Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.5

TERGODA HANTU GANTENG 5
Oleh : Deary Romeesa

Thalysa Maharani

Seusai Maghrib Jakarta di malam kamis turun gerimis. Aku memakai payung plastik dari rumah, Ibu menyuruh beli obat nyamuk ke warung Mpok Ati. Jaraknya lima belas meter dari rumah, lebih masuk ke gang yang lebih gelap. Pohon beringin di seberang bergoyang mengikuti arah angin, tiba-tiba Zaer melayang dan berdiri tepat di depanku.

"Eh, Neng Lisa, mau ke mana nih? Abang temenin, ya!"

Masa bodolah. Aku tidak mau berurusan dengan hantu tengil ini. Ia berjalan mundur menghadapku, terlihat berpikir, mimikku cuek bebek.

"Ok, ok. Gimana kalo aku nawarin sesuatu yang akan bikin, Neng Lisa, suka? Tapi syaratnya kamu harus ngizinin aku berada di sekitarmu." Zaer tersenyum lebar, seolah isi kepalanya sangat brilian namun aku tetap tak menghiraukan.

Ia berkata demikian pasti karena Bapak sudah memindahkan enam pot mawar merah ke sekeliling kamarku, terutama di depan kaca jendela. Bapak percaya mawar merah bisa menangkal sihir-sihir dari orang yang mau menjahatiku. Di belakang rumah juga tumbuh bambu kuning, tanaman yang ditakuti makhluk halus.

Zaer bicara lagi dengan tidak sabaran, "Aku bakal kasih peringatan ke si tuyul buat jangan gangguin kamu lagi. Dia pasti nurut. Kamu liat sendiri, kan, buktinya? Aku punya kekuatan untuk melenyapkan hantu jelek mana pun yang mengganggu kekasihku."

Sekarang aku baru terusik, mataku menyipit sinis, "Siapa yang kamu maksud kekasih itu, wahai hantu ababil?" desisku, tidak takut ada tetangga lihat dan mengira aku gila karena wajahku terhalang payung.

"Ya, kamulah, Neng Lisa. Masa Sodako? Kan, dia kejauhan adanya di Jepang."

Aku menatap Zaer jijik.

"Heh, emangnya kamu siapa?" Aku pura-pura lupa namanya, ingatanku sangat tajam, "aku bahkan udah lupa namamu siapa!"

"Gilaaa ... Neng Lisa sadis amat, ya?" gumamnya menghadap kiri.

"Aku Zaer, hantu paling ganteng sekomplek." Zaer mengulurkan tangan untuk bersalaman, bersikap so cool. Heleh, nggak banget!

Bila dilihat secara fisik, Zaer juga seperti remaja 17 tahun dan asal kalian tahu saja, saat pertama kali mendengar namanya aku berpikir ia adalah jin yang menyerupai ikan Mujair. Tetapi, Bapak menyangkalnya dan memberitahu bahwa Zaer adalah hantu gentayangan. Bapak juga indigo, ada jin muslim yang sangat gagah perkasa dengan ukuran raksasa menjadi temannya. Bila jin itu berjaga di luar rumah, aku kadang mengintip keluar hanya bisa melihat betisnya yang mungkin tiga kali lebih besar dari kaki gajah. Pokoknya sangat besar. Namun, jika Bapak menyuruh jin tersebut untuk menjagaku ia selalu tidak mau dan kembali ke Bapak.

Aku menyambut uluran tangan Zaer, otak cerdikku berpikir licik, "Bener ya? Termasuk jangan ganggu pacarku lagi! Sekalian sama hantu gantung juga suruh jangan nampakkin dirinya lagi sama aku. Suruh ngaca aja!" cerocosku terlalu bersemangat. Kalau kesepakatannya gini kan nanti Alexo aman kalau main ke rumah. Namun, aku takkan mau menjadi temannya. Sudah kubilang kan? Aku ingin hidup normal.

Zaer menunduk menatap jabatan tangan kami, aku melepasnya segera dan memasang tampang datar. Ia berkedip-kedip kemudian tersenyum ceria dan terbang ke sana kemari dengan perasaan bahagia, bila dilihat dari raut mukanya.

"Yuhuui. Akhirnya jadian ama Neng Lisa!!!" teriaknya lantang.

Aku mencebikkan bibir. Jadi, tadi itu Zaer cuma modus? Hhh ... tak lagi-lagi aku akan kena jebakan batman dari hantu. Ah, dasar blekok samedin!

Aku pun meneruskan langkah dengan perasaan kesal. Aku betul-betul tidak berminat nengok ke belakang saat terdengar suara wanita yang memuja-muji Zaer dengan agresif, sampai hantu ABG itu menjerit ketakutan. Sehabis itu di sekitarku langsung senyap.

Dasar hantu ababil, masa dipanggil sesama setan malah kabur?

***

Delapan meter ke depan, dadaku mulai sesak karena aura panas yang ditimbulkan kuntilanak. Kata Bapak, setan berambut aduhai menyeramkan itu sering ngemil di kolam ternak lele punya Pak Tandi. Tetangga kami itu jadi sering berkeluh kesah karena hasil panennya berkurang hingga hanya kerugian yang diperoleh. Ya, selain ceker ayam, ikan kecil juga makanan favorite sang kunti.

Pertama kali melihat kuntilanak itu, aku sedang berbalik arah dari warung Mpok Ati, ia tengah diganggu oleh pocong. Entah inisiatif dari mana, kuambil pecahan bata di jalan dan menimpuk kepala setan yang berseragam mirip lemper itu. Selanjutnya aku memainkan gawai, pura-pura bicara sendiri.

Berusaha cuek selama perjalanan, akhirnya aku sampai di warung Mpok Ati.

"Mpoook, beliiiii ...." Ini sudah teriakkanku yang ketiga kali namun belum juga ada sambutan. Tidak ada yang berjaga di depan warung.

Setelah dua menit, baru kudengar langkah yang tergesa-gesa menghampiri, "Iya sebentar ... eh, Neng Nisa. Mau beli apa?"

Aku mendengus dalam hati, sama sekali tak suka ada yang salah mengucapkan namaku, "Thalysa, Mpok, bukan Nisa," koreksiku malas.

Detik berikutnya aku menoleh secepat kilat ke utara, ada suara kekanakkan yang menyeru namaku dengan menyebalkan.

"Kak Alysaaaa!"

Kakak, eh?

Sok akrab banget itu tuyul manggil-manggil aku kakak dengan sebutan manja dari orang tuaku; Alysa. Pasti ia sering nguping Ibu dan Bapak yang menyebutku demikian. Namun, ada yang aneh. Ngapain ia ngiket tangannya sendiri pake bambu kuning?

"Tolooong ...!" teriak tuyul kalut.

Kuperhatikan lebih jelas, ternyata ada orang yang berjalan di depannya: berbaju marun panjang dan mengenakan blangkon di kepala.

"Iya. Duh, maaf. Mpok udah pikun, Neng." Kudengar Mpok Ati menepuk dahinya, aku masih penasaran pada apa yang terjadi pada bocah porno itu.

"Neng, liat apaan, sih?"

"Itu ... aki-aki siapa ya, Mpok?" Aku memperhatikan wajah Mpok Ati kini. Tuyul dan orang aneh itu sudah masuk ke jalan sepi dan sempit.

"Mbah Jambrong maksudnya? Dia itu dukun sakti di sini, Neng. Rumahnya agak jauhan lagi dari sini, agak terpencil. Serem." Mpok Ati merinding sendiri.

Aku berpikir, jangan-jangan si kepala plontos temannya Zaer mau dipiara atau dijual lagi sama dukun itu? Hmmm. Bagus deh ia minggat dari pohon manggaku. Jadi, hantu tengil berkurang satu. Namun ....

"Mpok, aku beli obat nyamuk sama ...." Aku menyebutkan apa yang aku butuhkan ke Mpok Ati, lalu membayar dengan uang pas.

Hujan semakin lebat dan Mpok Ati buru-buru lagi masuk ke rumah, ada sinetron kesayangannya yang sedang tayang. Ck, ck, ck!

***

Ingin pulang ke rumah tetapi ada yang mengganjal hati. Jadi, aku dengan payung dan sekresek kecil belanjaan mencari di mana dukun itu tinggal. Suara langkahku mungkin akan samar terdengar karena derasnya air langit malam ini. Semoga saja tidak menyebabkan banjir besok.

Jujur, aku takut dan ngeri. Tidak pernah aku seberani ini sampai mengikuti insting untuk menolong tuyul yang ditawan dukun. Walau sering jahil, aku kasihan padanya. Mana ia tak punya mamih-papih, disuruh nyolong entar kalau kerja bareng dukun. Bukan berarti aku peduli! Aku cuma takut ia jadi pencuri di rumahku.

Hanya itu. Titik!

***

Setelah beberapa lama, aku sampai di sebuah rumah bergaya Belanda berwarna cokelat gelap, ada motor bebek di halamannya, memang agak jauh dari pemukiman. Entah pikiranku yang konyol atau apa, apakah kerja sambilan Mbah Jambrong saat siang mengumpulkan sampah? Di sekeliling bangunannya banyak sekali ceceran plastik bau busuk. Aku juga mencium bau anyir darah ... makhluk astral.

Sekarang aku sesak napas, antara takut dan pengap dan kedinginan. Kugigit bibir kuat-kuat. Harus tenang Tha! Peringatku sendiri agar tak panik.

"Bagaimana, Mbah? Tuyulnya sudah ada? Saya rela melakukan apa saja demi cepat kaya raya."

Samar-samar aku mendengar orang bercakap-cakap saat kutempelkan telinga ke tembok kayu. Sudah kututup payung karena repot, biar nanti kalau perlu akan kujadikan senjata. Aku juga ngintip dari jendela yang gordennya berkibar tertiup angin, Mbah Jambrong dan pelangganya duduk bersila berhadapan, aku hanya bisa melihat separuh dari wajah keduanya. Di meja yang menjadi sekat, ada lilin menyala, keranjang bunga warna-warni, kendi, dan baskom berisi air. Tembok kayunya ditutupi tirai hitam, banyak keris, belati, dan golok yang tergantung di atas. Pun lukisan-lukisan mistis juga terdapat di sana, aku tidak bisa melihatnya secara jelas karena sekarang embusan angin hanya meniup gorden secara perlahan. Jantungku yang kini berdetak menggila.

"Tenang saja, Jang! Tuyulnya sudah ada padaku. Kau sudah siapkan uangnya?"

Waduh, ternyata benar dugaanku! Daripada jadi budak buat nyolong, mending aku pakein kutang deh itu bocah porno lalu kusuruh ngamen di pinggir jalan.

"Ini, Mbah, jumlahnya seperti yang, Mbah, minta."

Mbah Jambrong tertawa puas.

Aku harus menggagalkan transaksi mereka!

***

Aku memutari rumah lewat samping, mencari ruang penyimpanan setan Mbah Jambrong. Kurasakan aura panas dan busuk di balik tembok kayu sebelah kanan. Sekarang aku berdiri ragu-ragu di depan pintu papan lapuk, tanganku terkepal karena bingung.

Buka, jangan?

Buka, jangan?

Buka, jangan?

Kreeek. Pintunya tidak dikunci! Antara senang dan kaget, aku melotot sambil menahan cengiran.

Benar! Di ruangan ini banyak setannya. Aku ingin kabur namun tuyul teman Zaer berlari kepadaku, memohon agar bambu kuning yang membelenggunya segera dilepaskan. Dengan gemetaran kubuka ikatannya, masih di ruangan itu. Namun, tiba-tiba ....

"GGRRRRH. Siapa yang mengganggu pekerjaan majikanku?"

Aku melirik siapa yang menggeram marah mengerikan lewat pundak tuyul. Ya saalaam! Ada genderuwo bermata merah menyala, berkulit hitam legam dengan rambut gimbal panjang datang ke sini. Detak jantungku seakan berhenti, tercengang bukan main.

Aku tersadar saat tangan tuyul menepuk tanganku keras-keras dan berteriak. Kurang ajar emang! Sudah ditolong malah nyiksa. Kuhentikan gerutuanku, tahu bahwa sekarang aku berada dalam bahaya. Aku terpaku, saat genderuwo itu melangkah mendekat, dipikiranku hanya terngiang kata-kata Zaer.

"Aku janji kalau kamu mau jadi teman apalagi pacarku, aku akan melindungi kamu dari banyaknya hantu jahat di kelilingmu."

"...aku punya kekuatan untuk melenyapkan hantu jelek mana pun yang mengganggu kekasihku."

"ZAAEEERRRR!" Aku menjerit histeris saat genderuwo itu berhasil menangkap dan mencekik leherku, detik berikutnya aku tidak bisa bernapas, dadaku panas sekali. Kakiku menendang-nendang udara sebagai perlawanan terakhir.

ARGGGH!

Bruuuukh!

Akan tetapi, aku dijatuhkan begitu saja saat merasa tulang leherku sepertinya akan remuk sebentar lagi setelah genderuwo itu meraung kesakitan. Aku terbatuk-batuk hebat, perih sekali.

Dari lantai keras aku terduduk, ekor mata melihat sebuah sulur berapi dan ternyata itu berasal dari bawah telapak tangan Zaer; air mukanya garang. Ekspresinya seperti lelaki dewasa yang sangat matang sedang murka karena sesuatu yang amat dikasihinya tengah disakiti. Sampai aku pun ngeri dan terpukau secara bersamaan. Zaer langsung datang saat aku memanggilnya.

Zaer mengubah tatapannya jadi lembut dan prihatin saat ia mengulurkan sulur berapi itu ke tanganku. Seperti sulap, sekarang aku ada di belakang tubuh Zaer. Napasku semakin memburu. Aku baru merasakan aura kejam Zaer sungguh menakutkan; lebih mengerikan dari setan mana pun yang pernah kulihat dan temui. Namun, aku merasa aman dan terharu atas kehadirannya.

"Gue ancurin kalian semua!"

Dalam sekejap, ruangan ini menjadi sangat gaduh.

Next part 6 oleh Nev Nov

***
Pembelian buku hubungi : 085811788865

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro