdamai dengan apa Eyang?"

"Dirimu dan orang sekitarmu."

Jaya tertohok sedikit. Ia menyembunyikan seringaiannya di balik sesapan teh panas pait.

"Sumber dari segala masalah adalah salah satunya, ketidakdamaian hati."

"Tapi saya merasa damai-damai saja Eyang."

"Jika kau damai-damai saja, tak mungkin kau memutus hubungan dengan temanmu satu-satunya di sini."

"Eh, kok Eyang tahu tentang itu?" Jaya teringat kembali kali terakhir di rumah sakit itu.

"Tidak penting. Katakan padaku bahwa itu benar."

Jaya menunduk angguk. "Teman saya itu telah berbuat lancang. Saya tidak terima."

"Aku tahu betul masalahnya. Kini aku ingin kau berdamai. Pertama, berdamailah dengan diri sendiri. Memaafkan orang lain itu sebetulnya mudah. Yang susah itu memaafkan diri sendiri."

Jaya merenungi perkataan Eyang Wiro. "Betul Eyang."

"Nah, bisakah kau melakukannya? Tentu bukan demiku, tapi demi kau sendiri. Langkah pertama ini telah kau jalani, aku jamin nanti kau bisa tidur dengan tenang seperti tadi. Biarlah masalah kenangan lalu muncul perlahan satu demi satu, bahkan setitik demi setitik, tidak mengapa. Kini yang perlu kau lakukan adalah menerima segalanya apa adanya. Tanpa tendensi apa-apa. Bisakah?"

Jaya kian menunduk. Pipinya terasa panas kembali.

"Masalahmu sebelum ini adalah kau terlampau lama hidup sendiri. Kau seperti terasing di dunia. Jauh dari sanak keluarga, jauh dari masyarakat, jauh dari kawan, jauh dari dirimu sejati. Itu akibat ada tembok pengasingan di dalam dirimu. Hancurkan. Maka damai akan menyertaimu."

"Saya merasa nyaman sendiri, Eyang."

"Bohong itu. Aku tak pernah percaya orang yang berkata demikian betul-betul meyakini dirinya nyaman sendirian. Manusia hidup tidak sendiri, Jaya, benar?"

"Betul Eyang."

"Ya, ada memang karakteristik manusia yang mendapat energi bila sedang menyendiri. Namun itu tidak lantas ia harus selamanya sendiri, benar? Ada waktu ia harus berbaur dengan manusia lain. Terlalu lama sendiri akan membuatmu gila, Jaya. Akan membuatmu tertekan dengan sendirinya. Itulah yang lalu sedang kau alami."

Wejangan Eyang Wiro ini meresap dalam ke benak Jaya. Ia menimbang dan menyadari bahwa yang dibilang Eyang itu ada benarnya. Bahkan memang benar. Sudah jauh ia menyudutkan diri di pojok kesendirian.

"Manusia butuh manusia lain, Jaya. Setiap kita bisa menjadi cerminan atas yang lain. Setiap kita bisa mengambil pelajaran atas hidup orang lain. Bila kau hendak mengenali dirimu kembali, menemukan kesejatianmu, kembalilah kepada orang-orang yang pernah dekat denganmu. Sapa mereka dan berdamailah."

Jaya mengangguk pelan sembari menyesap habis teh pait. Dengan harapan setiap larut yang mengaliri kerongkongannya mampu membuatnya berdamai dengan diri sendiri.

Seusai kumandang adzan Subuh dan keheningan ganjil yang begitu lama setelah Eyang Wiro memberi wejangan panjang lebar, Jaya undur diri.

"Ingat kataku, Jaya." Kata Eyang Wiro ketika Jaya telah menjejakkan kaki menuruni tangga.

"Berdamai dengan diri sendiri." Ucap Jaya lebih kepada diri sendiri saat mencapai pintu keluar ruko Astral Travel Agent.

Sampai di kontrakan ia mencuci muka dan merebah. Membiarkan kalimat-kalimat bijak Eyang Wiro menggenangi benak. Benar, telah berminggu-minggu ia tak menjawab pesan dan panggilan Amin. Satu-satunya teman yang dekat betul-betul dengan dirinya.

Semakin ia memikirkan perkataan Eyang semakin ia merasa bersalah kepada Amin. Maka ucapan minta maaf itu harus segera diutarakan. Karena apabila tidak segera ditunaikan, seperti bisul membandel yang bikin sakit.

Tapi jemarinya seketika ragu hendak membalas pesan dari Amin itu. Jaya menghela napas dan menaruh kembali ponselnya.

Ia menutup muka dengan bantal dan tanpa sadar mata berkantungnya menjadi berat. Terlelaplah ia bersama mimpi terbang yang membebaskan serta membelenggu.

Di mimpi itu ia menjelma manusia bersayap yang sedang cedera sayapnya. Sehingga tak mampu membuatnya setara dengan awan kahyangan. Ia mencoba terbang namun segera dihisap gravitasi. Sampai ia putus asa dan memutuskan untuk tetap di tanah.

Tidak. Kau harus terbang. Tempatmu di atas sana. Kata sesosok yang muncul tiba-tiba dari tanah.

Sayapku patah. Balas Jaya.

Sayapmu patah karena hatimu terluka. Jawabnya.

Lalu bagaimana aku bisa menyembuhkan luka hati ini? Kau tahu hati letaknya di dalam.

Caranya adalah dengan memaafkan.

Sosok itu menjelma jelas. Wajah Amin tersenyum berbinar-binar, mengulurkan tangan. Jaya menyambut uluran tangan itu. Seketika itu juga sayapnya mengembang. Ia ajak Amin terbang serta. Saat wajahnya menyentuh awan, Jaya terbangun dengan perasaan lega yang ganjil. Ganjil itu kemudian tersingkirkan ketika ia cepat mengetik di layar ponsel. Amin, datang ke kontrakan nanti siang, atau sore, bebas. Bisa?

Cepat sekali pesan itu berbalas. Pasti bisa. Dan tanda senyum.

Jaya pun ikut tersenyum.

"Aku butuh cermin untuk melihat diriku. Amin adalah cerminku."

Waktu berlalu lama apabila dinanti. Namun waktu selalu menepati janji. Ia pasti tiba. Suara ketukan di pintu membangkitkan Jaya. Berdirilah Amin dengan kacamata bingkai tebalnya. Janggut yang semakin lebat dan kiranya bisa dikuncir. Ada kecanggungan di sana. Dan segera Jaya menghancurkannya. "Amin. Lama tak bertemu."

Amin menjulurkan tangan meminta salam. Jaya menyambut salam itu. Ada perasaan nyaman saat jabatan tangan kita disambut. Sering terpikir oleh Jaya tentang jabatan tangan. Jabatan tangan membuat kita terhubung dengan orang lain. Sebuah kunci untuk hubungan lebih baik selanjutnya.

"Iya, lama kita tak berjumpa kawan. Apa kabar?"

"Baik. Eh.. tidak juga. Eh." Jaya kembali kikuk.

"Ah kau ini seperti mau nembak gebetan saja. Ayo ceritakan kabarmu."

"Ah sialan kau Min. Memangnya aku ini homo?" Jaya meninju bahu Amin.

Amin tertawa terbahak-bahak. "Ayo, sambutlah kawan yang lama kau abaikan ini. Sebuah pelukan bisa jadi penawar rasa bersalah yang bertumpuk bagai gunung."

Jaya merasa kikuk. "Maafkan aku. Aku dulu berlebihan."

"Kau memang suka berlebihan."

Keduanya menyerbu, saling merangkul erat.

Betul kata orang. Pelukan itumemberikan energi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro