Kami Astacakra
Realita sudah dikembalikan. Ada sebagian yang rusak dan ditambal oleh Moses dan Noah. Sebagian menyesuaikan agar keretakan yang kadung terjadi tidak bakal meretak lagi. Dua realita yang dulu berdiri sendiri-sendiri, kini telah manunggaling. Menjadi satu. Tak ada bumi versi Moses, tak ada bumi versi Noah. Yang ada, bumi versi mereka.
Hanya mereka berdua yang masih memiliki ingatan terhadap realita-realita sebelumnya. Namun, mereka tahu itu hanya sementara. Realita mereka akan semakin solid dan realita-realita sebelumnya akan perlahan sirna. Semua yang Santani lakukan, akan terlupakan. Duruwiksa, tak jadi turun ke dunia mereka. Sayangnya, dalam pembalikan revisi realita, eksistensi Duruwiksa tidak bisa dihapus dari sejarah. Dia mesti tetap ada.
Santani kembali menjadi energi tak bertuan yang terombang-ambing di ambang batas. Tak berdaya. Diawasi penuh oleh Wijasena. Sebelum menjejak ke realita baru yang telah mereka balik dan tambal, Moses dan Noah mampir ke markas Wijasena. Sebuah ruang berbentuk kubah di dalam ambang batas. Mereka menyerahkan mustika realita dan dua yang lain.
"Mustika ini telah menjalankan perannya." Kata Wijasena. "Sementara yang dua ini belum. Sebaiknya kubiarkan dulu mereka terpencar. Mustika-mustika ini perlu tertanam dulu ke orang-orang terpilih. Kekuatannya harus maksimal terolah. Ada waktu di mana mereka bakal berkumpul lagi menjadi kesatuan utuh Mustika Dimensi."
"Jadi.. Santani si energi tak bertuan itu salah satu yang terpilih?" tanya Noah.
"Terpilih tapi tak diinginkan. Jika kalian bisa menarik garis, eksistensinya diperlukan. Aku sudah tahu bahwasanya kalian menambal realita yang rusak dengan menjadikan Astacakra bukan lagi suatu kekuatan yang perlu siklus tertentu. Kini adalah Era Cakra Satria yang baru. Delapan kekuatan yang dapat berdiri sendiri dan eksis dalam waktu bersamaan. Kekuatan masing-masing Cakra Satria akan setara dengan Astacakra. Bisa dibilang, Astacakra membelah delapan sama rata.
"Namun kekuatan-kekuatan itu menanti wujud manusianya masing-masing. Sama seperti mustika-mustika pecahan mustika dimensi. Menanti perannya masing-masing. Astacakra, terima kasih telah mengembalikan realita serta memodifikasinya jadi lebih baik. Pada suatu saat nanti, kita memerlukan semua kekuatan berkumpul. Tugas kalian kini adalah untuk memastikan kekuatan-kekuatan Cakra Satria jatuh ke enam orang yang tepat."
"Jadi kita bakalan berperan sebagai pencari bakat. Hmm, menarik." Kata Moses. Noah tertawa.
"Dan mentor." Tambah Noah.
"Kira-kira seperti itu." jawab Wijasena.
"Tapi sepertinya tidak masalah dan tidak akan begitu sulit karena kita memegang pengetahuan jutaan tahun kehidupan." Seloroh Moses.
"Oh, tidak begitu. Mungkin pengetahuan itu masih segar di benakmu sekarang ini. Tapi itu hanya sementara. Pengetahuan itu masih hadir karena kalian masih di ambang batas. Nanti setelah kalian memijakkan kaki ke bumi di realita yang baru, pengetahuan itu akan hilang."
"Yah sayang sekali." Keluh Noah. "Coba kita bawa flashdisk."
Wijasena mengernyit. "Teknologi kalian tidak bisa menyamai teknologi di sini."
"Di sini itu magis. Bukan teknologi." Timpal Moses.
"Ya, magis sepertinya lebih tepat."
"Magis dan dahsyat." Tambah Noah.
"Baik kalau begitu. Mustika Waktu dan Mimpi aku buang dulu." Wijasena melempar dua mustika itu ke sebuah cawan melayang. Di lapisan kubah, Noah melihat mustika waktu kembali ke Tong Edan yang terjebak di masa depan yang tak pasti, yang dengan realita baru ini, kemungkinan masa depan itu tidak akan terjadi. Tong Edan segera kembali pulang ke masa asalnya. Sementara itu mustika waktu masih mencari orang terpilihnya.
"Lalu bagaimana dengan mustika-mustika itu? siapa yang berperan untuk mengawasi mereka?" tanya Noah.
"Mereka akan punya caranya sendiri. Kalian tak perlu khawatir. Pertarungan mereka bukanlah pertarungan kalian."
"Jadi, bakalan ada musuh lagi?"
"Selalu ada musuh, dan musuh terberat adalah..." Wijasena sengaja menghentikan kata di udara.
"Diri sendiri." Lanjut Moses dan Noah serempak.
"Paham paham." Tambah Noah.
"Nah, sekarang pergilah kalian untuk mensolidkan realita baru yang telah kalian buat."
"Terima kasih Wijasena." Moses dan Noah berkata serempak, seperti anak kembar.
Keduanya kemudian berseluncur melewati lorong waktu. Menuju ke realita yang telah mereka bentuk. Pertama mereka memastikan dahulu Prewangan Cakra Satria masih ada atau tergantikan. Keduanya melakukan gerakan Asta Pancar dan membuka Lawang Ombo. Bertemu dengan Prewangan Cakra Satria.
"Kalian Astacakra terbaik. Kami yakin, keputusan kalian sudah tepat. Baureksa Luhur merestui Era Baru Cakra Satria. Cari enam yang lain. Jangan sampai jatuh ke orang yang salah."
Moses dan Noah mematuhi.
Mereka kemudian pergi ke dunia cakram. Langit masih terang biru. Perubahan itu menyeruak dan menyatu ke kesadaran masing-masing. Dunia cakram berbeda dengan yang realita dahulu. Sebab Astacakra jadi dua. Asta Lawang dan Ganda Cakra tak lagi dunia cakram yang terpisah. Mereka menyatu.
"Astakona, rumah kita." Kata Moses.
Mereka mendarat di titik tengah dunia cakram. Delapan pintu berbentuk cakram mengeliling mereka. Tiap pintu mengantar ke wilayah tempat mereka mengabdi. Moses ke Randucakra yang digawangi juga oleh para Warok. Noah ke Gandapura, tempat para Wira berada. Kini ia menjadi Astacakra yang dibutuhkan dan diinginkan. Bukan lagi retakan realita yang membuat gonjang-ganjing tatanan dunia. Enam wilayah lain, masih menanti Cakra Satria masing-masing. Moses dan Noah akan menemukan mereka.
Realita baru di dunia cakram ini telah meresap ke kesadaran diri. Mereka lalu membuat lawang ombo dan kembali ke dunia manusia.
Ada semacam renggangan waktu ketika mereka menjejakkan kaki di depan rumah. Itu terjadi di dalam benak mereka. Mereka seperti terlempar ke masa empat belas tahun lalu. Mereka masih berupa janin, saling memeluk di dalam ruang hangat nan nyaman. Di realita baru ini, mereka terlahir kembar. Di realita baru ini, proses menjadi Astacakra, dialami oleh Moses terlebih dahulu baru beberapa bulan kemudian oleh Noah. Totem yang menjadikan mereka Astacakra bukan hadiah dari orangtua, melainkan beli sendiri ketika mereka melihat benda menarik di suatu pasar loak.
Realita baru ini langsung menjadi solid, dan jutaan tahun kehidupan yang telah mereka saksikan sirna ketika mereka masuk ke pintu rumah. Mereka masuk sambil rangkulan. Pas di jam makan siang di hari Minggu. Ibu memasak makanan kesukaan mereka berdua. Ayah bergabung setelah menyelesaikan satu bab baru. Di realita baru ini, ayah mereka tetap penyuka fiksi imajinatif dan sangat tertarik dengan petualangan anak kembarnya. Kadang dia tidak percaya, fiksi fantasi yang ada di kepalanya, ternyata nyata. Bersama ayahnya dan seorang kakek bernama Ki Warugan, mereka mencari petunjuk kemunculan Cakra Satria yang lain.
"Mungkin tidak kalau mereka juga seperti kalian, Cakra Satria yang lain, adalah anak-anak kembar?" ungkap ayahnya setelah makan siang dan berkumpul di ruang pustaka.
Moses dan Noah ambil pose berpikir. "Itu bisa mempersempit filter pencarian kita. Tapi tetap saja, masih terlalu banyak." Kata Noah. "Kita mesti kembali ke pasar loak itu."
"Kita sudah ke sana kemarin, dan lapak tempat kita beli sudah hilang." Kata Moses.
"Jadi, yang dicari mesti baranganya dulu ya?" tanya ayahnya.
"Kalau di kasus kita, begitu, Yah. Barang antik dulu. Lalu aktif di waktu yang tak terduga. Entah itu kepepet atau di saat yang kebetulan saja. Kami pun masih belum begitu paham." Jelas Noah.
"Yawis, nanti siang kita ke Ki Warugan lagi. Siapa tahu beliau sudah mendapat petunjuk lapak di pasar loak itu." usul ayahnya.
"Oke."
Menemukan enam Cakra Satria yang lain menjadi misi baru mereka berdua yang datangnya langsung dari Baureksa Luhur. Kabarnya akan datang suatu kekuatan gelap, dan lebih baik para Cakra Satria sudah terbangunkan. Suatu saat itu entah kapan, tapi rasanya masih begitu lama juga begitu dekat. Seperti kematian. Tak tahu kapan, tapi pasti.
"Aku pernah bermimpi, enam yang lain memiliki bintang yang sama dengan kita. Bintang berujung delapan." Kata Moses di lantai atas tempat jemuran.
"Kita berdelapan. Delapan Astacakra." Tanggap Noah.
"Kami Astacakra, maka kami ada."
~tamat~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro