Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Inner Beauty

Bagi Asmaraloka, cinta selalu membutuhkan alasan walau awalnya alasan mencintai seseorang itu tak disadari.

Dia juga pernah menyukai seseorang yang awalnya dirinya rasa jatuh cinta tanpa alasan, tetapi saat ditelaah lebih dalam, perasaan cintanya pada sosok itu adalah karena cowok itu tampak pintar dan tampan, serta humoris. Itu kasus percintaannya saat awal merasakan jatuh cinta, saat masa pubertas di sekolah menengah pertama, dan sebatas cinta dalam diam.

Pun sama. Saat dirinya jatuh cinta pada Matteo, dia terpesona dengan sikap baik Matteo yang menolongnya di awal perjumpaan, semakin tersihir dengan sikap Matteo yang friendly, lalu Matteo juga tampan, dan berbrewok tipis. Dulu, dia lebih suka pada lelaki yang berbrewok tipis, bagi kaca matanya, itu lakik banget dan terkesan maco. Lantas berpacaran dengan Matteo, tergila-gila dengan Matteo. Itu adalah pertama dan terakhirnya berpacaran dengan lelaki sebelum menikah.

Dulu, bisa berpacaran dengan Matteo adalah suatu kebanggan baginya--secara, Matteo itu idola para cewek di kampusnya. Matteo amat perhatian. Matteo selalu mencoba mengerti dan memahaminya. Dia merasa amat spesial, hingga akhirnya dirinya tersihir dengan hal yang paling gila yaitu ketika akhirnya menikah dengan Alzam dan bersekongkol membuat ulah agar Alzam mentalaknya.

Dulu, dia begitu amat bangga menggandeng tangan Matteo saat kencan, memeluk tubuh Matteo yang beraroma citrus saat berboncengan dengan motor gedenya, tertawa renyah bersama Matteo di banyak momen, hingga berjalan-jalan di sekitaran Malioboro dan mampir ke warung gudeg langganan Matteo.

Namun sekarang, dia malu akan segala hal itu dengan gaya hidup cukup bebas yang dirinya lalui. Padahal dulu dirinya pernah mesantren walau sebentar, tapi tak ada bekasnya sedikitpun, dia melepas hijabnya, mengenakan pakaian cukup terbuka, bahkan kadang berkata kasar ke Papa-nya. Dia memang amat urakan. Pantas saja saat awal-awal menikah dengan Alzam dirinya mendapat banyak gunjingan tetangga perihal tak pantas menjadi istri Alzam, hingga bahkan saat dirinya memutuskan kembali berhijab, gunjingan itu tetap datang. Katanya tetangga; palingan pake hijab karena terpaksa, cuman matut-matut Nak Alzam.

Dada Asmaraloka sesak mendapat gunjingan itu. Hatinya patah. Tapi dia tahu diri bahwa apa yang digunjingkan tetangga memang tak seutuhnya salah. Dia juga sadar bahwa dirinya memang tidaklah pantas untuk lelaki sebaik Alzam.

"Kangmas ...," sebut Asmaraloka mendapati suaminya itu malah tetap bergeming, padahal dirinya sudah amat penasaran perkara alasan bisa mencintainya.

Kalau Asmaraloka sendiri, dia jatuh hati ke Alzam karena lelaki itu amat penyabar menghadapi polahnya yang naudzubillah banget, lalu semakin menyukai Alzam saat lelaki itu menjadi guru mengajinya, menjadikan kian yakin bahwa Alzam adalah pria terbaik untuk menjadi imam hidupnya yang akan membimbingnya menjadi pribadi lebih baik dan lebih mendekat ke arah-Nya, seperti impian Sang Papa.

"Karena kamu istriku. Aku jelaslah mencintai kamu," jawab Alzam seraya menutupnya dengan senyuman yang menyejukkan.

Namun, Asmaraloka tidak puas dengan model jawaban itu. Dia menimpali senyuman itu dengan senyuman hambar, hingga Alzam kembali mengimbuhkan penjelasan lain.

"Nanti setelah ziarah dan sowan-sowan selesai, Kangmas jelasin rinci kenapa Kangmas jatuh cinta ke kamu, ya?"

Kangmas-nya itu memang selalu peka terhadapnya, Asmaraloka mengangguk seraya mengulum senyum senang mendengar nada bariton itu, sekalipun rasa cemas masih menggumpal dalam dada perkara apakah ada inner beauty dalam dirinya yang berhasil membuat Kangmas-nya jatuh cinta?

***

Alzam dan Asmaraloka berziarah dengan khidmat di makam Si Mbah Yai Najmuddin. Makam Mbah Yai berdampingan dengan makam istrinya dengan di belakang makam berdiri tegak sebuah pendopo kayu untuk para peziarah.

Angin berdesir. Harum bunga kamboja menyeruaki rongga hidung.

Usai membaca yasin dan tahlil, ditutup dengan doa, mereka berdua bersholawat dengan sholawat Ya Muhaimin Ya Salam. Ini adalah sholawat favorit Mbah Yai saat sugeng. Itulah kenapa di pendopo makam terdapat kaligrafi bertuliskan sholawat tersebut secara lengkap. Dan dulu saat Alzam nyantri di sini, saat berjamaah berziarah, sholawat Ya Muhaimin Ya Salam adalah penutup wajib dari ziarah mereka.

Seperti agenda, usai selesai berziarah, mereka berdua sowan-sowan ke ndalem hingga waktu dhuhur datang. Mereka berdua berjamaah di masjid El-Bayan, lantas bersiap-siap ke Majenang kota.

"Aku suka kamu karena kamu gemesin," canda Alzam di sela dirinya membawa Pajero-nya ke Majenang kota.

"Gemes?" sahut Asmaraloka yang tengah merapikan hijab nudenya yang pleyat-pleyot.

"Iya, kamu gemesin. Katanya kamu nggak suka ke aku, tapi diam-diam buatin tumis kangkung terasi kesukaanku," sahut Alzam seraya melirik ke arah Asmaraloka yang langsung menoleh ke arahnya, tersenyum malu mengingat momen jaim yang ada.

"Masakan kamu enak, Dek. Kapan kamu mau buatin Kangmas-mu ini tumis kangkung terasi lagi?"

"Besok ... di rumah .... "

"Oke. Besok kamu buatin aku menu spesial itu. Aku juga mau buatin kamu salad buah yang nggak kalah spesial."

"Oke ... Deal?" Kedua mata Asmaraloka berbinar cerah. Sebelah tangannya yang mengepal terulur untuk kode-kode fist bump.

"Iya. Deal." Sebelah tangan Alzam ikut mengepal, meninjukannya ke kepalan tangan Asmaraloka.

"Tapi jangan keasianan, ya?" imbuhnya, meledek. Langsung kedapatan dengkusan Asmaraloka, membuat tawa ringannya meledak.

"Jadi... gimana? Kok bisa ... cinta ... ke aku?" Begitu tawa suaminya reda, Asmaraloka gesit meluruskan topik.

Tidak langsung menjawab, Alzam justru bergeming sejenak sembari fokus menatap jalanan ramai di depan. Hingga akhirnya lukisan senyum singgah di bibir untuk mengawali kejujuran perihal alasan bisa jatuh cinta pada Asmaraloka.

"Aku cinta kamu setelah kita akhirnya bisa sama-sama mengupayakan. Kupikir, rasa cinta itu tumbuh berasal dari sebuah kekaguman, Dek."

"Kagum?" Kening Asmaraloka mengernyit. "Karena ... cantik?"

"Bukan karena kamu cantik, Dek. Jika aku suka kamu karena kamu cantik, pasti aku sudah cinta kamu sejak awal menikah atau bahkan sejak awal kita bertunangan, hingga pada akhirnya aku tak perlu lagi susah payah belajar mencintai kamu," jujur Alzam.

Dia mengingat momen pertama kali bertemu Asmaraloka di malam pertunangan. Gadis itu tampak cantik dan manis mengenakan blus tunik merah muda dengan rok brokat, hijabnya diselampirkan ke kepala dengan membiarkan poni rambutnya terlihat. Senyumannya amat menawan dengan gigi gingsul yang menyembul, walau kentara dipaksakan, tidak suka dengan momen istimewa itu. Jujur, dia terpesona dengan indahnya sosok Asmaraloka di mata telanjangnya, tetapi saat itu, Khumaira tetaplah sosok yang masih merajai kerajaan hatinya. Dia hanya terpesona akan indahnya ciptaan-Nya dalam diri Asmaraloka, layaknya lelaki umumnya yang akan berdecak kagum kala melihat gadis cantik atau kala layaknya perempuan pada umumnya yang berdecak terpesona akan ketampanan lelaki, sungguh hanya sebatas itu.

"Aku kagum sama kamu ketika kamu memutuskan mengaji bersama di setiap ba'da isha. Aku suka sama kamu saat kamu begitu giat merubah pribadi kamu jadi lebih baik perlahan-lahan. Aku terharu dengan kamu kala kamu memilih bersabar atas gunjingan tetangga yang tiada habisnya. Itulah sebabnya aku cinta sama kamu, hingga pada akhirnya aku mencintai segala apa yang ada pada diri kamu. Itulah jawabannya jika kamu bertanya perkara apa yang memicu aku cinta kamu. Adalah berawal dari sebuah kekaguman sama kamu. Kamu spesial untukku, Dek Asmara," jelas Alzam sembari fokus menyetir, menengok ke arah Asmaraloka dan meraih sebelah tangannya untuk dirinya genggam.

Terbawa kata demi kata kejujuran Alzam, air mata Asmaraloka luruh membasahi pipi. Dia terharu akan alasan Alzam mencintainya. Alasan yang menjadi sebuah pemicu terbentuknya cinta, hingga pada akhirnya mencintai apa ada yang ada.

Toh, dia juga paham benar, dari awal Alzam sudah belajar mencintainya, terus belajar mencintai dengan menyiramkan perhatian dan doa-doa terbaik untuk dirinya ini yang tengah meranggas. Terus belajar mencintai walau berkali-kali gagal karena sikapnya yang kian tak bisa dikendalikan bersama Matteo.

Alzam berjuang mati-matian untuk belajar mencintainya karena bagaimana pun dirinya sudahlah menjadi istri sahnya. Tetapi apa yang dirinya lakukan saat itu? Malah boro-boro belajar mencintai Alzam, justru memperkeruh keadaan dengan membencinya sedemikian dalam.

Tangis dalam diam Asmaraloka kian deras. Genggaman sebelah tangan Alzam kian erat. Dia menyesal akan banyak hal. Andai bisa mengulang waktu, dia ingin memperbaiki keadaan dengan langsung belajar mencintai Alzam kala di awal-awal menikah dulu. Dan tentunya ingin memperbaiki keadaan saat di Budapest. Bulan madu di Hungaria itu berantakan karena keegoisannya, sampai-sampai mereka berdua menginap di kamar hotel secara terpisah.

Ah, mengenang bagaimana berbulan madu di Budapest yang berantakan, Asmaraloka jadi kepikiran ingin berbulan madu lagi. Maksudnya ingin melancong ke suatu tempat yang romantis, hanya berdua bersama Kangmas-nya. Mendadak dia ingin berbulan madu ke Kashmir saat musim dingin dengan bermain ski di Gulmarg. Menikmati bunga tulip bermekaran di musim yang hangat di Indira Gandhi Tulip Garden juga bagus. Atau bahkan mendayung perahu kayu di Danau Dal sembari menginap beberapa malam di sebuah penginapan yang terbuat dari kapal kayu besar di danau itu.

"Kangmas ...," ujar Asmaraloka, hendak mengatakan perihal ingin berbulan madu ke Kashmir yang ada di India. Tapi, aduh, kata lain yang hendak keluar dari mulutnya justru tertahan, perutnya berbunyi menyibak atensi Alzam.

"Laper .... " Akhirnya malah kata itu yang keluar dari mulutnya dengan wajah komuk yang masih berpipi basah akan air mata.

Mendengar itu, tawa ringan Alzam pecah. Sebelah tangannya beralih menjembel pipi Asmaraloka seraya berkata, "Ya Allah, aku lupa kalo kita belum makan siang. Pantesan aku juga laper. Kalo gitu kita mampir dulu ke Tenda Biru, di situ ayam bakar dan sambal ijonya enak banget, Dek."

__________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro