
2 - Unidentified Flying Object
Zrrttt... zrttt....
Nuansa dan Manda berada di dalam ruang berkubah yang cukup besar. Ini adalah Mandaworld. Garis-garis biru elektrik membentuk grid yang melingkupi ruang itu. Selagi Manda mengibaskan tangan, seperti berinteraksi dengan layar hologram, beberapa benda timbul dari lantai, membentuk meja-meja, layar monitor, membentuk sebuah ruang kontrol seperti yang ada di film-film agen rahasia beramunisi alat-alat canggih.
"Hanya imajinasi yang menjadi batas," kata Nuansa. Dia mencoba berinteraksi dengan layar hologram yang dibuat Manda di tengah udara.
"Maaf kalau nggak persis seperti punya Noah," ucap Manda.
"Santai," Nuansa balas senyum. "Setiap Astacakra punya khasnya masing-masing. Kamu anak gamer ya?"
"Ya gitu deh."
"Ini udah lumayan mirip sama Batcave-nya Noah, kok. Cuma memang Noah kan anaknya mekanik banget, sementara kamu..." Nuansa mencari kata yang tepat.
Manda melihat sekeliling Mandaworld, yang seperti dunia dalam film Tron. "Elektrik?"
Nuansa terbahak, Manda ikut juga.
Manda memperhatikan yang Nuansa buat di layar hologram terbesar di ruang itu. Bola-bola yang mewakili keberadaan ruang serbaguna tiap Astacakra tersaji di layar itu. Seperti melihat peta tata surya. Tiap bola seperti menjadi bintang bagi galaksinya. Manda melihat tangan Nuansa yang bercahaya.
"Aku penasaran apakah ruang... sebut apa ya enaknya..." Nuansa bergumam.
"Ruang Gaib Serbaguna?" usul Manda.
"Ya itu boleh, deh. Aku penasaran, ruang gaib serbaguna punya Moses sama Noah yang kemarin sempat kesambung sama yang lain, apakah masih bisa diaktifkan."
Manda mengikuti gerak Nuansa. Dia menyalakan tangannya dengan cahaya energi Astacakranya, lalu memindai layar hologram itu. Serpihan-serpihan digital mulai terkumpul dari tangan Manda dan Nuansa, mewakili bola dunia 1 dan 2, punya Moses dan Noah.
"Jadi yang baru benar-benar paham menggunakan ruang gaib serbaguna ini cuma Moses dan Noah?" Manda mengamati bola nomor tiga dan empat yang menyala redup, dan bola nomor lima yang nyalanya berdenyut-denyut, sementara bola nomor enam, miliknya sendiri, menyala terang seperti matahari.
"Kayaknya gitu. Mail sama Wawan belum secanggih Moses sama Noah."
"Mereka Astacakra ketiga sama empat?" tanya Manda. Nuansa mengangguk.
Manda menunjuk bola nomor tujuh dan delapan yang masih seperti bintang mati. Hitam.
"Kita butuh astacakra yang lain buat menemukan empat Astacakra cowok," cetus Nuansa.
"Para Astacakra cewek," kata Manda.
"Iya, kalau nggak salah Noah yang bilang. Delapan Astacakra terdiri dari Empat cowok dan Empat cewek. Lima dari kalangan manusia, dan tiga dari ras gaib dunia Watukayu yang lain."
"Ras gaib?"
"Yang kutahu dari utak-atik arsip di ruang gaib serbagunanya Noah sih, ada yang namanya Gandarupa, itu si Wawan. Lalu Siluman, aku nggak tahu yang mana, kayaknya si nomor lima ini," Nuansa menunjuk ke bola nomor lima. "Terus ada Wayah Kelana... pelintas waktu, antara tujuh atau delapan ini."
"Kalau kita nggak cepet-cepet ketemu sama mereka semua, apa yang Wong Heksa bilang bakal kejadian," kata Manda.
Nuansa mengangguk. "Kita nggak bisa sendiri-sendiri."
ZRRRTTTT! ZRRRTTT!
Nuansa dan Manda melonjak kaget. Ada lonjakan energi yang membuat layar terbesar hologramnya menyala begitu terang dalam sekejap. Nuansa dan Manda sampai jatuh ke belakang.
Bola nomor tujuh di layar kini menyala terang. Manda melempar pandang dengan Nuansa.
Nuansa buru-buru berdiri, menyodorkan bantuan agar Manda menyusul berdiri. "Kita lacak dari mana asalnya energi itu!" seru Nuansa.
Manda mengusap layar, mengubahnya jadi semacam peta. Energi menyala pada bola kini membentuk pola heksagonal yang memuat unsur rangkaian huruf ASTCKR. Kedip-kedipannya berubah jadi titik koordinat. Manda membacanya. "Di Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur?"
"Akhirnya. Kita harus ke sana segera!"
"Aduh, tapi aku nggak punya ongkos," Manda garuk-garuk kepala.
Nuansa mendaratkan dua tangannya ke pundak Manda. Tatapannya meyakinkan. "Kamu Astacakra, hanya imajinasi yang jadi batasnya." Nuansa melirik ke layar hologram yang kini menampilkan sebuah foto rumah berbentuk joglo dan di belakangnya terdapat halaman luas. "Enaknya, ke sana naik apa?"
Manda tersenyum, dapat ide. Dia bergerak ke salah satu meja biru grid elektrik. Dia menarik kumpulan item bersimbolkan kendaraan. WaveRider muncul. Manda menggesernya, menggantinya jadi sepeda motor torpedo tanpa roda. Manda geser lagi. Sebuah kereta cepat.
Manda menoleh ke Nuansa. "Memangnya, cara kerja ruang gaib serbaguna ini kayak gimana? Kita bisa ke tempat-tempat lain dengan bepergian di ruang ini?"
"Inget kata Wong Heksa. Tempat ini bisa diakses dari mana saja di muka bumi. Itu artinya, tempat ini seluas muka bumi juga. Ayo, berangkat!"
Manda memilih kereta cepat itu, yang kini berubah berkalilipat besarnya dari seukuran diecast segenggam tangan menjadi seukuran asli sebuah kereta cepat semestinya.
Rel digital berwarna biru elektrik pun muncul dan membentang menembus dinding kubah ruang monitor itu yang kini menjelma lorong panjang serupa dalam serial lorong waktu jaman dulu.
******
Langit di atas Mini Berric berangsur-angsur kembali terang. Warna langitnya menyerasikan diri dengan warna langit sekitar. Di bawah sana, Kalis masih bersimpuh putus asa sekaligus terheran terhadap apa yang terjadi.
Kalis mendongak ke langit, mencari-cari pertanda keberadaan UFO tadi. "UFO beneran ada..." kata Kalis lirih, sedih.
Pandangan Kalis kini mengarah ke tripod hape. Posisinya terjatuh ke tanah. Buru-buru Kalis menjemputnya dan mengeceknya. Selayar penuh hapenya mengalami glitch. Muncul garis-garis kehijauan dan kekuningan yang menyilaukan mata. Formasinya seperti membentuk pola geometri hexagonal. Kalis usap-usap tapi tak berpengaruh apa-apa. Hapenya tak bisa diakses. "Tidak mungkin."
Kalis pun mengedarkan pandangan sejauh matanya mampu ke segala arah. Tak diketemukannya ada orang yang penasaran memperhatikan. Kalau pun nanti Kalis cerita ini ke orang lain, dia kemungkinan tak akan dipercaya. Kecuali, Tony. Bahu Kalis turun, kecele. Dia menggenggam hapenya yang kini terasa agak panas.
Terdengar azan Maghrib menjelang.
Kalis buru-buru berlari ke dalam rumah.
Kalis masuk lewat pintu dapur lalu mengendap masuk ke kamarnya. Sepintas kerlingan, dia melihat ayah dan ibunya tengah ada di dalam kamar mereka, berbincang. Kalis buru-buru ambil handuk, dan mandi secepat kilat. Sampai azan usai, Kalis sudah selesai mandi dan memakai mukena, siap berangkat ke surau. Tak lupa dia mengambil al-quran bersampul keras dan memeluknya. Sambil berjalan menuju surau, Kalis mengingat bagaimana skateboard barunya disedot ke langit oleh UFO sialan itu. Kalis sedih.
Sekarang, yang membuatnya gundah gulana adalah bagaimana nanti kalau ayah dan ibu menanyakan soal hadiah itu? Dijawab dengan dijambret alien, pasti ibu dan ayah tak percaya. Kalis hendak serahkan itu kepada yang kuasa. Dia percaya, kadang saat salat, kita menemukan jawaban yang tepat. Tak jarang juga, Kalis yang kerap buntu saat mengerjakan PR, potensi-potensi solusi atas kesulitannya muncul saat salat. Boleh dibilang itu tandanya tidak khusyuk, tapi... kok cukup membantu ya? Dan di salat maghrib kali ini, Kalis berharap dapat petunjuk atas kejanggalan sore ini. Dia merasa seperti masuk situasi fantasi. Jantungnya dari tadi berdegup resah, apa yang bakal terjadi kemudian?
Apakah UFO itu akan kembali dan para alien yang ada di kemudinya memutuskan untuk putar balik dan sekalian menjemput Kalis? Hmm, kalau benar mereka akan putar balik, oke, Kalis akan tunggu dan pukul mereka pakai pentungan bedug, lalu rebut kembali skateboardnya. Atau... Justru mereka mengambil Kalis dan membawanya ke sebuah bilah operasi futuristik, lalu mereka membedah isi kepala Kalis?
Kalis bergidik. Dia baru sadar sedari tadi tubuhnya bergerak secara autopilot. Dia tak ingat kapan masuk surau, ambil wudu, lalu berdiri di antara saf. Kalis membaca istighfar, kembali fokus ke bacaan salat. Dia bahkan lupa sudah berapa rakaat terlewati.
UFO tadi. Kalau memang benar UFO. Memangnya apa yang mereka incar dari merebut skateboard Kalis? Aneh.. Bukannya lebih menarik mencuri artefak kuno yang jelas punya nilai budaya. Bukankah itu yang sering dicari oleh makhluk-makluk ekstraterestial dari manusia bumi demi membuktikan bahwa mereka tetaplah ras superior di seantero angkasa?
Hmmm.....
Kalis malah melanjutkan perenungannya tanpa mengaktifkan mode auto pilot. Hasilnya, dia masih berdiri sementara jamaah lain sudah sujud. Kalis istighfar dalam hati, lalu buru-buru sujud. Cici, yang berada di samping kirinya mencuri intip dari sikap sujud. Sumi, yang ada di kanan Kalis, jelas menyengir.
Selepas salam, Kalis masih tak mendapat petunjuk. Mungkin untuk masalah ini, hanya berlaku bagi masalah-masalah kehidupan nyata. Alien? Terlalu fiksi. Kalis mengusap wajahnya sembari mengucap amin panjang, menyahut dari doa selepas salat dari kiai yang menjadi imam salat. Embusan panjang yang menyertai amin itu cukup bisa menenangkan batinnya.
Kalis melanjutkan kegiatan rutin selepas Maghrib bersama teman-teman lain, yaitu mengaji. Mereka tadarussan di bawah pengawasan sang kiai. Sumi menowel Kalis. Kalis menoleh. "Yang lagi ultah kok malah galau?" goda Sumi.
Kalis membalasnya dengan menaruh telunjuk di bibir, meminta Sumi diam. Kalis melihat Pak Kiai melirik ke arah mereka.
Aktif membaca Al-Quran lalu bercengkerama bersama teman-teman pengajian dan menuruti apa kata Pak Kiai, terbukti di sore itu, membuat gundah gulana Kalis cukup tersingkir. Sembari menunggu Isya', Kalis dan teman-temannya, Cici dan Sumi, duduk di undakan surau, menerawang ke langit, dan bercakap-cakap.
"Kamu dapat kue?" tanya Cici.
"Dapet," jawab Kalis.
"Ihh, kok kita nggak dibagi?" protes Sumi.
"Hehe, maaf ya, aku kelupaan. Tenang, masih ada di kulkas, kok. Besok aku bawain ya."
Sumi dan Cici mengangguk dan tersenyum antusias.
"Jadi gimana, itu proyek rahasia di belakang rumah aku teropong dari sini, kayaknya udah nggak rahasia lagi. Beneran hadiah ultah kamu, ya?" tanya Sumi.
Kalis mengangguk. "Ternyata skatepark. Aku kasih nama Mini Berric."
Cici dan Sumi membulatkan bibir.
"Sepatu rodaku nganggur, nih. Aku boleh main di situ, nggak?" tanya Cici.
"Ya boleh dooong."
"Asyik. Aku boleh pake buat latihan dance juga, dong?" sahut Sumi.
"Ya boleh laaahhh."
Ketiganya pun tos di udara.
Kalis tersenyum. Kegundahannya yang tadi menggerung, mengerdil jadi bisik-bisik belaka di sudut pikirannya.
"Makin rame nih nanti belakang rumahmu, Lis. Kamu skateboard-an, aku sepatu rodaan, Sumi nge-dance, terus anak-anak lain pasti nggak mau ketinggalan. Seru sih," ujar Cici.
Mendengar itu, sembari mata menyorot ke arah area belakang rumah Kalis yang memang tak jauh dari surau, membuat bisik-bisik gundah gulana di dalam kepala Kalis mulai mengencangkan volumenya.
"Ngomong-ngomong, tadi sebelum maghrib kalian ngeliat ada yang aneh nggak sama langit?" tanya Kalis.
Cici dan Sumi seketika menoleh. "Aneh kayak gimana?" tanya Sumi.
Kalis mengedikkan bahu. "Misal, langitnya duluan lebih gelap nggak kayak biasanya."
Sumi dan Cici saling tukar pandang, keduanya mengedikkan bahu.
"Aku nggak merhatiin, lagi sibuk joget di kamar mandi," kata Sumi, sambil menyengir dan joget-joget sedikit menyenggol Cici dan Kalis. Cici dan Kalis membalas menyoro kepala Sumi. Ketiganya tertawa.
Tawa mereda, Kalis menatap langit di atas Mini Berricnya. Penuh pertanyaan.
******
Satu hal yang Kalis tidak suka adalah berbohong. Apalagi terhadap orangtua. Saat makan malam, ibu menyajikan menu kesukaannya, sambal goreng kentang, Kalis menyantap bersama ayah dan ibu. Di sela-sela perbincangan ringan penuh perayaan terhadap Kalis yang berulangtahun, Ibu menanyakan soal skateboard Kalis dan sudah berapa jauh dia mengulik trik.
"Terima kasih, bapak. Berkat skateboard baru akhirnya Kalis bisa ollie yang bener," ucap Kalis.
Ayahnya tersenyum bangga. "Memang ajaib itu papan. Bapak saja pas lihat pertama kali papannya langsung naksir. Duh, nanti deh kalau bapak punya waktu, bapak mau ikutan latihan. Ajarin ya, Lis."
"Ihh, bapak. Nanti keseleo!" sergah Ibu.
"Keseleo kan bisa diobati, Bu," balas Bapak. "Penasaran yang nggak."
"Penasaran kan bukan penyakit, Pak," tukas Kalis.
"Ohiya bener." Bapak dan Ibu tertawa.
Kalis tersenyum-senyum saja. Momen ini hikmat.
Kalis bisa tenang sebab makan malam dan bincang-bincang itu tak sampai membuat ayah dan ibunya memaksa Kalis memperlihatkan papan skateboard baru itu.
Tapi, di kamar, menjelang tidur, Kalis mulai tak tenang.
Hapenya masih tak berfungsi. Galat garis-garis berpola hexagonal memenuhi layarnya. Kalis memaksa mematikan hapenya, yang dia dapat justru letupan kejut listrik yang membuat tangannya kebas.
Hapenya melayang. Kalis takjub. Tak lama, hapenya meluncur jatuh ke lantai. Berdebum berat dan padat, tak selayaknya hape biasa.
Menyusul kemudian semburat sinar kekuningan menyorot dari garis-garis pola hexagonal di layar hapenya. Kalis terjengkang ke belakang, keheranan.
Sorotan sinar kuning itu samar-samar memunculkan rangkaian huruf dengan typografi yang asing. Campuran futuristik sekaligus tradisional. Kalis heran sendiri, dia tahu apa saja huruf itu. Itu huruf inisial yang sama seperti di skateboard barunya.
"ASTCKR," gumam Kalis.
Kalis perlahan berdiri, tangan hati-hati menggapai rangkaian huruf itu. Tangan dan tubuh Kalis terasa hangat begitu dia dalam jangkauan sorotan sinar kuning. "Apa ini?"
Dan, sorotan kuning itu tak hanya menyorot ke satu arah, kini sinar itu menyelubungi seluruh tubuh Kalis. Dalam momen yang tak terbilang lamanya, Kalis merasa tubuhnya melayang. Yang dilihatnya di sekitar bukan lagi kamar, melainkan ruang tanpa batas. Kerlap-kerlip titik menyerupai bintang menyeruak dan bertebaran mengisi ruang itu. Kalis seperti melayang di angkasa.
"Subhanallah..." ucap takjub Kalis. "MasyaAllah..."
Zrrttt... zrttt....
Terdengar dengung mesin. Kalis menoleh ke sana kemari.
Tiba-tiba, hawa sekitarnya berubah dingin. Kalis mendongak ke atas. Sorot sinar biru menimpanya. Ada piringan logam besar melayang di atas Kalis. Mata Kalis membelalak. Sorot sinar biru itu serta merta menyerok Kalis.
"Apa ini! Tidaaakk!"
ZAP!
Kalis lenyap dari ruang itu.
Gelap.
Terdengar bunyi dengung.
Kalis mencoba menggerakkan badan, tapi kesadarannya seolah tak mampu merasakan ketersambungan jiwa dan raga. Kalis lumpuh. Dia mencoba membuka mata, tapi sama saja, dia tak bisa merasakan keterhubungan otaknya dengan otot kelopak mata.
Masih gelap.
Segalanya gelap.
Tak ada apa-apa.
Yang ada hanya kesadaran Kalis.
"Di mana ini?"
Suara Kalis terdengar menggema. Padahal dia memaksudkan bicara dalam hati.
Tiba-tiba silau.
Kalis tak bisa memejamkan mata. Ada tujuh lingkaran cahaya muncul di atasnya. Dari sekepalan tangan berangsur-angsur melebar jadi seluas payung gazebo. Kalis tak merasakan kelopak matanya, dan mencoba mau bagaimanapun, dia tak merasakan bola matanya mampu bergerak tengok sekitar.
Tujuh lingkaran cahaya itu kemudian membelah dan memburai, dan perlahan-lahan mengungkapkan situasi ruangan tempat Kalis sebenarnya berada. Kalis terjerat kekalutan. Apa yang ditakutkannya sewaktu salat maghrib tadi bertubi-tubi menghantamnya sekarang secara nyata.
Kalis jelas merasakan dirinya tengah dibaringkan di sebuah bilah metal yang dingin. Samar-samar, ada tujuh kepala plontos bertempurung besar dan memiliki wajah berdagu runcing bermata hitam bulat besar. Kalis tak mampu lagi berkata secara lisan maupun dalam hati. Dia ingin berteriak sementara tujuh sosok alien semakin memperhatikannya dengan seksama dan lebih dekat.
Kalis membayangkan apa yang bakal terjadi berikutnya. Soal akhir hidupnya. Soal hidupnya bila berlanjut nanti apabila mungkin alien-alien ini melepaskannya. Soal bagaimana dia nanti hidup tanpa mengenal jati dirinya lagi. Soal bagaimana dia akan jadi orang lain. Soal bagaimana nanti mungkin justru dia jadi mata-mata buat para alien ini untuk mengontrol bumi.
Salah satu alien mengangkat tangan rampingnya. Ada sesuatu di genggamannnya. Sebuah mesin kecil, berdengung. Bila dilihat dengan seksama, mesin itu mirip gergaji.
Kalis akan dibedah.
Tidaaaakkk!!!
Tujuh alien itu tersentak. Seketika, segala yang tersaji di penangkapan indera penglihatan Kalis meretak dan membuyar.
Kalis kembali ke kamarnya. Terjaga. Terengah-engah.
"Naudzubillah.... Astaghfirullah!" Dada Kalis megap-megap. Dia melihat ke sekitar ruangannya, kamar yang normal. Tatapannya kemudian mengarah ke hapenya yang tergeletak di lantai. Tak ada sorot sinar kekuningan ke udara. Hape itu mati total. Retak layarnya semakin bercabang banyak.
Kalis menenangkan diri sejenak, mengatur napasnya sembari membaca istighfar berkali-kali. Setelah tenang, dia turun dari tempat tidur dan meraih hapenya. Kalis mengucap basmalah menyalakan hape itu. Nyala!
Kalis tak menyadari ada bukaan cahaya di belakangnya. Bukaan yang menyerupai pintu hologram. Dua orang muncul dari sana, melangkahkan kaki masuk ke kamar Kalis. Salah satunya bersuara, "hei..."
Perlahan Kalis menoleh. Menyadari ada dua orang asing di kamarnya, Kalis membelalak, hendak berteriak, tapi dua orang itu segera membekap mulut Kalis.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro