Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab. 12

Aku Zaer, hantu baik hati, ganteng dan tidak sombong.

Pesta di rumah si Xoxo memang luar biasa mewah. Nggak habis pikir aku, apa pekerjaan orang tuanya sampai punya harta begini banyak. Tamu-tamu undangan yang datang berdandan tak kalah glamour, semua berlomba-lomba memamerkan kekayaaan melalui penampilan, hebat manusia!

Aku meninggalkan Thalysa sendirian di atas. Harusnya tidak lama dan kuharap dia baik-baik saja. Rasa penasaranku oleh kehadiran hantu berbaju tidur bikin bingung. Bagaimana mungkin dia mengenalku? Koq bisa? Di mana kami berkenalan saat masih sama-sama hidup.

Aku amati keadaan pesta dari tempatku berdiri. Pohon paling tinggi yang ditanam di halaman. Suara musik bercampur dengan gelak tawa. Pikiranku mengembara pada Alysa, apakah dia juga menginginkan semua kemewahan ini? Apakah dia juga berpikir untuk mengajakku ke pesta? Bukankah itu tidak mungkin mengingat keadaanku? Di satu sisi aku ingin dekat Alysa tapi di sisi lain merasa keadaanku nggak memungkinkan untuk bersamanya. Ah, aku memang stress.

Di sisi lain kolam akhirnya aku melihatnya, si hantu sexy.

"Oii, Mbak. Tunggu gue!"

Aku berteriak dan menghilang. Menjejakkan diri tepat di hadapannya. Untuk sesat kulihat wajahnya seperti kaget.

"Mbak, gue pingin bicara."

"Brian, kamu ngapain masih di sini. Cepat pergi, di sini berbahaya!" serunya panik. Dia meremas-remas tangan dan wajahnya menoleh ke kanan kiri dengan cemas.

"Mbak, ada apa sih? Apa kita dulu pernah kenal?"

Hantu itu menggeleng cepat. Matanya seperti menyiratkan ketakutan. Aku jadi makin heran.

"Brian, apa pun yang terjadi, pergilah. Aku nggak mau kamu terluka ke dua kali karena aku. Kamu anak baik, Brian."

What? Ada apa, koq aku makin bingung. Belum tuntas keherananku, kami dikejutkan dengan sesosok makhluk yang menampakkan diri di depan kami. Jin penunggu bapaknya si Xoxo.

"Hei, Jalang! Ngapaian kamu masih di sini, enyah sekarang!" aumnya marah.

Aku melotot, sungguh keterlaluan si jelek ini. Aku bilang jelek karena dengan kepala botak, wajah merah penuh bopeng dan bau busuk yang menguar dari badannya.

"Lo, kagak usah ikut campur! Ini urusan gue sama dia," selaku nggak senang.

"Ini rumahku!" ucap si Jin nggak mau kalah.

"Memang, tapi gue tamu. Emang lo nggak diajarin buat menghormati tamu?" kataku tanpa berpikir.

Kulihat jin bloon itu seperti bingung mendengar kata-kataku. Syukurin, siapa suruh main perintah sama Zaer.

"Mbak, ayo. Kita pergi dari sini, cari tempat yang enak buat ngobrol," ajakku pada si hantu sexy. Namun anehnya dia menggeleng.

"Dasar sableng! Main-main sama akuuu!"

Aku meloncat saat si jin burik itu menubrukku. Sial, pemarah amat ini makhluk. Mbak hantu sexy menghilang entah kemana. Saat aku lengah sebuah bogem diarahkan padaku dan mengenai sisi kepala, membuatku terhuyung kesakitan.

"Pergi nggak lo, sekarang!" usir jin burik dengan senyum pongah.

Duuh, rasanya sakit kepalaku tapi dia salah kalau mikir aku menyerah karena pukulan tak seberapa. Dengan geram kuulurkan sulurku, percikan apinya membuat jin burik terkaget.

"Lo pikir, lo tuh siapa? Berani nyentuh gue sembarangan!"

Dengan geram kuterjang dia hingga terpental menembus dinding. Kami bergumul di luar pagar. Badannya makin lama makin membesar karena rasa marah dan pertarungan. Dia salah kalau berpikir akan bisa mengalahkanku semudah membalik telapak tangan.

Kutekel kakinya menggunakan kaki kanan. Saat dia melompat untuk menghindar, aku meloncat dan memukul perutnya. Kerasnya pukulanku membuatnya terhuyung. Menggunakan kesempatan kuincar kepalanya. Pukulan pertama dia mengelak, pukulan kedua mengenai telingannya dan saat dia meringis kulecutkan sulurku. Percikan pertama mengenai matanya, dia berteriak kesakitan. Kuikat tubuhnya dan kubawa dia melayang ke atap rumah. Dengan mantap kupaku dia di sana. Apa pun yang terjadi dia tidak akan bisa lepas hingga matahari terbit.

"Lepaskan aku! Lepaskaaaaaan!"

Aku berdiri sambil meringis melihatnya marah dan menggeliat-geliat. Lucu sekali saat tubuhnya menciut dan sekarang hanya seukuran tuyul. Dasar jin penipu, badan digede-gedein.

"Zaer ...."

Suara Thalysa yang lemah memanggilku. Kekasihku membutuhkanku.

Tubuhku menghilang di udara dan muncul di tempat Thalysa berada. Kegeraman melanda saat melihat Thalysa tergolek di atas sofa dengan tangan si tua Bangka, bapaknya Alexo nyaris menyentuhnya.

Kusentakkan tubuhnya hingga terjengkang. Kulihat dia kebingungan karena tidak bisa melihatku.

"Si-siapa di situ? Berani-beraninya memasuki rumahku?" acamnya tergagap. Matanya mengawasi dinding kosong dengan liar.

Aku berjalan pelan menghampiri Thalysa. Memeriksa dahi dan tubuhnya, untunglah dia baik-baik saja.

"Ayaah, lagi ngapain di situ?"

Alexo muncul dan melihat ayahnya yang terduduk di lantai dengan heran.

"Ada makhluk halus yang membuat Ayah nyaris terluka."

Sial, dia berbohong. Dasar tua bangka nggak tahu diri!

Alexo melongo dan matanya terpaku pada Thalysa yang tergolek tak sadar di atas sofa. Dia bergegas menghampiri Thalysa tapi aku lebih cepat. Sekali jentik kali ini dia yang kubuat terjengkang dan menjerit. Huft! Laki-laki tapi lemah.

"Alexo, kamu nggak apa-apa?" Ayahnya merangkak dan menghampiri Alexo. Meraba-raba wajah anaknya.

"Dasat hantu keparat! Tunjukkan mukamu! Biar aku bisa hajar. Mana jin penunggu rumah, saat begini malah tidak ada," teriak sang Ayah.

Aku tertawa mendengar rentetan omelannya. Dia pikir jin burik itu akan sanggup melawanku.

"Thalysa sayang, bangun," rintih Alexo dari tempatnya.

"Jangan sebut-sebut gadis itu. Apa kamu nggak lihat jika dia dilindungi setan? Apa kamu nggak mikir jika gadis berteman dengan setan maka dia tidak patut lagi dijadikan teman!" teriak laki-laki tua itu pada anaknya.

Ini sudah keterlaluan, dia yang punya pikiran buruk ingin menjamah Thalysa tapi mulutnya kotor menjelekkan Thalysa. Kusambar botol di samping sofa dan menghantamkannya ke dinding.

Ke dua laki-laki di depanku menjerit ketakutan. Dengan cepat aku bergerak ke dinding dan menulis menggunakan cairan yang meleleh dari dalam botol.

"MATI KALIAN JIKA BERANI MENYENTUH THALYSA!"

Kulihat ke duanya terperangah saat tulisanku tercetak di dinding. Dengan hati-hati kuangkat tubuh Thalysa.

"Zaer, pusing kepala." Thalysa mengigau.

"Iya, Sayang. Tahan ya, kita pulang sekarang." Kuangkat tubuh Thalysa, Alexo dan bapaknya menjerit. Mereka pasti melihat tubuh Thalysa melayang di udara. Kubungkus tubuh kami dengan matra dan dengan sekali sentak kami menghilang di udara.

****
Thalysa belum bangun dari tidurnya, padahal matahari sudah nyaris di atas kepala. Gantung dan Tuyul bolak-balik mengintip ke kamarnya tapi belum ada tanda-tanda dia bangun. Aku jadi cemas.

Semalam, sewaktu aku membawanya pulang sempat kulihat Om Adi marah. Bukan padaku tapi pada Thalysa yang tidak menjaga diri. Bagaimana mungkin dia membuat dirinya sendiri mabuk. Kekasihku yang malang, dalam keadaan teler masih menerima omelan ayah dan ibunya.

"Bang, sepertinya Kak Alysa dah bangun," ucap Tuyul yang tiba-tiba sudah ada di sampingku.

"Apakah dia baik-baik saja?" tanyaku tanpa menoleh

"Iya, agak pucat tapi baik. Abang nggak kesana?"

"Tunggu dulu." Mataku mengawasi langit yang kembali menghitam karena kabut aneh. Bagi orang-orang mungkin terlihat mendung tapi bagiku ini bencana.

Dari tempatku duduk kulihat dua manusia menghampiri pohon kami. Dua manusia pemberani karena jarang sekali yang mau main kemari, mereka tahunya pohon ini berhantu.

"Kang, ini kan pohon berhantu," ucap salah seorang dari mereka yang bertopi hitam.
Kan, kubilang juga apa.

"Iyaa, tapi biasa mereka nggak ganggu. Hantu baik atuh," jawab laki-laki yang lebih pendek.

"Yee, Akang gimana. Mana ada hantu baik? Emangnya Kang Mahdi nggak dengar desas-desus, ya?"

"Apa itu?"

Si topi hitam mendekatkan mulutnya pada kepala laki-laki bernama Mahdi.

"Dengar-dengar banyak kasus kesurupan dan saat kami tanya sama Mbah Jambrong si dukun sakti, itu kerjaan hantu penunggu beringin ini."

"Trus?"

"Mbah Jambrong bilang, kalau mau kampung kita aman. Beringin ini harus ditebang."

Secara serentak keduanya mendongak ke atas. Ingin rasanya kugetok kepala mereka tapi aku menahan diri. Tanpa kutahu, si tuyul mengambil dahan kecil dan melemparkannya ke bawah. Tepat mengenai kepala meraka. Sontak keduanya menjerit dan berlari tunggang langgang.

"Bang, kalau beringin ini ditebang gimana kita?" tanya tuyul galau.

"Biar saja kalau mereka bisa. Mereka pikir mudah apa menyingkirkan rumah gue?"

Aku berdiri di tempatku dan menatap tuyul yang masih kebingungan.

"Gue mau lihat Thalysa dulu!"

Tanpa menunggu jawaban tuyul, aku menghilang di udara dan muncul di samping kamar Thalysa. Masih sepi, tidak ada tanda-tanda kehadiran si pemilik kamar. Kuketuk jendelanya perlahan dan tak berapa lama, jendela terbuka. Menampakkan Thalysa dengan wajah pucat dan rambut yang dikuncir ke atas.

"Zaer."

"Bagaimana, Non? Sudah baikan?"

Dia mengangguk, ada rona merah di pipinya yang putih. Oh Tuhan, jantungku seperti berlompatan keluar karena senyumnya.

"Bapak marah, Zaer."

Aku mengangguk. "Iya, marah karena kuatir. Untung aku datang tepat waktu. Kalau tidak, entah apa yang akan dilakukan si tua bangka itu padamu."

Dahi Thalysa mengernyit. "Om Gio?"

"Iya, tangan kotornya nyaris menjamahmu."

Thalysa menampakkan wajah mual.

"Aku takut sama dia, sama jib penunggunya dan kudengar dia menelepon Mbah Jambrong."

Aku memaki dalam hati. Sungguh hebat, manusia jahat satu bertemu dengan manusia jahat dua dan keduanya bersekongkol dengan setan.

"Apa semalam kamu mencari hantu sexy itu?"

Aku mengangguk. "Ada kesedihan mendalam di dirinya tapi aku nggak tahu apa. Aku akan mencari tahu lagi, kapan-kapan aku akan ke rumah Xoxountuk menyelidiki. Apa kamu membolehkan?"

Dia mengangguk. "Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, Zaer. Aku sudah tak peduli sama mereka. Orang-orang kaya itu, jahat. Alexo mungkin dia polos tapi Ayahnya tidak."

Thalysa menghela napas. Tanpa disangka tangannya terulur untuk membelai ringan rambutku.

"Rambutmu lucu, Zaer. Pirang," kikiknya malu-malu.

Aku meringis, sentuhan Thalysa di rambutku sungguh menyenangkan.

"Alysa, seandainya aku masih hidup. Suatu saat aku pasti menemukanmu kembali, tidak peduli ada di mana dirimu."

Thalysa termenung mendengar janjiku. Kuraih tangannya yang ada di kepalaku dan menggenggamnya.

"Tanganmu dingin," bisiknya parau.

"Iya, tanganmu hangat."

Tangan kami bertautan. Dengan kepala saling mendekat dan seperti ada sesuatu yang menggerakkan tanganku, kuusap pipinya. Kami bertatapan.

Tanpa disangka, bibir bertemu dalam ciuman perlahan yang manis. Bagi manusia biasa, ciuman hanya sekedar kontak fisik tapi bagiku, ini adalah segel atau tanda bahwa apa pun yang terjadi, aku akan selalu melindungi Thalysa. Kami saling memiliki.

****
Apakah Zaer bisa disebut Pelakor?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro