𓆩✩10. Si Paling Rusuh
Helaan napas keluar dari seorang pemuda bermata rusa. Pemuda itu memarkirkan sepeda motornya di depan taman. Sesekali dia melihat ke kaca spion miliknya. Di sana terpampang jelas, saat angin berembus mengajak helaian rambut Jonathan untuk menari-nari. Setelah dirasa mengganggu tatanan rambutnya, akhirnya Jonathan bisa mengusap rambutnya sembari mengeluarkan napas panjang.
"Nunggu si Dika dateng ke sini kelamaan. Apa gua coba susulin ke rumahnya aja?" tanya Jonathan pada pantulan wajahnya di kaca spion.
Meskipun angin menerbangkan helaian rambutnya, tetapi Jonathan masih tetap tenang dengan senyuman tipis. Dia masih bisa bersabar, meskipun Dika tak kunjung datang. Padahal, mereka berdua berniat pergi ke rumah Yohan untuk berdiskusi.
"Si Yohan mager dateng ke rumah gue, ujung-ujungnya gue sama Dika yang harus datengin dia. Kalo gue pergi duluan, kasian Dika pergi sendiri," ucap Jonathan.
Ketika Jonathan memutuskan untuk pergi, tiba-tiba suara sepeda motor yang berkelompok terdengar di telinganya. Jonathan mengenal jelas suara dari sepeda motor ini, oleh karena itu Jonathan langsung menurunkan sudut bibirnya. Dia melihat ke belakang, lalu berdecak. "Mau apa lo semua ngepung gue kayak gini?"
Jonathan masih bersikap tenang, meskipun dia dikepung oleh tujuh orang pemuda. Para pemuda itu menatap Jonathan dengan tatapan tak bersahabat. Sementara sang ketua, mendekati Jonathan lalu menarik kerah baju Jonathan tanpa permisi. Dia menebak, "Lu pasti si Cepu yang ngebatalin rencana tawuran geng gue 'kan?!"
"Maksud?" tanya Jonathan.
"Ck, pura-pura gak tahu lagi! Lu yang bilang ke polisi kalo kami semua bakal tawuran kan?!" tanya salah satu orang.
Jonathan tersenyum kecut, lalu melirik ke arah lain. Dia menghempaskan tangan orang yang memegangi kerahnya, lalu memelototkan mata kepada orang itu. "Kalo iya, kenapa? Lagian lo semua mau tawuran di deket rumah gue! Gue sebagai warga asli, jelas keberatan, Beg*!"
Sang ketua geng berniat mendaratkan tinjunya di pipi Jonathan. Namun, tiba-tiba sebuah batu dilempar ke belakang kepalanya, sampai akhirnya sang ketua berbalik dan menyipitkan mata. Dia melihat Dika dengan tangan di batu. "S*alan!" umpatnya.
Dika menatap tajam satu persatu anggota geng. Setelah itu, dia melempar dan menangkap batu di tangannya sembari berkata, "Satu lawan tujuh."
"Mau gelut, kok gak imbang?"
"Gue gak tahu, apa masalah kalian semua. Tapi--- gimana kalo masalahnya diselesain baik-baik, gak pakai kekerasan. Misalnya, main game bareng-bareng aja!" saran Dika, lalu tersenyum lebar.
Beberapa anggota geng langsung menatap tajam ke arah Dika. Sementara Jonathan menepuk jidat, apalagi ketika beberapa dari anggota mulai mengepalkan tangannya dan berjalan ke arah Dika. Jonathan memperingatkan, "Urusan kalian sama gue, bukan temen gue. Liat sini kalo berani!"
Semua orang tak mendengar ucapan Jonathan, sementara Dika sendiri tersenyum kikuk, sembari mengusap-usap tangannya sendiri. "Ampun. Jangan pukul gue. Gue cuman ngasih saran doang, kok."
"Hari ini, gue lagi gak mood buat gelut. Bunda gue gak ngizinin. Nanti kalo gue kena azab gak ngedengerin emak gue gimana? Pinggang gue encok, kalian mau tanggung jawab?" tanya Dika.
Salah satu dari ketujuh orang berniat menangkap Dika. Dia berkata, "Bac*t! Banyak omong l---"
Belum sempat orang itu mengenai pipi Dika, Dika sudah lebih dulu mendaratkan tangannya ke pipi. Tubuh orang itu langsung kehilangan keseimbangannya, dia tak tahu jika Dika akan menyerangnya tanpa permisi. Sekarang, Dika menutup mulutnya, sembari menjulurkan dan menggoyangkan tangannya maju dan mundur, mengajak berkelahi.
Perkelahian tak bisa dihindarkan. Dika yang diam, lebih banyak bergerak dan menyakiti para anggota geng. Begitu juga dengan Jonathan yang akhirnya turun tangan. Keduanya berkelahi dengan tujuh orang pemuda, sampai akhirnya perkelahian mereka dilihat warga, dan ketujuh anggota itu melarikan diri.
"Pengecut," gumam Jonathan. Dengan napas terengah-engah, Jonathan tersenyum sembari mengusap keringat di dahinya. Matanya tertuju kepada Dika, yang sama-sama bernapas cepat. Keduanya menarik sebelah sudut bibirnya ke atas, setelah itu Jonathan memberitahu, "Pipi lo lebam."
Dika membalas, "Bibir lo juga berdarah."
"Pipi lo lebih parah," kata Jonathan.
Dika tersenyum, kemudian memegangi pinggangnya sendiri. Dia mengernyitkan kening, lalu memberitahu, "Pinggang gue encok."
Jonathan tertawa, lalu menyindir, "Dasar remaja jompo."
"Bukan, ini azab dari Bunda. Bunda udah bilang jangan gelut, tapi gue masih tetep aja suka gelut," balas Dika.
Jonathan menarik dan mengeluarkan napas panjang, dia lalu mengusap cairan merah di bibirnya lalu mengaku, "Sorry, seharusnya lo gak terlibat sama mereka."
Dika menggelengkan kepala, dan memberitahu, "Gak terlibat apanya? Lo temen gue."
"Tapi tetep aja, gue merasa bersalah sama lo," kata Jonathan.
Dika tersenyum, lalu merangkul Jonathan untuk berjalan ke sepeda motornya. "Gak papa, besok di sekolah traktir jajan sama uang kas gue aja."
"Ck, oke!" balas Jonathan.
Dika dan Jonathan akhirnya berniat untuk pergi. Mereka sempat melihat kondisi wajah keduanya di kaca spion, lalu menertawakan luka yang mereka miliki. Sayangnya, tawa keduanya tak bertahan lama, setelah Jonathan menerima pesan dari Yohan.
•••
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro