Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4 - Desa Randucakra

Rasanya beda dari kali pertama Moses masuk ke dimensi lain itu. Memang segalanya jadi beda kalau kita tahu apa yang kita kerjakan. Moses hanya tergelincir ketika mendarat dari hempasan hisapan bulatan kecil di pusat sabuk bintang ujung delapannya. Tak ada perasaan seperti masuk ke lubang sedotan. Ia menyeimbangkan diri segera. Permukaan tanah hitam legam dimensi lain ini keras dan dingin.

Hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa pinggangnya. Sabuknya tidak ada. "Loh?" Lalu bagaimana nanti ia akan kembali? Menurut pikirnya, barangkali jalan kembali adalah dengan memutar bintang delapan lawan arah jarum jam sebanyak delapan kali. Tapi kalau sabuknya saja tidak ada bentuknya, bagaimana mau kembali?

Ia putuskan itu untuk dipikirkan nanti saja. Sekarang ia harus menuju gerbang pohon segienam tempat diculiknya Rakila. Hanya saja, gerbang itu sudah tidak ada. Semuanya berubah di sini. "Apa mungkin aku salah masuk?" memikirkan itu membuatnya jadi gugup. Jangan sampai salah, ia memohon dalam hati.

Ayahnya sering bercerita mengenai tokoh dalam novelnya yang mampu mengendalikan materi dengan pikiran. Moses berharap di alam yang serba aneh ini, realitasnya bakal berbeda dengan alam nyata. Semoga saja.

Moses memejamkan mata dan membayangkan dengan jelas si muka ular. Ia mencoba memanggil dengan panggilan tak patut yang bercampur geram. "Muka ular jahanam, tampakkan lagi dirimu." Tangan sampai mengepal, geraham sampai beradu. Lalu ia memusatkan pikiran untuk memanggil nama Rakila Sunuaji.

Usahanya tak berbuah hasil. Hawa tempat ia muncul memang masih sama dengan yang terakhir kali, dingin suram dan langitnya ada lembaran sinar hijau bergelombang. Namun, di delapan ujung arah angin, yang ia dapati justru berbeda. Ada delapan gerbang menuju entah ke mana yang terdiri dari sepasang pohon segidelapan di setiap gerbangnya. Dan sama sekali tak ia temukan pohon segienam. Tempat ini lebih sepi dari sebelumnya. "Ya Tuhan, tempat apa sih ini?"

Moses menengok ke kakinya berpijak. Kaget ia menemukan pola bintang yang sama seperti sabuknya. Pola tarikan garis yang menyebar secara geometris dengan poros tempat kakinya berpijak. Ia ingat betul terakhir kali ada pola segienamnya.

Ia harus bergerak. Segera. Terserah mau ke gerbang mana. Moses melangkah ke gerbang sebelah kanan. Ia memacu langkah seribu menuju gerbang itu. Sesampainya di sana ia mencoba menembus masuk, namun muncul lagi di depan mulut gerbang. "Hah, ilusi pengulangan lagi."

Larinya itu sudah membuatnya terengah. Sembari mengumpulkan napas bulat-bulat, Moses mengambil waktu untuk meninjau. Ada kalanya kamu harus berhenti untuk mengamati sebelum berucap atau bertindak apa pun. Begitu yang pernah ia baca di salah satu buku ayahnya.

Moses mengamati satu per satu gerbang pasang pohon segi delapan. Semua sama bentuk dan lengkungnya. "Ayolah, jangan permainkan aku dengan ilusi pengulangan. Ayolah, satu saja tolong dibuka pintunya. Aku mau menolong sepupuku. Bantulah aku, wahai penghuni yang baik. Siapa pun."

Moses mendapati ada sesuatu yang beda. Di gerbang yang berlawanan sana menguar kabut samar. "Ah, itu dia." Tanpa memedulikan gerbang tempat apa yang sedang membuka, mau penghuninya jahat atau baik, yang penting masuk dulu. Moses mengayunkan langkah cepatnya lagi.

Kemunculan harapan berbarengan dengan munculnya dua sosok di balik kabut samar gerbang pohon itu. Entah sedari tadi ia mengesampingkan naluri atau memang sama sekali tak ada firasat buruk menghampirinya, Moses terus saja sampai bertemu tatap muka dengan dua sosok yang memakai jubah panjang dan berpenutup kepala seperti capil.

"Tolong saya, sepupu saya diculik makhluk muka ular."

Sosok yang berjubah putih dan bersayap jubah lebar mengangkat penutup kepalanya, hidungnya kentara warna kejinggaan, seperti hidung orang mabuk. "Kamu dari alam manusia?" nada tanyanya mengandung kekhawatiran.

"Betul. Saya dari alam manusia. Tolong jelaskan tempat apa ini? Tolong beritahu di mana saya bisa masuk ke alam manusia bermuka binatang, saya harus menolong sepupu saya."

Sosok satunya yang berjubah merah dan topi capilnya lebih bulat dan lebar dengan bulatan corak hitam dan merah, berjengit. "Kau bertemu Raikewan?"

"Apa itu Raikewan?" tanya Moses.

"Pasti si Raiulo." Kata si jubah putih.

Dua sosok itu sibuk berbincang sendiri.

"Raiulo menangkap saudara anak ini." Kata si jubah putih.

"Pasti untuk acara siklus mereka." Tanggap si jubah merah.

"Siklus apa?" tapi Moses diabaikan sementara.

"Siklus pembukaan arena tanding Palagan Wolu. Mereka, para Raikewan itu suka memainkan nasib manusia sial yang masuk ke celah dimensi." Lanjut si jubah merah.

"Siklus delapan hari berarti sudah dimulai." Lanjut si jubah putih.

"Celaka. Semua ini gara-gara si pengelana dimensi itu. Tatanan dimensi di Watukayu jadi berubah. Terlalu banyak pergeseran. Celaka!"

"Mohon jawab pertanyaan saya. Saya dalam keadaan genting. Sepupu saya dalam bahaya. Tolong."

Yang berjubah putih membungkuk meminta maaf. "Maafkan kami yang tak sopan. Siapa namamu?"

"Saya Moses. Saya tak sengaja masuk ke dimensi ini karena sebuah sabuk."

Si jubah merah berjengit. "Sabuk katamu? Apakah itu sabuk pusaka legendaris?"

Moses mengedikkan bahu. "Menurut si penjual sih begitu."

Si jubah putih yang mengelus janggut lancipnya sembari mengamati Moses dari ujung kepala sampai ujung kaki, mendekat dan memaksa membuka kaos Moses. "Perlihatkan dadamu, nak Moses."

Moses menolak. "Untuk apa?"

"Katamu kau butuh jawaban. Beri kami jabawan satu ini dulu, baru kau kujelaskan semuanya."

Ketika Moses menyingkapkan kaosnya, secercah cahaya menyiram dua sosok berjubah itu. Keduanya langsung jatuh berlutut sembari menyatukan tangan tanda penghormatan kepada Moses. Ia sendiri kesilauan diterpa cahaya yang datang dari dadanya.

"Syukurlah. Pahlawan kita sudah datang. Yang terakhir dari siklus." Keduanya mengucap bersamaan.

"Tunggu dulu, apa sih maksudnya? Apa sudah dapat jawaban yang kalian cari?" Moses jadi kesal bila dibeginikan terus.

Keduanya masih berlutut dengan menundukkan kepala rendah sekali.

"Ayolah, bangkit." Baru keduanya bangkit.

"Hamba dikenal sebagai Warok Belibis." Yang berjubah putih memperkenalkan diri.

"Dan hamba adalah Warok Kepik." Kata yang berjubah merah.

"Baiklah. Tempat apa ini?"

Warok Belibis yang menjelaskan. "Tempat kisanak muncul disebut Palagan Wolu. Tempat delapan gerbang saling berhadapan. Selanjutnya akan dijelaskan oleh ketua kami, mari masuk, tak aman bila terlalu lama di sini. Pergeseran dimensi masih terlalu rentan."

Moses mencerna informasi yang diberikan. "Oke. Itu berarti saya akan mendapat bantuan?"

"Bantuan apa pun yang kisanak butuhkan." Kata Warok Kepik dengan ramahnya. "Warok Sentadu akan senang membantu kisanak."

"Duh, siapa lagi."

"Mari," Warok Belibis mempersilakan Moses berjalan di depan. "Kisanak akan memasuki Desa Randucakra."

"Oke," Moses menarik napas dalam-dalam. "Desa Randucakra."

Sepertinya mereka baru melangkah barang sepuluh kali. Tapi alam yang tersaji berubah seratus delapan puluh derajat. Mata Moses dimanjakan dengan pemandangan hijau pepohonan dengan wujud unik. Dedaunan mereka berbentuk bulat sempurna. Atmosfir terasa lebih nyaman. Kemunculan Moses di desa Randucakra langsung saja mengundang para penduduk desa keluar dari rumah berdinding melingkar bulat sempurna.

"Satria pelindung ke delapan kita sudah tiba!" seru Warok Belibis.

Penduduk desa Randucakra yang kesemuanya mengenakan jubah tebal menghormat berlutut kepada Moses. Sungguh, ia merasa risih disambut seperti ini.
"Kenapa mereka dan kalian berlutut begitu, seolah aku ini pejabat tinggi?"

"Karena kau adalah pahlawan pelindung desa Randucakra."

Moses kesal. Sudah berapa orang yang mengharapkannya menjadi pahlawan melulu. Ia datang hanya ingin menyelamatkan Rakila. "Saya hanya ingin menyelamatkan sepupu saya."

"Kisanak. Itu adalah sikap seorang pahlawan." Kata Warok Kepik.

"Terserah saja. Tolong segera pertemukan aku dengan Warok Sentadu yang katanya bisa memberiku semua jawaban dan bantuan."

"Tidak lama lagi. Di penghujung sana." Kata Warok Belibis.

Moses melihat ke tempat yang ditunjuk. Bangunan berdinding melingkar yang ditebaknya terbuat dari anyaman rotan, lebih besar daripada yang lainnya, di sana sudah berdiri sosok berjubah hijau dengan sayap lengannya lebih panjang, kepalanya dililiti sorban kain hijau dengan bentuk yang menyerupai kepala belalang sembah.

Sepanjang jalan menuju ke sana, penghuni desa itu masih saja menyatukan telapak tangan di dada dan membungkuk-bungkuk hormat kepada Moses. Ia berinisiatif untuk membalas tundukan hormat itu dengan mengangguk dan telapak menyatu.

"Akhirnya muncul juga Satria terakhir dalam siklus." Begitulah Warok Sentadu menyambut Moses.

Moses membungkuk sekali demi kesopanan terhadap tuan rumah. "Saya Moses. Ingin menyelamatkan sepupu saya yang diculik makhluk bermuka hewan."

"Pelan-pelan, itu nanti pasti aku bantu. Sekarang, tahukah kau mengapa kami begitu menjunjungmu?" Moses baru tahu setelah Warok Sentadu mengangkat wajah dan meluruskan tangannya yang sedari tadi menyilang di dada, bahwa Warok Sentadu adalah seorang perempuan dewasa. Parasnya ayu dan rangka mukanya melancip di dagu. Seperti gambar hati.

"Itulah yang sedari tadi saya pertanyakan."

"Kau pasti sudah tahu, hanya saja kau belum memeriksa dadamu dengan mata kepala sendiri. Cobalah lihat dan katakan pada kami apa hal pertama yang terlintas di benakmu melihat itu."

Moses langsungsaja mengintip ke balik kaosnya. Yang ditemukannya membuatnya terperangah. Pantassaja sabuknya tidak muncul di alam ini. Bintang berujung delapan itu tak lagiberbentuk wujud, melainkan tato bercahaya yang terajah di dadanya. Sabuknya menyatudengan dirinya. "Oh tidak." Kata Moses. Kemudian ia melanjutkan dalam hati, akuGatotkaca?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro