Bab. 16
TERGODA HANTU GANTENG
Zaer, saat cinta bergelora
Sudah hampir dua hari Thalysa nggak pulang. Om Adi bahkan bolak-balik ke tempatku hanya untuk mencari tahu, apakah aku mendengar kabar anak gadisnya. Tidak sampai hati melihatnya bersedih tapi apa daya, aku juga tidak tahu di mana Thalysa. Sudah kusebarkan berita pada semua makhluk gaib yang menjadi temanku, agar mereka membantuku mencari Thalysa.
Hal paling aneh adalah aku sama sekali tidak merasakan di mana keberadaan Thalysa. Ikatan batin yang biasanya menghubungkan kami seperti putus. Sungguh membuat kuatir.
Saat hujan yang selama hampir dua hari ini mengguyur kampung berhenti, ada sesuatu yang aneh terjadi. Kabut hitam pekat menggantung di atas langit. Bagi mata manusia hanya dianggap mendung pagi tapi bagiku, itu hal yang mencurigakan. Anehnya, di atas rumah Thalysa justru kepekatan terlihat mencolok dibanding tempat lain. Ehm....
"Bang, ini ulah siapa, ya? Apa mendung ini ada hubungannya sama kepergian Kak Alysa?" Tuyul bertanya pelan. Kekuatiran terpancar di matanya yang bulat bagai kelereng.
"Gue rasa, mendung ini kayak sihir hitam buat bikin celaka keluarga Alysa," ucap Gantung dari tempat duduknya. Dia yang biasanya cuek, hari ini terlihat tidak tenang.
"Kalian berdua ada benarnya, ilmu hitam yang sangat kuat buat keluarga Thalysa." Aku memejamkan mata, merasa jika tulangku mendadak seperti tak bertenaga. "Juga buat gue, mematikan kekuatan secara perlahan."
"Lo nggak apa-apa, Bang?" Tuyul bertanya cemas.
Aku mengangguk. Mencari posisi yang lebih nyaman di atas dahan dan mulai bersemedi untuk mengembalikan tenaga.
"Aah! Bang, ada serangan!" teriak Tuyul panik!
Entah dari mana asalnya, ada beberapa genderuwo, kuntilanak, pocong maupun makhluk gaib lainnya, datang mengelilingi rumah Thalysa. Aljabar menggertak marah tapi mereka tidak bergeming.
Kujulurkan sulur dan bergerak cepat menuju rumah Thalysa. Si gantung dan tuyul ikut terbang di belakangku. Kusibak kerumunan setan di depanku dengan percikan api dari lecutan sulur. Beberapa di antaranya menjerit dan menghilang.
Seperti ada komando tak terlihat, setan-setan itu menyerang ganas saat melihatku.
Sial!
Rupanya mereka memang sengaja disuruh menghabisiku.
"Ayo! Kita bermain anak-anak!" Aku berteriak dari atap rumah Thalysa dan memutar sulur di atas kepala. Kulecutkan dan aku meloncat di udara. Mengggunakan pijakan kepala salah satu genderuwo paling besar, aku menyerang siapa pun yang mendekatiku. Satu per satu kulihat mereka menghilang dan hangus karena api dari sulur. Alajabar ikut bertarung, dengan badannya yang besar dia menginjak siapa pun yang mendekatinya.
"Baaang! Mereka tambah banyaaak!" teriak tuyul sambil salto ke sana ke mari untuk membenturkan kepala-kepala pocong. Kulihat dari berbagai penjuru, rumah Thalysa dikepung.
Kuputar sulur dan menerapkan mantra untuk melindungi rumah Thalysa. Makhluk-makhluk itu hanya tertahan di halaman tanpa bisa masuk. Si gantung menggunakan tali yang terikat di lehernya untuk menjerat siapa pun yang berusaha mendekat dari pintu belakang.
Meludah ke tanah, aku meloncat tinggi ke udara. Menggumamkan mantra dan melecutkan sulur. Tidak lama kulihat dari tempatku Om Adi datang dengan obor besar di tangan. Bagus! Secepat kilat aku meluncur turun, mengambil obor dari tangan Om Adi dan melemparkannyq ke udara. Segera sulur kulecutkan, api dari obor membesar terkena lecutanku dan jatuh menjadi bola-bola panas. Seketika, semua makhluk yang tertimpa api, musnah menjadi abu.
Saat genderuwo terakhir aku musnahkan, sulurku meredup dan aku terjatuh ke tanah. Seluruh tenagaku seperti tersedot ke luar. Ada apa ini? Biasanya tak pernah begini.
"Zaer, kamu baik-baik saja?" Om Adi bergegas mendatangiku.
"Om, sepertinya semua ilmu hitam ini berasal dari Mbah Jambrong!" ujarku sambil menahan sakit di dada.
"Maksudmu dukun sesat itu? Apakah menurutmu dia ada hubungannya dengan hilangnya Alysa?"
Aku mengangguk. "Sepertinya, Om. Karena itu tolong selidiki."
Om Adi mengangguk, detik itu juga tubuhku terasa panas membara. Seperti ada bara yang dijejalkan dalam dadaku.
"Aaaaaah!" Tanpa sadar aku berteriak.
"Bang! Ada apa?"
Kudengar tuyul, gantung dan Om Adi berteriak ketakutan. Tubuhku rasanya seperti terbelah.
"Zaeeer!"
Aku terkesiap. Buru-buru duduk sambil menarik napas. Berusaha tenang.
"Zaer!"
Tak salah salah lagi, itu suara Thalysa. Mengerahkan seluruh tenaga dalam aku berkonsentrasi pada datangnya suara. Lamat-lamat aku melihat kegelapan dan tempat kekasihku berada.
"Zaaaaaer! Tolong!"
Aku membuka mata, bertatapan dengan Om Adi yang kuatir.
"Zaer menemukan Alysa, Om."
Tanpa menunggu jawaban, aku menghilang. Berputar sejenak dalam udara gelap dan muncul di sebuah hutan yang lebat.
Pemandangan yang terlihat sungguh membuat napas tersedot dari rongga. Thalysa di lempar ke sana ke mari bagaikan layangan oleh makhluk tinggi besar dan berapi? Banaspati?
"Sialaaaan!"
Tubuh Thalysa dilempar nyaris membentur pohon, untunglah sulurku bisa menjangkaunya. Dengan cepat kutarik Thalysa dan menjatuhkannya ke dalam pelukanku.
"Alysa Sayang, tunggu sebentar, ya. Aku bereskan Banaspati itu dulu. Maaf baru dateng, Mbah Jambrong menyulitkanku dengan setan-setan peliharaannya yang lain."
"Zaer, kamu datang! Aku takut!"
Tubuh Thalysa bergetar hebat. Aku mengusap dahinya yang berkeringat campur tetesan darah dan menyandarkannya ke pohon.
"Tetap di sini, aku segera kembali!"
Setelah memastikan Thalysa terlindungi, aku berdiri dengan sulur di tanganku. Menatap garang pada musuh di depanku.
"Zaeeer! Akhirnya datang juga. Makhluk hina yang mendamba manusia!" teriakan nyaring terdengar dari Banaspati yang kini berubah sosok menjadi pemuda yang pernah kulihat di atas rumah Thalysa.
Tidak memedulikan omongannya aku meloncat untuk menerjangnya. Secara bersamaan kulihat dia juga meloncat dan tubuh kami berbenturan di udara. Suara yang terdengar sungguh memekakkan telinga. Banaspati berubah menjadi bentuk aslinya. Tangannya mencengkeram kepalaku, rasanya sakit sekali. Dengan tenaga yang tersisa, kulontarkan mantra. Tepat mengenai bola matanya. Kami terpisah dan terjatuh di tanah.
"Hah! Masih punya tenaga kau rupanya?" Dia berteriak sambil memerkan giginya.
"Kenapa? Kau pikir aku akan mati oleh cecunguk-cecunguk yang sengaja kalian kirim ke rumah Alysa?"
"Hahaha ... itu ulah manusia laknat yang menggadaikan hidupnya demi kekayaan." Banaspati berjalan perlahan mendekatiku. "Zaer, kamu punya kekuatan. Apakah tidak terpikir untuk mendapatkan apa yang kamu mau dari memperbudak manusia?"
"Apa maksudmu?"
"Ayolah, Zaer. Tentu kamu tahu, bahwa manusia-manusia tak beriman akan sangat senang menghamba kita demi uang, kekayaan dan kejayaan!"
Aku meludah, merasa jijik dengan perkataannya. "Aku tidak peduli pada nasib manusia lain apalagi mereka yang memuja setan. Aku hanya peduli pada Thalysa."
"Gadis laknat itu lagi! Kalau dia mati tentu kau akan berubah pikiran, Zaer?"
Aku melihat adanya bahaya dari kata-katanya. Kulirik tempat Thalysa berada. Untunglah dia masih di sana meski sekarang sepertinya sedang berbaring. Kamu harus kuat, Sayang. Aku akan membawamu pulang sebentar lagi.
Benar dugaanku, Banaspati mengeluarkan jurus api ke arah Thalysa. Dengan cepat aku menghadap api yang yang berkobar dengan dadaku.
Ugh! Sakit sekali.
"Zaer, bodoh! Rela mengorbankan hidup demi manusia. Jika begitu, lebih baik kau mati sekalian!"
Dia mengaum marah, bergerak menerjangku. Aku tidak mengelak, dadaku sakit sekali. Terjangannya membuatku terpental.
"Ayo! Bangkit, Zaer. Hanya segitu kekuatanmu?"
Sambil merintih, aku bangkit. Tidak boleh kalah sekarang. Ada Thalysa yang harus aku lindungi. Menarik napas, mencoba memulihkan tenaga. Sulurku yang meredup perlahan menyala kembali. Saat sakit mereda, kulihat Banaspati mulai menyerang. Kali ini aku lebih siap. Kujuluskan sulurku dan meloncat di udara untuk menanti serangannya.
Kami berbenturan, tubuh Banaspati kuikat erat dengan sulur. Mencoba membakarnya tapi ternyata dia lebih hebat dari sangkaanku. Kami saling tarik menarik. Panas menyelimuti tubuh kami berdua. Lalu seperti tubuh disedot keluar, aku terlempar. Membentur pohon dan ambruk ke tanah. Suasana yang semua hitam pekat kini menjadi terang karena api yang berkobar dari pertempuran kami.
Aduuh, ada apa ini? Aku melihat tubuhku berubah. Menjadi lebih trasparan. Rasanya tubuh sakit sekali.
"Zaer, kamu baik-baik saja?"
Entah bagaimana, Thalysa kini ada di sampingku. Menggenggam tanganku.
"Alysa, sana pergi! Ayo, berlindung!"
Tanganku berusaha mengusirnya tapi dia bergeming. Meraih tubuhku yang lemah dalam pelukannya.
"Aku ingat sekarang, tentang janji kita enam tahun lalu. Aku tidak akan lari lagi. Mau melindungi Zaer."
Aku menatap wajah kekasihku yang berlinang air mata. Mengusap dengan ujung jari dan berbisik.
"Aku bahagia Alysa. Meski aku tidak ingat apa pun soal masa lalu kita." Aku mengusap bibirnya yang gemetar. "Sekarang menyingkirlah. Biarkan aku musnahkan makhluk itu."
Ugh! Sakit sekali dadaku. Rasanya lemas. Belum sempat aku bangun sudah terjatuh kembali. Ini bahay, ada Thalysa. Dia bisa terluka, aku harus kuat!
Terdengar tawa menyeramkan dari Banaspati. "Dasar kalian makhluk lemah! Kalian pikir bisa selamat hanya dengan cinta?"
"Jangan ganggu, Zaer." Thalysa merentangkan tangannya untuk melindungiku. Gadisku yang cantik.
"Pergilah, Thalysa," rintihku kuatir.
"Tidak, kita melawan bersama," ucapnya keras kepala.
Bansapati berlari ke arah kami. Gumpalan api memancar dari tangannya. Mengandalkan tenaga yang tidak seberapa, kuraih tubuh Thalysa dengan sulurku dan melemparkannya ke samping. Lalu bangkit dan menyongsong serangan Banaspati. Demi kekasihku, aku tidak akan mati semudah itu.
Sekali lagi kami berbenturan. Kali ini dengan seluruh tenaga kecengkeram tangannya yang berapi. Tidak peduli meski membakar tubuhku.
"Zaaaeeeer!" teriakan Thalysa terdengar menyayat.
Menggunakan sulur, kuikat tubuh Banaspati. Kudaki tubuhnya yang besar dan memasukkan ujung sulurku yang lain ke dalam lubang telinganya yang sebesar ember air. Teriakan kesakitan terdengar dari mulutnya. Api kembali meledak. Dengan sangat kuat, aku menarik tubuhnya ke angkasa. Dia menghantamku. Tubuhku sakit tapi aku tetap menariknya. Mencapai awan mendadak ada kilat menyambar. Dengan sekuat tenaga, kutarik sulurku dari dalam tubuhnya dan meraih kilat yang terpancar di langit. Berhasil, kilat terhubung dengan sulurku. Aku tahu ini bunuh diri tapi harus dilakukan demi Thalysa.
Aku mengikatkan diriku dengannya. Sulur membelit kami dan dengan kilat menyambar, kami hancur bersamaan. Banaspati melenguh, seiringin teriakannya tubuhnya hangus menjadi serpihan di udar. Aku sendiri? Merasa ringan, melayang turun dengan cepat dan jatuh ke tanah keras.
"Ya Allah, Zaer," teriakan Thalysa terdengar nyaring dan sedih saat berlari menghampiriku.
"Zaer, kenapa begini? Aku nggak bisa menyentuhmu," ucapnya gugup dengan air mata bercucuran. Kulihat banyak luka goresan di wajah dan tubuhnya.
Benar katanya, tubuhku menjadi trasparan. Tidak tersentuh.
"Thalysa yang cantik dan pemberani, kekasihku yang baik. Mungkin ini waktunya untuk kita berpisah," ucapku sambil tersenyum. Berusaha menyentuhnya tapi nggak bisa.
Aku tersenyum lemah. Sulurku tergeletak di samping tanpa cahaya. Hanya berupa akar pohon.
"Hai, Zaer. Satu janji yang kamu belum tepati."
"Pergi kencan ke gunung? Selera Thalysku sungguh luar biasa." Aku memejamkan mata. Merasa tubuhku secara perlahan terangkat ke udara. "Tolong jaga Gantung dan Tuyul. Mereka makhluk lemah tak berdaya, Alysa.
"Tidak, Zaer. Belum waktunya!"
Tanganku berusaha meraih tangan Thalysa tapi tidak bisa tersentuh. Aku tersenyum, menatap wajah cantiknya yang berlinang air mata. Memanjatkan doa pada yang maha kuasa agar kelak aku bisa menjumpainya lagi.
"Alysa, aku ...."
Suara jeritan Thalysa terdengar menggores hati. Tangannya bergerak liar berusaha meraih tubuhku yang tegak tak tersentuh di udara. Aku ingin turun dan memeluknya tapi tidak berdaya.
"Zaeeer!"
Itu adalah ucapan terakhir yang aku dengar sebelum merasakan jiwaku masuk dalam kegelapan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro