Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15 •

Siapa yang paling bersemangat untuk pergi berjalan-jalan dan menyusuri satu demi satu rak buku-buku di Gramedia dengan wajah bahagianya? Jawabannya tak lain adalah Devan.

Anak laki-laki itu seperti baru pertama kali datang ke Gramedia sehingga ia selalu melihat dan membaca setiap buku tidak bersegel dan kemudian rasanya ingin membeli semuanya. Padahal ini bukan pertama kalinya Devan pergi ke Gramedia, namun ia baru pertama kali pergi ke Gramedia yang lebih besar daripada terakhir kali ia ke sana.

Devan memang bukan remaja yang meluluk soal maniak game online, tapi karena dia juga pintar seperti Stella dan terkadang senang membaca buku. Sedangkan waktu untuk pergi ke toko sangatlah sulit mengingat bagaimana protektifnya orang tuanya terhadap penyakit yang dia derita.

Tidak lupa, sebagai penanggung jawab akan keselamatan Devan, Stella mencoba berhati-hati supaya Devan tidak kenapa-napa. Pasalnya dia selalu teringat akan penyakit jantung dan juga penyakit pembuluh darah yang sudah diderita oleh Devan sejak kecil bisa saja salah bergerak menyebabkan hal yang lebih parah.

Ini mungkin juga bukan akan menjadi sebuah kencan yang romantis bagi Hyunjae untuk Stella dan juga yang dirasakan gadis itu sendiri, namun setidaknya dia bisa membuat gadis itu senang karena membawakan sumber kebahagiaannya, yakni Devan, menjadi senang. Hyunjae juga belum pernah melihat Devan sesenang itu.

Lihatlah sekarang, Hyunjae bisa melihat sebuah senyum tipis di wajah Stella ketika gadis itu melihat Devan yang membawa sebuah komik di tangannya dan di hadapannya dan anak laki-laki tersebut sangat ingin membelinya.

"Ambil berapapun yang kamu mau, kakak yang bayar. Asalkan Devan merasa senang," kata Stella yang tak banyak berbasa basi pada adiknya tersebut.

"Lo juga beli sesuatu buat diri lo sendiri. Paling enggak, satu buku kesukaan dari penulis yang lo suka," timpal Hyunjae ketika Devan sudah tidak ada di hadapan ia maupun Stella. "Itu bukan egois kok, lo juga berhak bahagia."

Tanpa menoleh sedikit pun, Stella membalas perkataan Hyunjae. "Devan udah cukup bagi gue."

"Kebahagiaan Devan yang utama juga sosok kakak yang selalu sayang sama dia. Terus, kalau lo cuman berpatok sama apa yang Devan senangi, kapan kalian tau kalau sebenernya ada semu yang terjadi? Emang lo bakal selamanya pura-pura bahagia tapi adek lo sebenernya tau kebalikannya?"

Perkataan Hyunjae membuatnya terdiam sejenak. Ia tak bisa berdebat karena semuanya benar. Sekalipun ia bisa mengelak, Hyunjae pandai membalikan apa yang dia ucapkan dari sebuah kebohongan menjadi kebenaran.

Satu-satunya cara untuk menghindar ialah dengan menghampiri sebuah rak berisikan tentang 'psikis' seseorang.

Selain dirinya yang mengalami kanker, tekanan mental yang dia terima juga tidak main-main. Sudah mendapatkan stress dan depresi karena orang tuanya, ditambah sekarang fans Hyunjae yang gak jelas suka teror dia. Kurang lengkap apa coba hidup dia? Kalau bunuh diri bukan dosa, dia sudah pasti akan melakukannya. Tetapi, lagi-lagi dia teringat Devan dan sangat menyayangi adiknya itu hingga tak tega untuk meninggalkannya.

Kayaknya gue capek kalau debat sama Hyunjae terus. Lama-lama tambah gila.

Bukannya Stella tidak kuat menghadapi segala ujian dari Tuhan, tapi kok rasanya ujian yang diberikan sedikit membebani dirinya yang lemah.

Hingg sebuah cairan hangat menetes tepat di atas buku yang masih dilapisi plastik. Dia menyadari kalau mimisannya kambuh diwaktu yang tidak tepat. Untung dia membawa sapu tangan dan tisu, sehingga dia cepat membersihkan noda darah yang ada di plastik buku kemudian berlari menuju toilet mall.

Devan yang melihat kakaknya berlari menjadi bingung, namun ia belum sempat mengejar karena lelah membuat dadanya akan terasa sakit.

Sementara Hyunjae juga tak sempat mengejar dan hanya tau Stella pergi menuju arah toilet di mall ini. Ia lebih memilih menghampiri Devan yang sedang berdiri mematung dan memandangi pintu masuk Gramedia.

"Kakak tadi kenapa ya, Kak Je?" tanya Devan yang tidak tau apapun.

"Mungkin dia ingusan atau mimisan? Tapi jangan khawatir, kata Kak Younghoon karena kakak kamu ini orangnya sangat ambis. Jadinya, kalau sering begadang buat belajar itu rawan mimisan. Nanti Kak Hyunjae bawa kakak kamu ke dokter supaya ya diberi vitamin," jelas Hyunjae berusaha tidak membuat Devan panik.

"Tolong ya, Kak. Kalau memang Kakak sakit, bawa dia ke dokter. Kalau dia nggak mau, bilang saja kalau aku yang meminta," balas Devan.

"Kalau gitu, Kakak susul kakak kamu, ya, Dev. Kamu duduk di sana sambil baca buku yang ada, nanti kalau ada sesuatu yang terjadi pasti Kakak bakalan bilang ke kamu. Oke?"

Hyunjae menunjukkan sofa panjang dimana terdapat pada ruang baca di dalam Gramedia tersebut.

Tidak banyak bertanya maupun memprotes, Devan mengikuti arahan dari Hyunjae dan menyerahkan segalanya yang berhubungan dengan Stella pada lelaki tersebut.

Usai terlihat Devan mengikuti sarannya, ia segera berlari menyusul Stella dengan menanyakannya pada beberapa orang. Beruntungnya, ia mendapatkan informasi bahwa Stella mengarah ke kamar mandi sehingga Hyunjae dapat segera menyusulnya.

Keadaan Stella tidak dikatakan baik-baik saja karena mimisan yang baru saja ia alami. Ia tak menyangka bahwa kondisinya menjadi drop bahkan ketika gadis itu bisa melihat wajah Devan yang terasa bebas setelah lama mendekam di dalam rumah. Kepalanya terasa pusing namun ia tidak boleh tumbang sampai bisa kembali ke rumah.

Darah di hidungnya sudah dibersihkan, kemudian ia bisa keluar dan terkejut melihat sosok Hyunjae sudah di depan pintu kamar mandi wanita dengan wajah begitu mencemaskan dirinya.

"Lo gak kenapa-napa?" tanya Hyunjae menyentuh bahu gadis itu.

Stella mengangguk. "Gue fine. Jangan khawatirin gue. Devan mana? Kenapa lo malah ninggalin dia sendirian di mall besar ini? Kalau dia ilang atau diculik GIMANA?!" Ia menyadari tak ada sosok adiknya di sekitar Hyunjae, dan tangannya memperlihatkan gelagat cemas.

"Dia masih di gramedia, tadi gue suruh dia baca buku. Lo ... kambuh? Ada bekas darah di kerah baju lo." Telunjuk Hyunjae menunjuk pada noda darah di area yang ia katakan, dan ia melepaskan jaketnya.

Mata gadis itu langsung mengarah ke kerah baju dan sedikit di cardigannya dengan kamera ponsel. Stella meruntuki di dalam hati kenapa ia bisa ceroboh sampai memperlihatkan darah di bajunya, sudah pasti nanti Devan akan semakin mencemaskannya.

Tanpa babibu lagi, Hyunjae melepaskan jaketnya dan berkata, "Lepasin jaket cardigan lo, pakai jaket gue biar gak ketahuan Devan. Gue tau lo gak pengin keliatan sakit di depan dia, kalau mau gue anter ke dokter, gue bersedia kok."

"Gak usah, gue tutupin pake rambut aja. Takutnya gue mimisan lagi dan malah ngotorin jaket mahal punya lo itu," tolak Stella kemudian melepaskan ikat rambut dan menggerai rambutnya ke arah depan.

Dengan demikian, nodanya memang tertutup bila dilihat dari kejauhan.

"See? Case closed. Mendingan kita cepetan susulin Devan daripada dia mikir yang enggak-enggak."

Tidak butuh basa-basi dari Stella, ia tak butuh jawaban lama dari Hyunjae dan berjalan kembali ke arah Gramedia. Sementara cowok yang ia tinggalkan hanya mengembuskan napas keras.

Ternyata keras kepala Stella semakin hari semakin saja keras. Hari-hari untuk melunakkan singa betina pun akan jadi sulit bagi Hyunjae, meskipun cowok itu memegang salah satu rahasia terbesar Stella yakni penyakit yang diidap oleh gadia itu dari orang lain.

Setelahnya, Stella membayar sejumlah buku yang dibeli Devan dan mereka memutuskan untuk makan lebih dulu. Tenang saja, kali ini Hyunjae terang-terangan bilang kalau dia yang bakalan traktir dan menolak adanya penolakan dari kakak beradik itu.

Tidak etis juga Stella berteriak di sana karena suasana mall semakin lama semakin ramai, jadi terpaksa Stella mengiyakan dan menambah list hutang budi pada cowok menyebalkan itu.

Mereka tiba di salah satu restoran yang tempatnya agak ramai. Devan lagi-lagi terkagum karena ia tak pernah datang ke restoran mahal yang mereka datangi.

Devan memesan makanan yang tidak pedas, namun harganya sedikit mahal sehingga ia merasa tidak enak.

"Gak pa-pa, asal memang itu buat kamu bisa makan ya pesen aja," kata Hyunjae begitu saat melihat raut wajah tidak enak Devan yang menatapnya.

Sementara Stella memesan sebuah makanan paling murah di antara menu makanan berat lainnya. Sebetulnya, ia sedikit merasa tidak enak dengan DPJP-nya tapi ia harus menghargai traktiran orang lain dan sadar diri.

Hyunjae sebenarnya menawarkan Stella pesan saja apapun tanpa melihat harga, namun Stella bilang dia hanya ingin makanan yang ditunjuknya sehingga Hyunjae tidak bisa memaksa lagi.

Hanya butuh 10 menit saja, makanan pesanan mereka sudah diantarkan.

Tidak ada percakapan yang intens di antara ketiganya. Hanya sesekali Devan menunjukkan reaksi kagum dengan makanan yang ia makan. Yah, makanan mahal tapi tidak memperburuk penyakit Devan yang mirip dari segi makanan yang harus dihindari. Sesekali tidak masalah asalkan tidak sering.

Cara makan Hyunjae tentu berbeda dari Stella dan Devan. Cowok itu makan dengan minim etiket ala orang kaya tapi masih terlihat elegan. Semakin membuat Stella sadar bahwa tembok tinggi di antara keduanya sudah terbentuk tanpa ia harus repot-repot membangun yang lebih kokoh.

Selesai makan, Hyunjae bilang dia ingin mampir dulu ke suatu toko. Sebagai penumpang di mobil Younghoon yang disupiri Hyunjae, Stella dan Devan nurut-nurut aja sih.

Namun, Stella merasa pandangannya perlahan mengabur ketika berada di basement parkiran mall. Semakin memburuk, ditambah kepalanya juga ikutan pusing dan mimisannya lagi-lagi kambuh di saat yang tidak tepat.

Tangan yang gemetaran membuka pintu mobil dengan tenaga yang melemah. Beberapa detik kemudian Stella ambruk tanpa ada yang sadar dengan gelagatnya. Devan sedari tadi fokus ke ponselnya, juga Hyunjae yang mendapat panggilan dari salah seorang kenalan Emma.

"Stella!"

"Kakak!"

Darahnya semakin keluar dengan deras. Hyunjae segera membawa Stella masuk ke mobil, kemudian membawa mobil tersebut segera keluar dan mencari klinik terdekat. Agak percuma kalau dibawa ke dalam kalau tempat pertolongan pertama juga jauh dari parkiran.

Devan shock dan sangat khawatir dengan keadaan kakaknya yang tidak pernah pingsan di depannya. Bahkan ia sendiri tidak pernah membayangkan kalau sang kakak sampai mimisan sebanyak 2 kali. Sesekali tangan Devan menepuk pipi kakaknya dan memanggilnya agar Stella segera bangun dari pingsannya.

Puji Tuhan, Hyunjae menemukan klinik rawat inap terdekat dari mall dan memanggilkan petugas karena status kegawatdarurat. Ia tidak berpikir ke rumah sakit dulu karena takut Stella marah padanya.

Petugas yang mendatangi mereka menanyakan kondisi awal dan penyebab, dan Hyunjae maupun Devan menjawab seadanya. Kini, mereka harus menunggu dulu sampai dokter dan perawat selesai memeriksa kondisi gadis itu.

Drrrttt

"Ah, sialan. Waktunya ga tepat banget." Melihat nomor yang terpampang di layar ponselnya setelah dering keras terdengar, Hyunjae berujar malas.

Ia pamit ke Devan untuk keluar sebentar guna mengangkat telpon dari sang mama. Ia bisa menebak apa yang akan dikatakan Emma begitu Hyunjae menekan tombol menerima panggilan.

"Kirimin mama uang yang banyak cepetan!" seru Emma dari seberang sana.

"Sekali aja, Ma, jangan hubungin aku kalau cuman minta uang aja. Hutang mama bisa dibicarain sam papa, aku gak ada kewenangan. Bahkan, aku enggak pakai black card dari papa cuman karena semua saldonya habis dipakai buat mama aja."

Hyunjae begitu lelah dengan tindakan sang mama yang setiap minggu selalu menanyakan perihal uang yang dimiliki oleh cowok itu masih tersisa atau tidak.

Bukan masalah dia pelit sebagai seorang anak, bukan itu poin yang maksud ia sampaikan.

Sampai kapan, hah? Hyunjae lelah karena sang mama yang selalu asik menghabiskan uang dengan meninggalkan banyak hutang, sementara sang papa yang seolah menjadi pekerja keras hingga tak mampu untuk memberikan waktu untuknya dengan baik. Ketika dulu liburan bersama saja yang tetap dipikirkan adalah masalah pekerjaan.

Suara keras yang mengisi seluruh telinganya dari lawan bicaranya tidak ingin mendengar ocehan dari Hyunjae, sang anak, ia hanya mau uang saja.

"Bergunalah sedikit untuk mama. Capek mama urus kamu, kenapa kamu sekarang jadi kurang ajar begini!" Napas Emma- sang mama begitu terengah-engah, "Pokoknya kirimkan uang yang tersisa. Mama butuh lima milyar sesegera mungkin. Jangan membantah."

"Tapi, Ma-"

Tak sampai Hyunjae kembali menolak, tetapi Emma sudah memutuskan sambungan secara sepihak. Benar hari yang tidak baik untuknya hari ini.

Di depan klinik, Hyunjae didatangi oleh Devan yang mengabarkan kalau Stella sudah siuman pasca pingsan. Dan Hyunjae melupakan sejenak masalah keluarganya dan kembali fokus pada Stella yang tampak kebingungan.

"Syukur deh lo udah bangun," kata Hyunjae dengan tangan ingin mengelus puncak kepala gadis itu.

Namun, tanganya tertahan di tempat. Ia tak ingin membuat Stella marah karena ia menyentuh tanpa seizin gadis itu. Stella kan enggan untuk physycal touch dalam bentuk apapun.

"Tadi lo pingsan dan mimisan, jadi kita bawa ke klinik terdekat karena khawatir."

Devan menggenggam tangan kakaknya begitu erat. "Kakak ... kalau sakit bilang ke aku, ya? Jangan sakit, kita belum bahagia bareng-bareng lepas dari tekanan siapapun." Anak lelaki itu merujuk pada orang tua mereka.

Rasanya tidak adil kalau sampai membiarkan Devan dibuat bersedih. Jadi, Stella kembali berbohong.

"Maafin kakak, ya. Tapi, kakak sakit gini bukan karena penyakit kok. Ini murni karena semester kemarin rasanya di push buat kejar ketertinggalan. Kakak fine, Devan. Do you trust me, right?"

Juga, dokter di klinik ini tidak akan menyuruhnya cek darah di laboratorium lagi, kan? Jangan sampai Devan jadi tau penyakitnya yang ia sembunyikan untuk diri sendiri. Cukup Hyunjae yang entah darimana tau tentang penyakitnya saja.

Devan menggenggam tangan Stella dengan sangat erat. Ia sempat berpikir untuk membujuk kakaknya cuti kuliah selama satu semester, tapi rasa-rasanya egois tanpa menimbang keputusan sang kakak terlebih dahulu.

Apakah Stella nanti akan cuti-mengingat sakit kankernya sudah stadium tiga, atau tetap berkuliah seperti biasa?

"Sudah, sudah. Mendingan kita pulang dulu aja," kata Stella sambil puk-puk puncak kepala Devan. "Devan juga harus minum obat, kan? Tadi obatnya ada yang kelupaan dibawa ya."

"Dokter bilang kondisi lo belum pulih sepenuhnya. Nunggu di observasi selama satu jam ke depan. Mendingan lo tiduran dulu lagi aja deh," kata Hyunjae.

"No, no, no. Gue udah ngerasa sehat lagi kok, Je. Gue pengin pulang ya, please?"

Kali ini Stella rela memohon pada cowok itu demi menghindari tempat ini. Hyunjae menghela napas panjang dan menuruti perkataan Stella meski ada pertentangan sedikit dengan Devan. Cowok itu mendatangi perawat dan dokter klinik untuk meminta Stella selaku pasien bisa pulang atas permintaannya sendiri.

Karena kehendak pasien, dokter hanya bisa meresepkan obat dan menyuruh Hyunjae untuk membawa Stella ke rumah sakit apabila di tengah jalan kondisinya memburuk daripada sekarang.

Waktu sudah terbuang banyak hari ini, Stella pikir begitu. Ia hanya ingin istirahat saja di rumah sepanjang waktu.

Pikiran kalau ia akan tinggal lama di rumah membuatnya lebih baik saat bersama sang adik pada liburan kali ini ternyata salah besar. Besok, ia akan kembali kekostnya saja dan meninggalkan Devan lagi untuk waktu yang lama. Bukan salah Devan, tapi salah ia sendiri tidak berpikir panjang kalau suatu saat penyakitnya bisa ketahuan orang rumah tanpa sengaja.

***

Hi, I'm back.
Siapa yang kangen Hyunjae-Stella,
Si Couple banyak gelud ini wkwkwk
Aku mulai coba bangkit lagi setelah writer block dalam waktu yang sangat lama.
Semoga kalian masih betah, ya!

Note : Hyunjae pake mobil hasil sewa ya, bukan punya Younghoon

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro