Bab.11
TERGODA HANTU GANTENG 11
Oleh : Deary Romeesa
Tidak ada pilihan. Kupikir, bila memang perkiraan Zaer benar adanya nanti, hubungan dengan Alexo harus menjadi tumbal untuk dosa seseorang di masa lalu. Di Jakarta, beradaptasi dengan lingkungan dan mengenal Alexo menjadikanku berpikir rasional. Ya, meski di palung hati terdalam masih mengharapkan berjodoh dengan anak konglomerat itu. Namun, kutekankan, masih banyak kumbang di taman.
Pun bila dilihat dari kejadian kemarin, Zaerlah yang lebih membutuhkan aku. Bukan Alexo. Walau perih dan sakit, aku hanya ingin menjadi orang berguna bukan sebagai perempuan yang bisa digandeng namun hanya untuk pajangan semata. Tekatku sudah bulat ingin mencari tahu tentang masa lalu Zaer.
***
Seharusnya aku sudah meninggalkan mall ini sekitar lima menit yang lalu tetapi tiba-tiba Alexo memohon agar aku jangan dulu pergi karena ia baru sampai. Padahal aku tak menyuruhnya datang. Ia mengajak makan di food court lantai empat. Di meja tempat duduk sudah ada jus melon, sepotong kue stoberi, dan dua gelas kopi yang diletakan berlawanan arah oleh pelayan.
"Ada apa, Lex?" Aku jengah. Sedari tadi ia hanya mengamatiku dengan mata onyxnya yang indah.
"Kamu berbeda, Tha," seloroh Alexo ambigu.
"Maksudmu?" Dia tahu aku indigo, atau mengira aku gila?
"Saat di rumah sakit dan setelahnya, sikapmu biasa-biasa saja. Gak menuntut agar diakui atau balas dendam dengan cara nyari sensasi ke media massa."
"Kamu punya hatiku, tapi tidak dengan harga diriku, Lex. Sekarang, terserah apa pun yang mau kamu lakukan. Aku hanya harus cukup melepaskan." Aku sadar diri. Toh, usia hubungan kami juga masih bisa dihitung pakai jari.
"Bukan gitu, Tha!" tegas Alexo dengan air muka mengeras. "Aku cuma mau mastiin apa selama ini kamu cuma pura-pura polos atau apa. Nyatanya kamu memang orang baik. Aku yakin sama kamu, Sayang." Ia meraih dan mendekap kedua telapak tanganku di atas meja marun kotak ini.
"Lex, ini rumit ...." Meski kadar kerumitan kami berbeda.
"Apanya yang rumit? Kita hanya perlu menjalani status ini seperti biasanya. Aku sama sekali tidak melupakan janjiku kepada orang tuamu."
Aku mengernyit, terlintas ide busuk dipikiran, seperti air keruh, aku bingung harus menjawab apa, "Aku bisa melihat hantu," cetusku.
Bila ia memang mau menerimaku, ia harus tahu bahwa pacarnya pernah nyaris sinting karena bisa melihat makhluk dari dunia astral.
Alexo seperti terkesiap, "Kamu berteman dengan mereka?"
"Ya, satu atau tiga. Hanya dekat satu hantu aja, sih," kataku berpikir.
Alexo mengembuskan napas, "Okay?" Ia melepas dekapan tangan, menyender di sandaran kursi, bersedekap, dan mengacungkan alis kanan. Sepertinya ingin aku bercerita lebih detail. Ia tidak percaya pada hal-hal seperti ini.
"Ingat waktu pertama kali kamu main ke rumah? Pas di jalan, kamu pernah nabrak hantu bunting, Lex."
Alexo mengubah raut wajahnya jadi datar usai mendengarku.
"Saat di rumah aku, kamu digangguin sama tuyul. Inget gak kenapa cangkir kopi kamu jadi berkali-kali lipat lebih berat waktu itu?"
Alexo menggeleng pelan. Ingatannya juga sangat bagus.
"Tangan hantu gantung yang nahan cangkir itu tetap di mejanya." Sekarang, bila mengingat peristiwa itu aku jadi ingin tertawa.
"Lalu, yang satu laginya setan apa?" Alexo mengubah posisi lagi, mencondongkan tubuh ke arahku, tatapannya menyelidik.
"Zaer, hantu paling hits di kalangan para cewek."
Terdengar suara Zaer yang selalu kepedean, ia kembali ke sampingku usai mengurus Nancy yang sesiangan ini selalu mengganggu dengan merusak tatanan rias wajahku. Kami baru berbaikkan tadi pagi. Tidak menyangka Noni Belanda itu mengikuti kami dan bikin hati jadi membencinya. Aku tidak suka ada yang mengusik jika sedang amat serius pakai make up!
"Namanya Zaer. Sepertinya blasteran Indonesia dan Korea," sahutku.
Alexo menatapku lekat-lekat. Oh, ayolah! Zaer itu kekanakkan sedangkan pria di hadapan sudah matang. Tentu aku lebih suka Alexo. Terlebih karena ia juga manusia.
"Sepertinya kalian dekat. Untuk tuyul dan hantu gantung kamu gak bilang nama mereka siapa. Tapi saat menyebut Zaer kamu terlihat senang," ujar Alexo tak suka.
"Kami baru berteman, Lex," tukasku, "dan dia ada di sini."
"Kalau begitu panggil aku 'sayang' dia tahu aku pacarmu?" Alexo sepertinya risih sekali aku membahas Zaer.
"Kalo gak inget Xoxo orang yang kamu sayang, Alysa, udah aku colok-colok matanya!" cerocos Zaer ngambek.
Aku tersenyum kecut untuk kedua pria ini. Aku mungkin bisa berpikir tentang apa saja namun tetaplah takdir yang akan membawaku ke mana dan bersama siapa kelak.
Hidup ini tentang segala kemungkinan-kemungkinan yang memusingkan, kan?
***
"Daripada kamu pusing-pusing dengarin Xoxo, mending nurut ma aku, Alysa." Zaer ngomel-ngomel.
Aku, Alexo, dan Zaer yang tak kasat sedang ada di butik di ruang ganti untuk mencoba berbagai baju yang harganya jutaan. Hampir satu jam kami di sini dan belum ada satu pun pakaian terpilih atau disukai kedua pria yang sepertinya menjadikanku kelinci percobaan. Saat Alexo setuju, Zaer selalu tak sependapat.
"Nah, ini aku yang pilihin sendiri, Sayang. Pas di badan kamu." Alexo menyodorkan dress cokelat tanpa lengan di atas lutut. Terlihat sederhana namun bila nanti kucoba sepertinya akan menampilkan keseksianku dengan elegan. Ah, tergantung siapa yang pakai.
Aku seksi, kok!
"Jangan yang itu! Entar Xoxo nyuri kesempatan dalam baju kamu yang kesempitan," celetuk Zaer.
Apa, sih? Emangnya ia pikir Alexo semesum itu! Lagi pula aku bisa menjaga diri sendiri dari manusia jahat. Ibu selalu mengingatkan agar aku bawa bubuk merica dan sudah ratusan kali juga kubilang padanya bahwa botol itu tak pernah keluar dari dalam tas.
"Beb, kayaknya itu kependekkan deh," kataku, menilai sendiri.
Sebetulnya, kami akan menghadiri pesta ulang tahun Om Gio. Di tempat makan tadi Alexo memaksaku hadir, ia janji akan mengenalkanku kepada ayahnya dengan resmi.
"Bisa gak sih kamu gak dengerin pendapat setan itu? Jangan pikir aku gak tau, Tha, keliatan dari gerak-gerik kamu." Alexo terlihat kesal. "Suruh setan itu pergi! Dia gak berhak ada di sini saat kita lagi berduaan, Sayang."
Aku juga berpikir sama dengan Alexo. Namun, sikap Zaer seperti memosisikan diri jadi kekasih bayangan. Aduh, *aya-aya wae!
"Haduh, apa salah dan dosaku sampe jatuh cinta ke orang yang udah punya pasangan?" keluh Zaer galau. Lebay!
Disadari atau tidak, justru Alexolah yang bisa membantu Zaer dengan aku sebagai perantaranya, untuk mengetahui apakah mobil itu milik Om Gio atau ia membelinya dari orang lain. Meski mungkin orang sekaya ayah pacarku tidak sudi mempunyai barang bekas.
"Iya, Lex, dia mau pergi," ucapku membuat Zaer cemberut.
"Oh, bagus!"
"Hati-hati ama Xoxo garong itu, Sayang," pesan Zaer. Tidak seperti biasanya, hantu ababil itu jalan kaki. Tidak menghilang. Belakangan kutahu itu hanya tak-tiknya.
Aku dan Alexo baru terkejut lima detik kemudian, satu deretan baju di sisi kanan dirobohkan oleh Zaer dengan sekali dorongan halus. Alexo menatapku tajam, kuangkat bahu sambil tersenyum malu.
Kuputuskan memilih baju sendiri, memakai dress selutut warna marun berlengan panjang namun terbuka di bagian bahu. Senada dengan dasi Alexo yang dibalut jas hitam seperti celananya.
***
Jajaran mobil seharga langit sudah memenuhi pekarangan istana Om Gio yang luas saat kami sampai, termasuk Zaer. Semua tamu undangan langsung digiring lewat ke samping rumah bergaya Eropa itu, termasuk aku. Alexo bilang acaranya ada di belakang, di kolam renang.
Pilar-pilar putih gading yang tadi kulihat di teras depan juga mengokohkan di bagian belakangnya, bangunan megah ini seperti disinari berlian dari segala sudut. Aku selalu terkagum-kagum dengan selera mewah orang kaya.
"Nanti kita ke dalem, ya, kalo ayah udah potong kue," kata Alexo yang menggandeng lenganku. Ia membawaku ke teras belakang, tempat tumpeng berukuran besar dan kue ulang tahun Om Gio yang banyak sekali, berbagai rasa serta tingkat. Sedang si empunya pesta belum kelihatan.
"Aku mau manggil Ayah dulu, ya."
Aku hanya mengangguk dengan perasaan berdebar-debar. Semua yang hadir adalah orang kelas atas dengan setelan formal dan dress mewah yang indah. Bahkan aku melihat artis kondang seperti Raffi Ah Masa dan istrinya Nagigi, musisi, seniman, dan lainnya mungkin kerabat, kolega serta pejabat yang membawa istrinya. Ada dua meja prasmanan menyajikan hidangan khas Indonesia dan luar negeri. Para pelayan wanita berseragam hitam putih hilir mudik membawa nampan berisi minuman warna-warni. Aku tidak tahu berapa jumlah meja bundar yang bertilaskan kain sewarna emas, tempat tamu undangan duduk, di tepi kolam renang dan taman.
Namun, ada yang salah di sini.
Aku terbiasa di kerumunan orang namun siapa yang menguarkan aura sedih begitu mendalam? Hingga aku dibuat kesulitan bernapas. Hawa ini sangat kuat dan tak tertahankan, hingga tanpa sadar kuremas dress bagian dada seraya mengucurkan air mata.
Ada apa ini?
"Alysa, kamu kenapa?" Zaer nampak cemas.
Aku menggeleng, kesakitan. Ingin lekas pergi dari pesta yang barusan membuatku terpukau. Saat Alexo pergi, aku segera mengucilkan diri ke sudut taman yang ada palem kecil bersama Zaer.
Pandanganku berkeliling, mencari-cari siapa yang memiliki rasa sedemikian lara ini. Fokusku akhirnya tertuju pada punggung seorang wanita yang memakai baju tidur minim seksi. Ia mengarah ke kolam, aku berlari hendak menggapainya.
"Alysa, wanita itu hantu!" teriak Zaer menahanku.
Zaer benar!
Ada apa denganku? Kenapa bisa dikendalikan oleh hantu wanita itu?
Hantu wanita itu berbalik. Wajah orientalnya mengamati Zaer dari pangkal rambut hingga ujung kaki, terkejut.
"Brian ...?" lirihnya.
Otomatis Zaer ikut terperangah. Siapa Brian? Apakah itu nama asli teman hantuku? Oh, ada hubungan apa mereka? Kenapa keduanya sama-sama mati? Aku pusing.
"Kau ... mengenalku?" Zaer bertanya-tanya. Setelah kuamati, ingatan Zaer itu sepertinya pudar.
Hantu berbaju tidur seksi itu mengangguk kemudian menghilang dengan ketakutan saat suara berat Om Gio meminta perhatian dari semua orang.
***
"Zaer, sepertinya kita harus mencari hantu wanita tadi. Pasti dia ada hubungannya sama kamu dan siapa tau aja dia bisa nunjukin di mana ... jasad kamu," putusku akhirnya. Usai bertemu hantu berbaju tidur seksi Zaer baru bilang, Om Adi menyangka bahwa ia hanyalah sukma. Bapak tidak bilang apa-apa mengenai Zaer padaku, mungkin ingin aku dewasa untuk memecahkan kasus ini sendiri.
Jam sepuluh malam, Alexo memenuhi janji membawaku masuk ke rumah namun ia malah izin ke kamar mandi. Meninggalkanku di sebuah balkon dengan pemandangan tumbuhan hias di bawah. Zaer suka berbuat semaunya dan selalu mengawal di sisi kiri jika Alexo berjalan di sebelah kanan. Bila terus begini, aku akan benar-benar merasa punya kekasih gelap.
Pesta masih berlangsung dengan meriah di luar dan sepertinya akan berakhir pagi nanti. Di lantai dasar rumah bertingkat tiga ini ada enam atau delapan sofa berwarna variatif dan ukuran sebagai sekat, vas berlian di meja dan lemari pajangan diisi aneka bunga segar, guci-guci raksasa menghias setiap sudut ruangan, dan banyak sekali perabot mahal lainnya.
"Alysa, aku ingin hidup," kata Zaer penuh harap. "Aku ingin merebutmu dari Alexo."
Sontak aku menjitak kepala Zaer, "Kalo punya tujuan itu harus pake niat yang baik, biar terkabul. Ini apaan? Siapa tau di kehidupanmu, masih ada orang tua, sahabat, teman, guru atau bahkan pacar," sahutku jengkel.
"Iya, ya, Sayang." Zaer malah tertawa kegirangan.
Kuacungkan alis, menatapnya pura-pura ngeri. Er?
"Seneng aja. Jarang-jarang kamu nyentuh aku. Hehehe."
Dih!
Kami terdiam, ia kadang mencuri-curi pandang bagai ABG yang sedang kasmaran. Heh!
Alexo tidak juga kembali, aku mulai kedinginan memakai baju ini, sampai kesunyian waktu pun enyah saat Zaer bersuara, "Alysa, bagaimana bila semasa hidupku, aku adalah cowok imut yang kesepian? Apakah kamu tetap mau mengenal dan kita tetap berteman bila benar aku akan hidup kembali."
Tiba-tiba aku merasa hampa, "Zaer, apa bahkan kamu bakal inget sama aku nanti?"
Ekspresi Zaer seperti terpukul, ia menunduk lesu. Ternyata Zaer sudah menarik banyak empatiku, melihatnya sedih membuatku tak tega.
"Fokus ke misi kita, Zaer! Yang terpenting sekarang adalah kamu ingat identitasmu. Gak ada yang mustahil kalo kita berusaha." Hiburku, menepuk bahunya.
Zaer tergugah, melayang, dan kembali ceria, "Aku akan berusaha mengingat dan datang padamu lagi, Neng Lisaku," ia berkedip lalu menghilang. Mendengar titahku untuk mencari hantu wanita, mungkin?
Haduh, jalan ke sana kemari dan mikirin semua hal ganjil terus aku sampai lupa minum, tenggorokan kering sekali. Kuamati lagi sekitar saat sepi sendiri dan melihat ada meja kayu yang di atasnya terdapat gelas minuman. Kuambil dan teguk, saat itulah Alexo datang.
Alexo tersenyum dan memelukku erat. Aku lemas, menjatuhkan gelas yang sudah tandas hingga pecah berantakkan di lantai, "Lex, pusing."
Alexo mengecup bibirku, membauinya, "Kamu minum alkohol?"
"Al-kohol?" Aku berusaha lepas dari pelukannya. Kepalaku bertambah pusing, mual juga.
"Kita masuk ya, aku bantu kamu duduk."
Alexo memapah dan mendudukkanku di sofa empuk dan lembut. Ia membawaku ke ruangan berputar seperti kincir. Ia melepas jas lalu menutupi tubuhku yang menggigil.
"Tunggu sebentar, ya, aku ambilin minum dan makanan."
Aku tak merespon, Alexo berlari entah ke mana. Kupijit-pijit kening hingga sepertinya mendengar orang bicara. Aku mengalihkan pandangan ke sebuah siluet dari bilik tembok putih gading yang lain, sedang menelepon?
Jika aku tak salah dengar, itu adalah suara Om Gio menyebut nama Mbah Jambrong dan membahas hantu wanita berbaju tidur seksi yang sedang dicari oleh Zaer. Oh, ada hubungan apa mereka?
Mbah Jambrong. Aku merasa pernah bertemu dengannya, tetapi, di mana?
Aku melempar jas Alexo saat melihat hantu yang tiba-tiba jadi fokus semua orang yang kukenal muncul. Ia berjalan tertatih-tatih ke arah siluet itu.
"Jangan lakukan itu!" teriakku histeris.
Si hantu wanita berbaju tidur seksi melihatku, tangannya yang sudah siap mencekik leher Om Gio terkepal lagi di sisi tubuhnya, ia menatapku pedih. Aku menangis.
"Thalysa, ada apa?" Om Gio menghampiriku.
Tanpa sadar, aku mundur, menjawab, "Ada hantu yang mau nyelakain, Om Gio."
Sekarang hantu wanita itu sudah tidak ada lagi di ruangan ini.
Aku menunduk, tidak tahu apa atau bagaimana respon Om Gio usai mendengarku. Namun, ia terus memepetku hingga punggung menubruk tembok di belakangku.
"Oh, Thalysa, andai tidak tahu kamu siapa Om pasti mengira kamu adalah artis. Kamu seksi, mulus, putih, cantik, dan menggiurkan. Om senang dengan gadis sepertimu."
Aku bergidik mendengar ujaran cabul Om Gio, ia menatap jelalatan lalu menangkap kedua bahuku. Aku gemetaran. Lelaki seperti Om Gio yang lebih kutakutkan dibandingkan dengan setan mana pun di dunia ini!
"Om, lepaaas!"
Wajah Om Gio jadi banyak sekali dan semuanya tampak menyeringai mengerikan. Sampai kepalaku seperti terbelah dengan memikirkan dua orang yang berbeda. Antara ....
"Alexo ...."
"Zaer ...."
Di mana mereka saat aku butuh?
Next part oleh Nev Nov
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro