
Desa Raksawana
~Desa itu tak semestinya di sini~
Wawan harus pergi dari situ. Khodamnya menyarankan segera. "Ikuti aku. Takdirmu sudah digariskan. Meski begitu, keputusan selalu ada di tanganmu." Khodam singa jantan itu mulai bergerak. Wawan agak berat, menyaksikan jasad gosong Abah terduduk di sofa. Mengenaskan. Nafsu balas dendam, samar mulai tumbuh dari dalam dirinya. Akan ia cari si provokator itu.
Auman singa mengagetkan Wawan dari perencanan balas dendam yang berputar-putar dalam kepalanya. "Jangan kotori tanganmu dengan pembalasan dendam. Ujungnya tak pernah baik. Kau tak akan pernah terpuaskan. Kau bukan orang macam itu."
Wawan jadi telanjang. Jaket hoodie dan celana jinsnya tadi tertinggal. Panik, tiba-tiba ia berubah jadi lutung bulu putih. Ia mengikuti si khodam singa. Wawan masih dapat bicara dalam wujud hewan. Mereka keluar melalui pintu belakang. Melalui kebun yang dibesarkan Wawan sendiri.
"Kau tahu apa aku sebenarnya?" tanya Wawan. Ia loncat dan duduk di punggung singa. Si khodam tidak keberatan.
Si singa mengaum lagi. Wawan dapat melihat gelombang auman memecah udara. Membuka sebuah ruang yang sebelumnya tak tampak di situ. Mereka melewatinya, tahu-tahu Wawan sudah berada di kampung sebelah. "Itu tadi cara melipat jarak." Si singa memberitahu.
"Siapa aku?" Wawan mengulangi.
"Kau Abdi Sekawan."
Wawan dalam wujud lutung, menggaruk-garuk leher singa kesal. "Kenapa kau tidak lari saja?"
"Kalau aku lari, orang-orang akan melihatku. Karena setiap pijakan lariku, membuat tanah berguncang. Itu karena kau belum sepenuhnya mengklaimku. Kau belum mengendalikanku. Jadi, sementara kita bergerak pelan. Dengan kau duduk di punggungku, tabir gaib sudah menyelimutimu. Kau tak tampak."
"Oke oke. Katakan, apa aku ini sebenarnya? Abah tidak sempat cerita sampai selesai. Katanya, ibuku kulitnya kuning, benar itu?"
"Benar. Kau bukan manusia. Kau adalah dari golongan Gandarupa. Kau seorang peralih rupa. Kau tidak berasal dari dunia ini. Dan kau juga tidak berasal dari duniaku. Dunia gaib seperti yang orang-orang kenal. Kau datang dari dunia ketiga."
Wawan tidak mengerti. "Dunia ketiga? Di mana itu?"
"Dunia ketiga itu disebut dengan semesta Watukayu. Bila kau tanam tongkat kayu dan batu, maka jadilah tanaman sesuai yang kau pinta. Tapi memintanya dengan hati bersih. Kalau tidak, malah tumbuh sebagai racun."
"Dunia yang aneh."
"Itu dunia asalmu. Dan firasatku, tak lama lagi kau akan masuk ke dalamnya. Untuk mengenali jati dirimu lebih dalam. Kau ditakdirkan untuk hal besar."
Wawan merasa si singa ini versi Abah Simba, tapi yang lebih cerewet. Wawan tertawa, semua ini kebetulan yang lucu. Abah Simba punya khodam singa. Simba... singa... simba... singa... "Bagaimana kalau kau kupanggil Simba?"
"Sesuka hatimu."
Mereka melewati orang-orang yang sedang santai duduk malam-malam. Yang tak bisa melihat mereka. Kalau saja mereka bisa, pasti lari kalang kabut.
"Sebenarnya, kita mau ke mana?"
"Mencari titik aman bagiku untuk melakukan lompatan."
"Kenapa tidak di sini saja? Aku sudah mengklaimmu." Klaim Wawan.
"Belum. Tidak semudah itu. Aku memang bersumpah untuk menjagamu. Itu tidak berarti kau bisa memerintahku. Kau masih jauh dari itu."
Selanjutnya Wawan memutuskan diam saja. Ia mengantuk, lalu tidur di belahan surai khodam singa. Dia bentuknya besar sekali. Seukuran tank.
Wawan bermimpi buruk. Kejadian rumah Abah dibakar berulang-ulang dalam benaknya. Ia terbangun dan menangis. Rindu Abah. Si singa ternyata berhenti. Dia duduk, meletakkan Wawan di atas perutnya. "Kuatkan dirimu, Abdi Sekawan. Perjalanan kita panjang."
Wawan tidak ingat pernah melihat ibunya. Di mimpinya, setelah kejadian rumah Abah dibakar, di ujung lorong yang gelap, bergerak mendekatinya sesosok perempuan berkulit kuning. Rasa hangat memeluk Wawan. Sejenak ia merasa seperti bayi lagi.
"Kita akan bertemu lagi, nak." Kata perempuan itu. Membuat Wawan yakin, ia telah bertemu ibunya di mimpi.
Wawan terjaga, tangannya menggapai langit, dan tahu-tahu ia berubah jadi elang kepala botak, terbang dalam keadaan setengah sadar. Simba kaget, dan tak sempat mengejarnya. Kalau ada mimpi berjalan, maka Wawan sedang mimpi terbang. Ia tak sadar telah menembus tabir tipis. Ia pindah tempat sekejap.
Wawan langsung mendarat, masih setengah sadar, sebagai musang kecil. Menggeliat. Lalu berubah jadi wujudnya yang asli. Gandarupa kulit hijau. Ia lanjut tidur di antara semak belukar.
Wawan terbangun entah berapa jam kemudian. Hal pertama yang ia sadari adalah dirinya duduk di sebuah singgasana nyaman. Ia memakai jubah lembut nan nyaman. Bak raja. Ia mengucek mata, dan perlahan-lahan, di hadapannya banyak sekali orang sedang berlutut. Wawan melihat sekitar. Tempatnya berupa hutan. Wawan bengong melihat orang-orang berlutut dan entah menggumamkan apa. Ia mencari-cari Simba. Tak ada.
Seorang dari kerumunan, bangkit, membungkuk kepada Wawan. "Terima kasih telah datang menepati ramalan."
Tanda tanya sedang berkerubung di kepala Wawan. Sayang sekali, Simba tak tampak di mana-mana. Ke mana dia? Katanya akan menjaganya selalu. Orang yang menyambutnya mengajaknya berdiri dan berjalan, menjauhi kerumunan.
"Di mana aku? Siapa kau?"
Orang itu tersenyum. Dia mengenakan pakaian yang terbuat dari jalinan daun. Kepalanya diikat dengan sulur tumbuhan. "Namaku Wana Jaga. Kau saat ini sedang berada di desa kami, Raksawana."
"Ini hutan."
"Benar, dan hutan adalah tempat tinggal kami."
Wawan tak melihat adanya rumah sama sekali. Orang itu lalu menunjuk ke atas. Tempat tinggal mereka di atas pohon. "Kenapa aku di sini?"
"Mungkin itu sudah ditakdirkan. Kami telah menunggu-nunggu kedatanganmu."
"Untuk?"
"Sesuai ramalan, seseorang berkulit hijau dan memiliki kekuatan kosmik Astacakra akan menyelamatkan kami semua. Membawa kami semua pulang ke alam yang semestinya."
Astacakra? apalagi itu? "Di mana alam yang semestinya?"
"Alam Watukayu."
Wawan tersentak, ini seperti dua keping puzzle yang mulai tersusun. Simba mengatakan tentang Watukayu, dan kaum orang hutan ini, mengaku minta dibawa pulang ke Watukayu. Pertanyaannya adalah... "Kenapa kalian bisa di sini? maksudku, di mana ini sebenarnya?"
"Ada kekuatan jahat dari Watukayu yang menculik kami dan dibawa ke sini. Ada agenda jahat yang kami tidak tahu apa. Kami yakin, tempat ini ada di dunia manusia. Untuk sekarang ini, hutan desa Raksawana kami belum tampak oleh mata telanjang manusia. Yang kami takutkan adalah, seiring waktu, bilamana kau tak kunjung datang, kami akan muncul di dunia manusia. Dan ketahuilah, mungkin kami tak akan selamat tinggal di sana."
Cukup problematik, batin Wawan. Tapi apa yang bisa ia perbuat? Ia baru saja mengetahui jati dirinya, meski baru secuil istilah. Ia tak tahu bagaimana mengendalikan kemampuannya beralih rupa. Ia teringat perkataan Abah Simba dan khodamnya, "Kau ditakdirkan untuk hal besar." Diagung-agungkan oleh penduduk hutan desa ini adalah hal besar. Diminta untuk membawa mereka pulang ke alam semestinya adalah hal besar.
"Bagaimana aku bisa menolong kalian? Aku masih tidak tahu apa-apa."
Wana Jaga mengajak Wawan berjalan lebih jauh lagi. Mereka menyusuri pinggir sungai, sampai ke mulut hutan lain yang lebih gelap. Di sana terdapat gerbang melengkung terbuat dari jejalin ranting. Pintunya semacam selaput membran yang semestinya mudah robek ditembus. "Kami yakin, di balik pintu itu tersedia jawabannya. Kami yakin, pintu itu bisa mengantarkan kami pulang. Hanya saja, sudah berkali-kali kami coba, hanya membuat kami celaka."
Demi jati diri yang sebenarnya. Demi hal besar yang telah digaris takdirkan. "Baik, aku akan menolong kalian." Dalam hati, Wawan memanggil Simba. Meminta pendampingan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro