S - Ganjil
S - G A N J I L
***
Bang Arsa bangkit dari duduknya begitu Aku dan Binar memasuki ruang BK. Nggak seperti biasanya, kakakku itu terlihat lebih kurus dari terakhir kali kami bertemu. Ia juga berusaha menutupi bagian bawah matanya yang menghitam dengan sebuah kacamata, sayangnya mataku masih cukup jeli untuk melihat perbedaan itu.
Berbalut kemeja navi kotak-kotak, Bang Arsa ternyata datang nggak sendiri. Ia bersama seorang lelaki yang punya muka datar melebihi Gus Nunu. Kemunculannya tentu saja melengkapi sederet keterkejutanku hari ini. Aku yakin nggak salah dengar, kalau ia akan pulang akhir bulan Desember, lalu melamar Mbak Mahvash—tetangga sebelah. Tapi kenapa dia malah di sini?
"Loh, Om Aariz—Atatatataw, sakit!"
"Manggil gue apa barusan?"
"Om—Astagfirullahaladzim! Sakit wei! Ini kuping, bukan bantal!"
Pemuda ini langsung menjewerku tanpa babibu. Bang Aariz memang nggak pernah suka kalau kupanggil dia dengan sebutan om, mau di luar rumah atau pun di rumah. Bedanya, kalau di rumah dia nggak bisa menyiksaku karena ada Yayah. Kalau di luar rumah, baru deh berlaku semena-mena. Dasar bucinnya Mbak Mahvash.
Jemari Bang Aariz masih mengapit kupingku, mungkin ia masih belum sadar kalau sekarang kami lagi di ruang BK. Jadi begitu salah seorang asatid berdeham cukup nyaring, kupingku pun lolos dari penyiksaan. Alhamdulillah.
"Bang Arsa kok di sini? Memang aku ada salah sampai Abang dipanggil ke ponpes?" Kulirik buku catatan point santri di meja guru BK. Tertumpuk, nggak dibuka sama sekali. Malah ada di tumpukan paling bawah.
Telapak tangan Bang Arsa terulur, lantas mendarat di atas kepalku. Ia tersenyum lebar, "Kamu kok tambah pendek, Dek?"
Kurangasem. Masa iya Bang Arsa datang jauh-jauh cuma mau mengkritik tinggiku yang akhir-akhir ini tumbuh ke samping.
Kutepis tangannya yang masih asik saja bertengger di atas kepalaku. Lantas duduk di sofa panjang setelah dipersilakan guru BK. Beliau menjelaskan kedatangan Bang Arsa dan Bang Aariz ke sini untuk menjengukku.
"Kok nggak di sekretariat asrama putri aja, Bang? Kan biasanya di sana."
Bukan kakakku itu yang menjawab, melainkan Bang Aariz yang mengeluarkan sesuatu dari ransel hitamnya. "Sekalian mau ketemu Binar, Me. Soalnya ada titipan juga dari Om dan Tante."
"Oh, ya?" ucapku setengah berpikir. "Tapi kenapa di sini? Kan Bang Aariz bisa ke asrama Binar. Trus Bang Arsa ke asaramaku?"
"Biar cepet," kata Bang Aariz singkat, yang membuat bibirku mengerucut kesal. Memang makhluk yang satu ini, apa-apa pengen cepat saja, nggak mau ribet.
Kualihkan kembali tatapan ke arah Bang Arsa yang tengah mengambil sebuah kotak biru tua untukku. "Dari Bubun. Kue kesukaan kamu nih, nanti dibagi sama teman-teman kamar kamu. Trus, ini kiriman dari Yayah. Dipake baik-baik, jangan boros."
Box dan amplop itu kuterima dengan baik, bersama senyum semringah. Masih dengan perasaan menggebu-gebu, aku baru ingat sesuatu ketika salah seorang asatid menyebut acara Ekskul Exhibition.
"Kita nggak hadir tahun ini ya, Dek," jelas Bang Arsa dengan wajah sendu. Bibirnya memang tersenyum, tapi ia terlihat nggak baik-baik saja dari bola matanya yang meredup. Aku nggak bisa berspekulasi apa-apa, kecuali menebak jika abangku ini sedang tertekan karena skripsinya. Ia adalah mahasiswa teladan, mendapat seat khusus beasiswa di salah satu universitas favorit untuk satu anak di SMA nya dulu. Tapi, mendapat beasiswa nggak seenak kedengarannya. Sepanjang hari, Bang Arsa seolah dituntut untuk mendapat nilai sempurna. Nggak boleh turun, dan kalau bisa ada peningkatan tiap semester.
Anggap saja asumsiku benar, Bubun dan Yayah juga pasti ingin mendukung perjuangan Bang Arsa saat ini, mungkin itu alasan mengapa mereka nggak akan hadir. "Nggak pa-pa, Bang," kataku berusaha tabah.
"Kan dari dulu Abang, Bubun, Roy,sama Yayah selalu hadir walaupun sibuk. Its okay, aku nggak masalah kok. Abang pasti capek sama skripsi. Semangat! Tinggal selangkah lagi selesai!" Penghiburan dariku mungkin sedikit merasuk ke dalam hati Bang Arsa.
Binar-binar cahaya di bola matanya mulai kembali. Meski tak sepenuhnya menghempas sendu di wajah Bang Arsa, setidaknya ia nggak lagi memaksakan seulas senyum.
"Sudah selesai, Sa? Kita pulang sekarang. Mereka juga harus balik ke kelas," interupsi Bang Aariz. Ia menarik ransel dan menyampirkannya di punggung.
Tanpa penolakan, Bang Arsa ikut bangkit. Sebelum ia benar-benar pergi, aku menarik tangannya yang bebas. Kami sempat bertatapan sejenak, berharap abang akan mengerti telepati yang kulakukan.
Namun, nampaknya ia sama sekali nggak bisa mengerti. Atau, sebenarnya mengerti tapi nggak mau menjawab. "Orang-orang rumah baik-baik aja kan?" Ada getir yang keluar dari kalimatku barusan. Tapi kuharap Bang Arsa nggak bisa menangkap itu.
Pemuda berhidung mancung itu kembali menipiskan bibir. Bang Arsa menepuk pelan puncak kepalaku, seraya berkata kalau semua baik-baik saja, dan memintaku untuk belajar lebih giat.
"Kenapa Bubun dan Yayah nggak datang hari ini, Bang?" Akhirnya rasa penasaran yang kutahan seminggu lebih ini, meluncur dari bibir. Bubun dan Yayah tak pernah absen seperti sekarang, mereka selalu datang untuk menjenguk beberapa bulan sekali. Tapi kejanggalan ini terasa aneh. Bahkan Bang Arsa yang biasanya betah berlama-lama di pondok untuk bercerita ini itu, sekarang malah diam seribu bahasa.
Namun, lagi-lagi aku nggak mendapat jawaban darinya. Hanya Bang Aariz saja yang menjawab dengan ketus. Lalu keduanya pun berpamitan undur diri.
***
"Itu serius abang kamu, Med?" Gladys bertanya serius. Dari gurat wajahnya nampak sekali jika ia nggak percaya bahwa dua pemuda tadi adalah keluargaku.
Sebelum Bang Aariz dan Bang Arsa pergi dari ruang BK, tiga orang sahabatku ini datang dengan suara langkah gaduh. Wajah mereka terlihat panik dan khawatir, terbukti saat aku muncul di depan pintu ketiganya langsung heboh bertanya.
Serentetan pertanyaan yang diajukan sama sekali nggak bisa kujawab. Bak diserang ribuan tawon, anggota Geng Micin ini terus mewawancaraiku tanpa henti. Mereka baru berhenti ketika menatap ke arah Bang Arsa dan Bang Aariz.
"Nggak yakin deh aku kalau mereka abang kamu, Culametan." Syahlaa sama saja dengan Gladys, nggak mau mengakui kalau dua pemuda tadi abangku.
Binar sudah kembali lebih dulu ke kelasnya. Aku nggak tahu sih apa saja yang diberikan Bang Aariz padanya, nggak sempat tanya karena pikiranku sibuk akan hal lain. Padahal biasanya aku selalu minta jatah begitu pun Binar.
Kali ini adalah pengecualian. Karena nggak cuma kehadiran Bang Aariz, absennya Bubun dan Yayah. Bahkan tingkah Binar pun terasa ganjil untukku.
"Culametan! Bengong aja!" Syahlaa menyenggol bahuku.
Kami sedang berkumpul di kamar sekarang. Membicarakan topik sama, sembari memakan kue lapis yang dibawa Bang Arsa tadi. Aku yang biasanya mengambil rakus potongan-potongan makanan manis itu, mendadak tak selera. Pikiranku dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang lebih membingungkan daripada soal logaritma.
"Apa sih? Lagi enak mikir-mikir juga," sungutku tak terima karena diganggu. Akhirnya, daripada menimbulkan tanya baru di kepala tiga makhluk cantik ini, aku pun mencomot satu kue lapis dan memasukkannya ke mulut.
"Tadi kalian ngomongin apa?"
"Tuh, kan nggak didengerin," seru Hafshah, menekuk bibirnya sebal.
"Sory, aku lagi mikirin hal penting barusan. Nggak bisa diganggu. Jadi, ngomongin apa nih?"
"Dua ikhwan tadi yang ngaku abang kamu," Gladys mengulang topik barusan.
Mulutku berseloroh panjang, dengan anggukan mantap aku menjawab "ya" tanpa ragu.
Gladys mengembuskan napas lebih dulu. "Pantas kamu nggak tertarik sama Gus Nuril."
"Iya, termyata bukan cuma karena udah biasa ngeliatin Gus Nuril dari zaman SMP aja," Syahlaa menimpali.
Sementara Hafshah tersenyum kecut. "Ternyata, karena abang-abang kamu ganteng juga ya...," ungkapnya sedikit kecewa.
Wajar kalau Hafshah kecewa, karena selama hampir tiga tahun kami berteman, ia belum pernah berkenalan langsung dengan Bang Arsa. Kalau keluargaku menjenguk juga, nggak pernah sekali pun aku mengajak mereka. Bukan karena nggak pengin ngenalin. Tapi, aku sudah terbiasa pergi sendiri aja.
Aku belum berkomentar apa pun, masih asik mengunyah sambil memperhatikan perubahan mimik wajah mereka.
"Tapi kamu kok nggak sama kayak mereka ya, Culametan?" Syahlaa yang sangat jeli dan punya rasa penasaran tinggi, seolah sedang menimang sesuatu di benaknya.
"Beda gimana, La?"
"Kalian nggak ada mirip-miripnya," imbuh Gladys.
Ah, aku bisa menangkap maksud mereka. Maka, aku pun terkekeh kecil sebelum menjawab.
"Iyalah, kami beda," ucapku, menyuapkan potongan kue lapis ketiga. "Karena kami bertiga kan nggak sedarah."
***
Assalamu'alaikum ❤
Ada yang inget sama Aariz dan Mahvash nggak nih? Hihi. Kangen mereka nggak?
Jadi, gimana chap malam ini? Ada yang penasaran? Atau malah nambah bingung? Wkwk.
Sabar², jangan demo aku dulu ya 😂 Semua pasti dijabarin tuatu.
Malam ini segini dulu ya. Ketemu di next chap.
.
.
.
Salam rindu, bawelia-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro