Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.13

TERGODA HANTU GANTENG 13
Oleh : Deary Romeesa

Jantungku berdentum-dentum seiring dengan aktivitas bibir Zaer di mulutku. Apa yang kami lakukan? Kutarik wajah shock, pipi hantu ababil yang selalu sepucat kapas itu jadi bersemu merah jambu. Manis sekali.

"kamu gak keberatan, kan, Sayang?"

Belum sempat kujawab, Zaer meraih tengkukku lagi dan bibir kami terasa ....

"Alysa, ada Alexo di luar!"

Kudengar Ibu mengetuk pintu dan berteriak membuat kami terperenjat. Zaer terlihat kesal namun pamit pergi dengan bahagia. Sedangkan aku menepuk-nepuk pipiku tak percaya. Aku, aku ...?

Ya Tuhan jangan sampai aku tergoda hantu ganteng seperti Zaer!

***

"Nak Alex, Om minta tolong kalau kamu memang serius mau sama Thalysa, jaga dia bener-bener! Jangan dibuat mabuk atau apa pun itu yang bisa merusaknya."

Bapak sedang menceramahi Alexo di ruang tamu setelah aku memenuhi panggilan ibu untuk menghampiri mereka. Sebetulnya aku malu sama orang tua, bodoh benar sampai tak bisa membedakan mana alkohol dan air biasa. Pun jadi bingung harus bagaimana menghadapi Alexo bila benar kata Ibu bahwa Zaer membawaku pulang; pasti hantu ababil menggunakan kemampuannya yang bisa menghilang. Aku sudah rapi mengenakan seragam SPG.

Dengan wajah menyesal Alexo menjawab, "Iya, Om, saya paham. Saya benar-benar minta maaf karena lalai menjaga Thalysa." Ia mengimbuhkan dengan sorot mata tertuju padaku, "Tapi tadi malam itu sangat kacau."

"Nak, Om tau Thalysa itu memang berbeda."

Alexo manggut-manggut. Ayah bangkit, membawa cangkir kopinya keluar usai menyuruhku mengobrol dengan Alexo.

"Gimana keadaan kamu?" Alexo mengamatiku yang duduk di kursi tiga dudukkan paling ujung, jauh darinya.

"Aku baik dan sangat ingat apa yang terjadi di rumah kamu," ketusku dengan wajah sinis. Entahlah, aku hanya merasa perlu meluapkan amarah pada seseorang.

"Kamu inget setan itu nyulik kamu dari aku?" Alexo mengacungkan alis, nada suaranya juga tak kalah jengkel.

Hatiku tersentak. Mungkin pemikiran Alexo hanya tahu Zaer membawaku menghilang secara harfiah. Namun, aku menyimpulkan hal lain, apa lagi karena ciuman kami barusan. Apa kalian mengerti? Aku tidak mau mengatakannya!

"Zaer nolong aku," kataku penuh penekanan.

"Menolong dari siapa? Justru setan itu mengancam akan membunuhku dan ayah!"

Dari ayahmu, Lex! "Itu karena ...."

"Thalysa, kamu ngeliat apa di rumahku?" Alexo memotong ujaranku, "selain setan temanmu."

Aku terdiam, membiarkan Alexo dengan wajah penasaran. Sepertinya ia bersih dari entah apa yang dilakukan Om Gio di masa lalu. Aku harus apa?

"Ada hantu wanita seumuranku yang mau nyekik Om Gio, ayah kamu juga miara jin pelindung dari hantu gentayangan itu."

Ekspresi Alexo jadi aneh, "Kenapa bisa begitu?"

"Mana aku tau, tanya aja sama ayah kamu." Aku masih ketus.

Alexo terpancing emosi lagi, "Terus gimana caranya setan itu bisa bawa kamu ngilang gitu aja? Aneh banget."

"Tanya aja sama setannya langsung." Ah, bosan.

"Kamu tuh kenapa sih, Tha? Salahku apa? Aku gak nyuruh kamu mabuk atau apa tapi tiba-tiba ngambek gak jelas." Alexo memandangku sengit. Yang ada dipikiranku sekarang hanya Zaer.

"Apa yang mau ayah kamu lakuin ke aku itu jahat!"

***

Saat kami berseteru, keributan terjadi di luar. Suara mesin gergaji listrik menggerung-gerung memekakkan telinga, kaca rumah pun sampai bergetar. Hal yang menjadi berkaitan denganku adalah orang-orang mengepung pohon beringin di seberang rumah. Mau apa mereka ke rumah Zaer CS?

"Pak, *ieu aya naon?" Aku ke samping Bapak yang ternyata ikut menonton. Alexo berdiri di sebelahku, sedikit menjaga jarak. Mungkin kesal dan kecewa karena berpikir aku hanya menjelakkan Om Gio yang sangat dipatuhi dan dipuji olehnya.

"Tukang gergaji mau robohin beringin tempat Zaer."

Aku kaget, lho, kok?

Mataku mengamati sekitar dan melihat Zaer berdiri di puncak dahan tertinggi, ternyata ia sedang menatapku. Pipiku terasa panas.

"Kamu kenapa?" sindir Alexo.

Aku diam menunduk. Sumpah, aku seperti tengah berselingkuh!

Aku tidak mau bicara dengan Alexo tetapi Bapak malah mengizinkanku berangkat kerja dengannya. Hmmm. Zaer pasti bisa mengatasi masalah ini sendiri, lagi pula ada Albert dan Zulkifli yang pasti siap membantunya mencegah para tukang itu.

Siapa sih otak dari rencana itu?

Sebelum meninggalkan kerumunan, aku mendengar bapak-bapak bogel berambut keriting pendek berbisik-bisik lewat telepon. Karena mencurigakan, aku meminta Alexo ikut menyimak. Banyak orang jadi kamuflase kami pasti tersamarkan.

"Siap, Pak, tukangnya udah dateng. Saya tinggal laporan beres."

"...."

"Baik, baik, Pak Giovano."

Aku dan Alexo berpandangan mendengar nama yang disebutkan oleh bapak-bapak tadi, sekarang ia sudah beranjak pergi. Kami berangkat kerja bersama dalam diam. Usai sampai di parkiran Mall Summarecon, Alexo meminta break atas hubungan kami. Aku menyanggupi meski resah.

***

"Hai!"

Sebelum memutar badan dan menjawab sapaan di belakangku, ada angin berembus melewati tengkuk, lalu aku mengernyit karena tidak ada orang.

"Maaf, aku tidak bermaksud untuk menakutimu," ujar suara yang sama dengan lembut.

Hantu itu mentampakkan wujudnya di hadapanku. Nyatanya aku memang tidak takut tetapi luar biasa terkejut sekarang. Ia kan ....

"Aku ingin bicara, Thalysa. Namaku Yuki.

"Ikuti aku!"

Aku membawa hantu berbaju tidur seksi itu ke toilet wanita dalam mall, shiftku sudah berakhir sepuluh menit lalu dan tadi sempat membeli burger dulu untuk Zaer. Ia tidak main ke sini, semoga baik-baik saja di sana. Hariku seakan melambat tanpa kehadirannya.

"Ada apa? Aku, eee, Zaer, kami mencarimu." Aku menunggu jawaban hantu gentayangan di depanku. Pintu toilet kukunci, tahu ia termasuk golongan hantu baik.

"Kau sudah lama bersamanya? Brian menghilang sejak enam tahun lalu," jawab Yuki.

"Kami saling mengenal belum lama, justru kami sedang mencari tahu kenapa dia bisa gentayangan."

Hantu itu menukas cepat, "Brian bukan hantu sepertiku." Air mukanya tidak terima aku menyebut Zaer gentayangan. Sepertinya ia sangat suka dan sayang pada hantu temanku itu.

"Ok. Kamu tahu apa yang terjadi padanya semasa hidup?"

Yuki bercerita, "Brian anak yang pandai bergaul dan pemberani. Ia menghilang dari rumah setelah melihatku dibunuh oleh si bangsat Giovano."

Aku menahan napas mendengarnya. Untuk beberapa detik kurasakan kesedihan yang mendalam lagi. Tidak boleh! Tidak bisa! Yuki harus menceritakan semua yang ia ketahui padaku. Jangan sampai ia jadi hantu galau dulu!

"Ke-kenapa Om Gio mem ...."

"Melihatmu yang bisa berkomunikasi dengan kaum kami di pesta itu dan bersama Brian membuatku penasaran sampai aku bertekat menemuimu. Tolong, Thalysa, bantu Brian mencari jati dirinya. Dia pasti mengingat kejadian enam tahun lalu bila kembali jadi manusia ...."

"Tapi ada apa dengan Om Gio?" Aku juga ingin rasa penasaranku terjawab.

"Brian pasti akan memberitahumu. Bantu kami."

Aku mengalah, kuembuskan napas dan berkata, "Aku akan berusaha semampuku, Yuki."

Kemudian Yuki memberi petunjuk sebelum pergi. Aku sangat berharap ini akan membantu. Ia memberitahukan alamat rumah Zaer di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Namun, dari sini jauh sekali aku tak punya uang lebih untuk ongkos taksi karena belum gajian. Jadi, kuputuskan untuk ke rumah sakit tempat ibunya bekerja sebagai dokter, bernama Sofhia Mega. Sungguh, aku tercenang saat Yuki mengatakan fakta yang satu itu. Otakku langsung berputar dan fokus ke separuh wajah wanita yang dulu sempat kulihat, usai menjenguk Alexo yang kecelakaan, rambutnya disanggul rapi dan memakai jas putih dokter. Pantas saja waktu itu aku merasa familiar, Zaer mirip sekali dengannya.

Ya Tuhan semoga dugaanku benar ....

***

Ini pemberhentian angkot terakhirku usai turun naik empat kali untuk sampai ke tujuan. Demi Zaer, temanku, penolongku, aku rela menyusahkan diri sendiri. Kini hanya berdoa semoga Bu Dokter Shofia sedang ada di rumah sakit ini.

"Mbak, maaf saya mau tanya, Bu Shofianya sudah datang?" Aku menghampiri resepsionist dengan gigih.

"Oh, bu dokter baru saja keluar sekitar setengah jam yang lalu. Adek, sudah buat janji untuk ketemu sebelumnya?"

Aku menggeleng. Sepertinya Bu Shofia dokter spesialis jadi harus atur jadwal untuk bertemu dengannya. Haduh, aku kan tidak sakit apa-apa. Sekarang harus bagaimana?

"Bu Shofia biasa datang jam berapa ya, Mbak?" Aku masih berusaha. Besok, akan mencoba ke sini lagi.

"Bu dokter biasa ke sini sesuai dengan jadwal praktiknya. Atau ketika melihat perkembangan anaknya yang sedang koma." Suster resepsionis itu tersenyum.

Aku menahan napas namun degupan jantung semakin kencang, informasi ini yang kuinginkan, buru-buru kutukas, "Oh, a-apa Brian Zaer dirawat di sini juga, Mbak? Bisa tunjukkan di mana kamarnya?"

"Tuan Brian dirawat di lantai 3 nomor 320 paviliun melati, Dek."

Aku berterima kasih sekali pada suster itu. Aku menyusut keringat dingin yang bercucuran di kening dan mengamankan detakkan jantungku yang bertalu-talu dengan tangan, melangkah ke lift dan masuk dengan orang lain yang sudah menunggu di depan pintu.

Ting

Dua ibu-ibu dan seorang remaja lelaki keluar dari dalam lift lantai 2, tinggal aku serta beberapa orang lagi menuju lantai tiga. Aku deg-deggan sekali, sungguh. Seorang pengunjung bahkan menawarkan botol minuman karena melihat wajah pucatku. Aku menolak sambil tersenyum. Akhirnya sampai juga di lantai 3.

Kuedarkan pandangan dan melangkah ke sebuah lorong, menengok kanan kiri mencari kamar rawat Zaer seperti yang disebutkan resepsionist tadi. Hingga aku menemukannya. Namun, hanya bisa memandangi pintu putih di depan.

No. 320
Paviliun Melati

Benarkah Zaer ada di dalam sana?

Napasku memburu saat memutar kenop pintu pelan, hal pertama yang tertangkap indera pendengarku adalah suara monitor. Aku terpejam saat memantapkan niat untuk masuk dan menutup pintu. Usai membuka kelopak mata lagi, aku tertegun.

Di ranjang kamar ini ditiduri oleh seorang pemuda yang menutup rapat matanya, berambut hitam, banyak sekali kabel yang menempel di kepala dan dada, mulut pun dipasangi selang infusan. Oh, sudah berapa lama ia koma? Enam tahun sejak menghilang seperti kata Yuki kah? Kakiku lemas saat hendak mendekat, kutatap wajah pria itu lekat-lekat.

Hiks ....

"Zaer, Zaer, Zaer ...." Kudekap telapak lebarnya dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu di sana. Aku tidak tega melihat tubuhnya harus ditunjang beragam alat medis untuk tetap bertahan.

Ia hangat.

Pasien ini betul hantu temanku! Pemuda koma ini seperti Zaer versi dewasa. Mungkin hanya selisih dua atau tiga tahun denganku. Arwahnya sudah mengembara lama sekali jika Zaer di sini tumbuh besar. Namun, apakah itu artinya peluang ia untuk hidup masih sangat mungkin?

Aku membersihkan air mata, menatap ia sekali lagi dan entah dorongan dari mana, kucium keningnya lama seraya merapalkan doa. Usai itu aku bergegas pergi, harus menemui Zaer, mengatakan semua ini, dan membawanya kemari.

Seperti di film-film, mungkin ia akan sadar lagi saat arwahnya menyatu dengan tubuh. Zaer harus masuk ke jasadnya yang terbaring koma di sini!

Zaer sudah waktunya kamu kembali ke dunia, meski ada kemungkinan tak akan mengingatku sebagai siapa-siapa. Aku rela ....

***

Aku menunggu angkot di pinggir jalan rumah sakit, tas kembung karena ada dua burger di dalamnya. Pikiranku penuh oleh kenyataan yang baru saja aku tahu tentang Zaer. Aku mondar-mandir karena merasa panik sampai pipiku terasa dijatuhi tetesan air hujan. Ingin rasanya aku memanggil Zaer keras-keras dan meminta untuk membawaku menghilang. Melankolis sekali, sekaligus bersyukur karena Zaer memang masih hidup.

Tetes air langit semakin banyak. Aku enggan berteduh, merayakan kenyataan tentang Zaer yang masih punya harapan. Sebentar lagi semua akan berakhir dan kembali normal. Aku tersenyum memandang langit. Wajah dan pakaian semakin basah. Namun, ada satu rinai hujan yang seperti jarum menyakiti bahuku dengan sadis. Seketika, pandanganku langsung buram lalu entah apa yang terjadi.

Semuanya menggelap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro