Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SEKET PAPAT

Sebetulnya, gim detektif yang dimaksud Jabil adalah gim Onet, gim mencocokkan gambar Pokemon. Bukannya bagaimana, tapi gim itu memang butuh konsentrasi untuk menyambungkan keping-keping yang berkorelasi. Menurut hemat Jabil, petugas seperti Laksono dan kawan-kawannya perlu sekali melatih kemampuan mereka dengan gim itu. Jabil tak peduli perkataannya itu seberapa menyinggung Laksono. Petugas itu kecele, dan berusaha tidak meluapkan emosinya atas penolakan yang kesekian kali ini. Laksono bangkit dengan muka masam, lalu menghambur keluar. Berkas kasus sengaja dia tinggalkan. Pintu sengaja tidak dia tutup.

Terdengar tepuk tangan dari salah satu bilik komputer. Itu Purnomo. "Ente memang teman yang solid." Purnomo keluar dari bilik lalu menutup pintu. "Cuma ente yang berani ngejek petugas." Dua jempol Purnomo teracung.

"Di Surabaya, Rudi tertawa geli," tambah Jabil. Purnomo tertawa.

Kalau ingat Laksono sudah pasti ingat Rudi. Gara-gara Laksono Rudi tak bisa menikahi gadis dambaannya. Meski katanya sudah ikhlas, Rudi tak mau beredar di sini lagi. Semenjak Rudi pamit, Jabil dan teman-temannya seperti punya kesepakatan khusus. Bikin Laksono geram di segala kesempatan.

"Ada kabar terbaru dari Rudi?" tanya Jabil.

"Ana belum kontak-kontak lagi. Beliau sibuk. Alhamdulillah."

Jabil geleng-geleng. Orang-orang di sekitarnya banyak progresnya betul. Lek Narodo dan Jarwo Mawut sudah bisa rukiyah dan rajin mengaji, Yogo Keling lagi naik umroh ,dan Purnomo belakangan ini selalu menyelipkan istilah-istilah Arab dalam percakapannya.

"Jujur aja, Pur, aku tuh masih nggak terbiasa eh sama sampean ngomong pake Ana Ente. Lama-lama aku ngarep sampean ngatain orang 'Ente Bahlul!'"

Purnomo cengar-cengir. "Astaghfirullah. Semoga jangan sampai ya."

Pintu warnet terbuka. Ada bocah kecil ingusan masuk. "Mas, mau warnet!"

"Ente bahlul!" seru Purnomo, menghampiri bocah kecil itu lalu mendorongnya keluar. "Belum waktunya, Le! Sana pulang ke Ummi."

Jabil geleng-geleng.

Purnomo kembali ke meja, dia tertarik dengan berkas yang ditinggalkan Laksono. "Si Petugas yang Mulia itu nawarin kasus?"

Jabil mengangguk kecil. "Kalau sampean minat, monggo."

"Di sini yang Sherlock Holmes itu ente, Bil." Purnomo membuka berkas dan mempelajarinya. Dia manggut-manggut. "Bau-baunya bawa-bawa romantisme kawula muda ini."

"Ohya?"

"Halah, ente nggak usah sok culun begitu. Pasti sudah kepikiran toh?"

"Baca aja nggak, Pur."

"Seogah itu ya ente. Rejeki lho ini."

"Yang seperti ini itu bisa dilihat dua sisi: Rejeki bisa jadi, Musibah bisa jadi."

Purnomo menutup berkas. Paham apa yang dimaksud Jabil.

"Kalau ana sih milih lihat ini sebagai rejeki ya. Toh sama-sama gratis."

Jabil mendengus. "Teman meninggal, teman luka, teman gila, itu nggak gratis, Pur." Nada bicara Jabil mengeras. Purnomo terdiam.

"Afwan," ucap Purnomo pelan.

"Afgan?"

Purnomo menyengir. Jabil tidak setersinggung itu.

"Semua ada konsekuensinya. Tapi, menolong orang itu ibadah. Biar yakin, ente perlu menghadap Gusti Allah. Minta petunjuk. Solat."

"Njih, Habib."

******

Jabil tidak solat seperti yang disarankan Purnomo. Dia hanya berbaring di sofa butut sembari memandangi langit-langit lantai Sidik Klenik yang sudah mengusam. Desain awalnya memang sengaja dibuat bernuansa industrial, alias konsep setengah jadi. Langit-langit itu dihiasi sarang laba-laba di pojokan dan beberapa titik lain.

Bosan, akhirnya Jabil bangkit dan menghampiri jendela. Kaca jendelanya kusam, bingkainya juga jadi habitat laba-laba kecil rumahan. Dari lantai ini Jabil bisa melihat ke seberang jalan. Tempat Bos Cina masih ramai. Motor Shogun biru masih terparkir di sana. Itu motor Laksono. Tampak juga orangnya lagi berkacak pinggang memasukkan tangan ke saku jaket bomber, tatapannya mengarah ke tempat Jabil. Saat mata mereka bertemu, Jabil langsung mundur. "Asu."

Terdengar gedoran pintu. Jabil sedari tadi mengurung diri di ruang Sidik Klenik ini dalam keadaan pintu dikunci. "Bil, ini Jarwo."

Jabil membiarkan, tak langsung menjawab.

"Lapor, Bil. Awakmu bener, Bil. Kasus Geger Pawon wis beres. Istrinya pura-pura kesurupan biar nggak ketahuan kalau selingkuh. Tapi malah kesurupan beneran sama demit yang kena tuduh wis ngeloni tiga hari tiga malam."

Jabil berdecak. Dasar manusia. Demit pun jadi sasaran fitnah.

"Akhire suaminya langsung talak tiga. Tapi, gawat ini, Bil. Lanangan yang jadi selingkuhan benerannya mau dilabrak. Geger tenan ini Bil." Jarwo menggedor lagi, "Bisa-bisa perang dunia ketiga ini. Dua-duanya punya pengikut eh, sama-sama anak silat."

Silat, hmmm, Jabil berpikir. Dia melirik berkas kasus dari Laksono yang tergeletak di meja bundar tempat vas lampu diletakkan.

"Gimana ini, Bil? Aku sama anak-anak padepokan Ki Gufron nggak cukup buat nyetop. Aduh, pertumpahan darah ini. Masalah selangkangan pasti ujung-ujungnya begini. Geger tenan. Manusia-manusia. Memang mesti dikasih celana pake kode nuklir, biar nggak sembarangan bisa buka. Aduh aduh."

Jabil geleng-geleng kepala. Jarwo yang sudah bisa rukiyah masih saja kelabakan soal ini.

"Bil? Aku tahu kamu di dalam. Gimana ini?"

Jabil akhirnya membukakan pintu. "Sudah bilang ke Joni Damput? Dia punya utang budi sama kita. Kroconya banyak."

"Itu masalahe, Bil."

Jabil menepuk jidat. "Joni Damput selingkuhannya?"

Jarwo mengangguk.

Bukannya ikut prihatin, Jabil malah tertawa terbahak-bahak. Jarwo terheran melihatnya.

Jabil terpingkal-pingkal, bahkan sampai berguling-guling di lantai. Jarwo garuk-garuk kepala melihatnya. Begitu Jabil menyeruduk meja bundar dan vas lampu hampir saja mengenai kepalanya, Jarwo cekatan menangkap vas lampu itu. Jabil baru berhenti tertawa.

"Edan apa bagaimana sampean, Bil?"

"Bahlul ente!" Jabil tertawa lagi, lalu sambil memegangi perutnya dia mengempaskan diri ke sofa butut. Jarwo sampai harus menutup hidungnya gara-gara letupan debu.

"Lah?"

"Tempurnya kapan dan di mana?"

"Belum tahu. Kayake hari ini."

Jabil manggut-manggut sembari berpikir. "Mau minta bantuan Gondhes Ireng?"

"Waduh, kalau bisa jangan bawa-bawa mereka sih."

"Ya gimana, didoain juga tawurannya nggak bakal bubar."

Jarwo ikut duduk, galau. "Aku tuh takut, eh, Bil. Kalau sering-sering berinteraksi sama mereka, nanti repot."

"Takut tuh sama Gusti Allah. Gondhes Ireng saja takut kok."

"Hmm iya sih. Tapi jangan aku yang manggil. Aku nggak mau merusak akidahku."

"Heleh."

Dari luar ramai terdengar bunyi klakson mobil dan motor meraung-raung. "Ada apa, tuh?" Jarwo bangkit dan menuju jendela. Di luar, mobil dan motor terjebak macet. "Bil, Bos Cina lagi ada hajatan?"

Kalau saja Jabil tidak mendengar suara jeritan perempuan, dia tak mungkin ikut menyusul melihat ke jendela. Jeritan perempuan itu panjang dan pilu. Dari ramainya klakson dan protesan pengendara, jeritan itu yang terdengar paling jelas. Seolah perempuan yang sedang nestapa itu ada di depan mereka.

Begitu Jabil sampai di jendela dan melihat duduk perkara di jalanan, dia tercekat. Di jalan raya, tampak Asri Wijaya, putri dari Bos Cina yang berencana menikah tapi batal, kesurupan sambil menjambak rambutnya dan berusaha keras membenturkan jidatnya ke aspal. Kalau saja perempuan yang di sebelahnya tidak ngotot mencegahnya, sudah pasti darah bercucuran dari kening nonong itu. Perempuan itulah yang membuat Jabil tercekat. Itu Janet. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro