Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

S - Acara Mendatang

S - A C A R A M E N D A T A N G

***

PERGI SAJA DARI DARUL AKHYAR!

Aku meremas kertas yang diselipkan seseorang dalam bangku. Menghela napas adalah satu-satunya yang bisa kulakukan untuk meredam amarah. Dibantu dengan mengucap istigfar agar pikiranku sedikit teralihkan.

Kelas masih kosong, belum ada santri yang datang kecuali aku. Walaupun aku terkenal bandel, dan tukang mager garis keras. Tapi belum pernah dalam sejarah, aku terlambat datang ke sekolah. Bahkan untuk datang di atas pukul setengah tujuh saja belum pernah kulakukan.

Dari awal menginjakkan kaki di Darul Akhyar, aku memang suka berangkat pukul enam pagi. Sama seperti kebiasaan Yayah saat mengantarku ke sekolah ketika masih di sekolah dasar. Bedanya, jika di SMP aku nggak punya alasan khusus selain suka dengan kesejukan embun di pagi hari. Di bangku SMA berbeda lagi. Ada alasan mendasar mengapa aku selalu datang paling pagi.

Salah satu alasannya adalah ini, coretan tip-ex di atas mejaku. Sederet kalimat makian yang entah dari siapa datangnya. Aku nggak mau suuzon, karena toh nggak ada manfaatnya. Terus merasa curiga pada setiap orang, bikin hati kita tuh nggak tenang. Aku yakin, Allah pasti akan mengungkap orang-orang di balik ini semua. Mau dalam waktu yang cepat, atau lambat.

"Dasar orang-orang iri," ucapku tersenyum simetris. "Emang susah jadi artis, ada aja haters bertebaran."

Aku membuka ransel, mencari botol minyak kayu putih untuk menghapus bekas-bekas tip-ex ini. Nggak mau anak-anak protes karena baunya yang menyengat, jendela-jendela pun kubuka lebar-lebar agar bau dari minyak kayu putih ini cepat menghilang. Sepintas, saat aku membuka dua daun pintu, Eren berjalan sembari menunduk di depan kelas.

"Sudah sarapan, Ren?" Aku menegurnya dengan pertanyaan basa-basi. Kami nggak biasa ngobrol di tempat umum yang banyak pasang mata melihat. Hanya di waktu-waktu seperti ini saja aku bisa menyapanya. Setelah aku, Eren adalah anak teladan kedua yang sering datang pagi ke sekolah.

Gadis pendiam itu berhenti. Masih dalam keadaan menunduk, ia menganggukkan kepala. Kemudian lanjut berjalan menuju kelasnya yang sama-sama sepi. Kadang aku penasaran bagaimana Eren beradaptasi di kelasnya yang sekarang. Saat kelas sepuluh, kami pernah satu kelas. Dan satu-satunya teman yang selalu ia sambangi mejanya hanyalah aku.

Duh, kenapa pula aku kepo sama masalah orang? Masalahku sendiri sudah menggunung gini. Mungkin Eren hanya belum menemukan celah, atau belum berani bergabung bersama kami lagi. Pasti ada waktu yang tepat. Dia juga nggak mau kan terus sendiri, canggung dan masa iya mau meninggalkan Darul Akhyar tanpa pelukan dari teman-temannya?

"Yaaah, tinggal dikit," gumamku kecewa ketika mengecek kembali botol berwarma hijau di meja. Minyak kayu putih yang masih tersisa mungkin cuma tiga sampai empat tetes, mana bisa menghapus coretan sebanyak ini?

Aku coba berpikir sejenak. Sempat terbesit ide untuk meminta minyak kayu putih di UKS, tapi cepat kutepis. Petugas akan bertanya kenapa aku membawa minyak kayu putih UKS ke kelas, dan aku nggak bisa berbohong buat nutupin biar nggak kena masalah baru. Sekali seseorang berbohong maka, akan muncul kebohongan-kebohongan lain yang terus mengikuti untuk menutupi kebohongan sebelumnya.

Sembari otakku terus memikirkan bagaimana cara menghapus sisa coretan ini. Tanganku bekerja sedikit demi sedikit menghapus dengan minyak kayu putih seadanya. Nggak bisa dihindari, jemariku ikut berwarna putih karena bekas tip-ex yang menempel.

"Selesai, tinggal dikit aja sisanya." Aku menghela napas. Melirik ke arah jendela di gedung sebelah, berharap Binar sudah datang.

Dan memang ya, kalau jodoh nggak akan ke mana. Baru juga dibatinin, cowok berkulit putih itu benar-benar muncul. Ia baru saja datang, mendorong pintu kelasnya dan berjalan ke arahku yang melambaikan tangan.

Walaupun bukan benar-benar ke arahku. Tapi ke arah mejanya yang sama-sama dekat jendela. Kami memang sengaja memilih tempat sama, supaya lebih mudah saja jika butuh bantuan satu sama lain.

"Binar!"

Whut? Dia mengangkat buku catatan yang baru dikeluarkan.

"Kamu bawa minyak?"

Minyak? Binar mengangkat sebelah alis.

"Hooh! Bawa nggak?"

Minyak apa? Minyak goreng? Ia masih nampak tak mengerti.

"Bukan!"

Minyak bensin?

"Bukaaan!"

Minyak rambut? Atau ...

Aku berhenti berteriak dan memberikan isyarat, karena Binar masih menuliskan sesuatu dengan serius. Aku kira, ia mengerti jika yang dimaksud adalah minyak kayu putih. Secara, kita tuh dari kecil emamg suka dibawain minyak yang satu itu ke mana-mana. Terlebih Binar yang gampang banget masuk angin. Nggak cuma minyak kayu putih aja, Mamanya sering menyelipkan minyak aroma terapi yang rasanya dingin-dingin gitu di kulit.

Namun, sayang beribu sayang. Si makhluk yang mirip oppa itu malah menuliskan kalimat lain.

Minyak-takan cinta pada Ustaz Fahri?

"Binaaar! Dih, sumpah minta disentil ginjalnya ya!" seruku kencang sementara Binar menutup mulutnya menahan tawa.

Trus minyak apa dong?

"Minyak telon!"

What? Minyak kelon?

"Telooon, Biii! Telooon!"

Lagi-lagi Binar menahan tawa. Ia langsung mengaduk sesuatu dalam tas. Lantas, merobek kertas putih di buku catatannya. Menuliskan sesuatu, membungkus minyak itu menggunakan kertas, dan bersiap melemparkannya ke arah jendela kelasku.

Tangkap!

Mana mau aku disuruh menangkap. Kalau tepat di tanganku mah enak. Kalau malah kena jidatkan bisa benjol. Aku buru-buru lari lumayan jauh dari jendela, ketika benda itu mendarat dengan nggak mulus menyentuh lantai.

Aku mengambilnya, kemudian berlari lagi ke dekat jendela. "Terima kasih, Bi! Aku balikin kalau udah habis ya!"

Lalu menutup jendela dan gorden sebelum Binar memprotes.

***

Suasana riuh sepeninggal Ustaz Zainal. Aku sedang berada di ruang olimp matematika, setelah tadi diminta berkumpul sejenak untuk membahas masalah Ekskul Exhibition yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Maunya sih, aku absen. Tapi kalau Ustaz Zainal sendiri yang menjemput ke kelas, gimana mau absennya coba?

"Tahun kemarin kita kan nggak ikutan. Gimana dong?" Nadiya heboh sendiri di tengah ruangan. Sementara aku cuma manyun-manyun gitu di pojok kelas, niatnya mau bersiul. Tapi aku nggak tau caranya, jadi ya cuma monyong-monyongin mulut aja, pura-pura nggak dengar kegundahan hati si Princess.

"Kak Me." Arfi berdiri di samping mejaku, entah sejak kapan. Dengan gestur takut-takut, ia bertanya apakah aku ada usul atau tidak. Anak olimp matetimatika hanya beranggotakan kelas 10 dan 11, yang sama sekali belum pernah terlibat di acara Ekskul Exhibition.

Tahun kemarin, aku menolak ikut karena masalahku dengan Nadiya. Ustaz Zainal sama sekali nggak mempermasalahkan. Beliau juga nggak menyinggung saat kami nggak berpartisipasi.

Namun, situasi sekarang beda. Ustaz Zainal memberi perintah, yang nggak akan mungkin bisa dibantah. Satu-satunya anak kelas 12, dan yang pernah ikut event ini hanyalah aku. Jadi, siapa di sini yang bisa diharapkan?

"Ada kok. Tapi kan mereka nggak butuh usulanku, Fi," kataku jual mahal dikit.

"Kami butuh, Kak," sahut Arfi. Tapi kukibaskan tangan, seolah tak peduli.

"Ah, yang butuh mah kamu. Mereka engga."

"Mereka butuh juga, Kak," kekehnya. Baru kutahu jika dia cukup keras kepala juga rupanya.

"Moso?"

Aku beranjak, cukup tertarik ketika Arfi mengatakan kalau mereka juga butuh ideku. Berjalan santai ke depan kelas, aku mengambil spidol yang tergeletak di meja guru. Memutar-mutar benda itu di tangan.

"Coba mana dari kalian yang butuh, selain Arfi?" Suaraku menggema. Ingin tahu siapa saja yang membutuhkan ideku. Daripada langsung mengeluarkan, nanti malah nggak didengerin.

"Oooh, nggak ada nih?" Ruangan lengang. Nggak ada yang bersuara selain kipas angin yang berputar.

Kuhela napas pelan. Dasar mereka ini kepala batu, dikasih bantuan tapi lebih mentingin gengsi. Heran saya.

"Yaudah, nggak maksa sih. Aku cabut duluan, selamat mikir ya."

"K-kak Me!"

Oh, ada juga akhirnya yang bersuara. Langkahku tertahan, melirik ke arah anak berkamata di samping Nadiya. Sementara gadis itu menatap sinis ke arah temannya. "Why?"

"K-kalau boleh kita mau denger usulannya, Kak," ucapnya takut-takut.

"K-kak Me kan dulu pernah ikut acara ini. Kami nggak tau apa-apa," imbuh anak lainnya.

Senyuman di bibirku kian melebar. Meski tahu mungkin nanti aku akan dicampakkan kembali, tapi nggak apa-apa lah. Ini kemauan Ustaz Zainal, bukti pengabdian terakhir yang bisa aku lakukan.

"Okee, aku bakal kasih tau." Mataku menyapu ke seisi ruangan. Lalu jatuh pada Nadiya yang nampak kesal. "Tapi, yang nggak sudi denger dan ngejalanin usulanku silakan keluar. Aku nggak mau kerja, sama anak yang setengah hati," gertakku.

***

Assalamu'alaikum

Update pagi 😂✌ Sebenernya semalem udah nulis. Tapi gegara efek bahan kimia, langsung ketiduran. 😂

Yang nanyain Binar kapan muncul, sabar yak. Next chap insyaallah itu anak nongol kok. Hihi.

Syukron katsiir buat temen² yang sudah nungguin. Kritik dan saran jika ada, silakan disampaikan ya.

.
.
.
Salam kangen, bawelia-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro