Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A - Kepulangan

A - K E P U L A N G A N

***

Menjadi topik utama pembicaraan, kadang nggak enak. Mau itu dibicarain yang baik-baik, atau pun buruk-buruknya. Kalau dibilang, "emang di dunia itu nggak ada yang benar" menurutku sih salah besar. Ini hanya masalah pandai-pandai manusianya saja untuk bijak dalam mengartikan sebuah situasi.

Tapi toh, nggak semua manusia Allah ciptakan memiliki sifat bijak. Banyak dari kita sering merasa terpuruk, jika tersudutkan oleh pandangan masyarakat. Atau, banyak yang malah terbang nggak ingat tanah karena terlalu banyak mendengar pujian.

Nggak mau mengindahkan pandangan masyarakat? Sayangnya kita hidup di tengah masyarakat. Coba kalau tinggalnya di Mars sendirian. Nggak mungkinlah dapat sindiran maupun pujian.

"Kemarin aku nggak sempet liat wajahnya. Padahal beliau katanya tampan be-ge-te loh."

Gerombolan santri putri melintas, kalau dilihat dari pita yang tersemat di kerudungnya, mereka masih kelas sepuluh. Aku yang masih asik mengunyah pempek bermandikan cuko, pura-pura nggak mendengar pembicaraan mereka. Malas juga menguping sesuatu yang lagi tranding dibicarakan seantero pondok pesantren. Sementara objek pembicaraan mereka, seolah lempeng saja mendengar kehebohan ini.

Gus Nuril—atau yang akrab kupanggil Gus Nunu itu sudah kembali dari kuliahnya di Turki. Buat santri yang hanya pernah mendengar namanya, mungkin kepulangan beliau adalah sesuatu yang luar biasa. Tapi, buatku yang hampir enam tahun menimba ilmu di Darul Akhyar, hal itu malah terkesan biasa saja.

Bukan karena sudah nggak terkagum-kagum pada wajah beliau, prestasi, dan sifat-sifarnya yang uwow uwow itu. Ekhm, kuakui nih Gus Nunu memang tampan, tipe suami idaman. Tapi nggak tahu kenapa, wajahnya yang irit senyum itu membuatku sama sekali nggak tertarik.

Sejujurnya aku nggak maksa Geng Micin buat ikutan tagar #antifansgusnuril. Nggak ada hal yang kubenci, dan memang bukan sifatku membenci seseorang. Gus Nunu baik, dia juga kadang suka sekali bertukar pikiran dengan santri-santri. Hanya saja, kesempurnaannya suatu saat mungkin bisa menjatuhkannya. Sama halnya denganku, yang jika saja nggak ada Nadiya. Mungkin aku terus meroket, gila akan pujian, dan menjadi makhluk sombong.

Jadi kubuat saja hashtag itu, sebagai sinyal. Jika di antara semua orang yang menyukai beliau, ada anak-anak seperti kami yang nggak terlalu terpengaruh pada kharismanya. Baik dong aku karena masih peduli, dan mengingatkan Gus Nunu akan kodratnya sebagai hamba Allah biasa.

Aku meneguk habis air mineral di meja kantin. Lantas beranjak menuju perpustakaan. Siapa pun yang melihatnya mungkin terdengar modus, namun aku ke sana bukan bertujuan cuci mata. Serius nih, aku cuma mau baca buku baru yang Gus Nunu biasa bawa dan sumbangkan di perpustakaan. Kalau kebetulan ketemu Ustaz Fahri, yaaa ... berarti itu takdir.

"Oh, Me." Baru juga menginjakkan kaki di ambang pintu, tapi namaku sudah disebut oleh seseorang. Suara yang familier ini, seolah melengkapi keterkejutanku saat menemukan dua ikhwan yang berdiri di depan meja penjaga perpus.

"Assalamu'alaikum, Gus." Gus Nunu ada di perpustakaan. Ia benar-benar membawa setumpuk buku di tangan.

"Waalaikumussalam," jawabnya dengan nada tenang. "Sini, Me. Saya punya sesuatu," kata Gus Nunu yang memerkan sejumlah buku.

Kaki ini berjalan ke arahnya, dengan pandangan tertunduk atau memalingkan ke mana saja. Meski Darul Akhyar nggak seperti kebanyakan pondok pesantren yang membatasi interaksi antara santri putri dan putra, namun tetap saja kami diajarkan adab-adab untuk mengatur jarak antara satu sama lain.

"Salamnya cuma buat Gus Nuril saja, Me? Sama saya nggak pake salam ya?" Aku bukan baru sadar keberadaan satu orang lagi di depan meja penjaga perpustakaan. Cuma kalau berhadapan dengan Ustaz Fahri secara langsung, keringat di tangan jadi muncul, dan mulai deh otak mikir gimana caranya biar nggak salting. Jaga image di depan beliau rasanya susah banget.

"Assalamu'alaikum, Ustaz. Bukan nggak mau ngasih salam, tadi cuma kaget."

"Waalaikumussalam. Kaget kenapa memangnya? Karena ketampanan saya yang melebihin Gu Nuril?" Ustaz Fahri tertawa. Namun, cepat-cepat meminta maaf sebelum ditegur oleh Gus Nunu. Yang kutahu, jarak usia keduanya nggak terlalu jauh. Hanya terpaut satu tahun. Mungkin itu sebabnya antara Ustaz dan Gus mudah sekali akrab.

"Gus, buku yang aku cari sudah dapat." Seorang pemuda muncul dari balik rak buku, ia menjinjing dua buku bersampul coklat. "Langsung kita garap saja gimana? Antum sudah selesai kan?"

Aku nggak tahu sih satu manusia ini siapa, karena baru pertama kali menemukan wajahnya selama mondok. Ia juga terlihat sangat akrab dengan Gus Nunu, bahkan melakukan sentuhan-sentuhan fisik yang jarang santri atau alumni Darul Akhyar lakukan pada beliau. Seakan menjawab rasa penasaranku, Gus Nunu memperkenalkan laki-laki yang kuketahui namanya adalah Mustafa. Ia salah satu teman Gus di Turki, dan datang ke Darul Akhyar buat bantu-bantu di ekskul sinematografi.

Oh, ekskulnya di si Eren toh.

Mereka berdua akhirnya pergi setelah Gus memastikan semua buku yang ingin ia serahkan sudah lengkap, tanpa satu pun yang kurang. Mungkin ia malas kemari lagi kalau-kalau ada buku yang tertinggal di rumah. Gus juga sempat menyinggung masalah club #antifansgusnuril, yang kujawab dengan bangga jika sudah bertambah personil. Gus Nunu hanya tertawa singkat.

"Memang benar kamu bikin club antifans?" Ustaz Fahri nampaknya kepo. Sembari memberikan label di tiap buku yang Gus Nunu tinggalkan di mejanya, ia membuka topik pembicaraan denganku yang juga membantunya melabeli buku.

"Benarlah, mana ada saya bohong. Kenapa? Ustaz mau daftar?" tanyaku sok asik.

"Kalau club cari jodoh ada nggak?"

Lah, ngapain nyari jodoh? Kan jodohnya sudah di depan mata antum, Ustaz. Aku nyengir dalam hati, nggak sadar kalau ternyata bibirku ikut melengkung kecil.

"Kok senyum-senyum, Me? Lucu ya?"

"E-eh?" Karena reflek, aku pun mengangkat kepala dan langsung bersitatap dengan Ustaz Fahri.

Kami berdua terpaku sejenak dalam keterkejutan. Kulihat pipi Ustaz Fahri sedikit bersemu malu, sementara kuyakin pipiku sudah semerah kepiting rebus. Posisi kami masih sama, jangankan untuk menundukkan kepala. Menghirup napas saja rasanya amat susah.

Bola mata Ustaz Fahri akhirnga bergerak. Ia melirik ke arah lain, memutus kontak barusan. Bersamaan dengan itu syaraf-syaraf tubuhku mulai berfungsi. Aku mengambil dua buku yang tadi Gus Nunu berikan, meletakkannya di depan wajah sambil kuat-kuat berkata. "Astagfirullahaladzim!"

Lalu kabur secepat kilat keluar ruangan.

***

"Jangan ketawa, Bi! Nggak lucu!" protesku.

Setelah insiden kabur dari perpustakaan, Aku bertemu Binar di pohon mangga dekat gedung putri. Katanya, guru BK mencari kami. Tapi karena aku nggak ada di kelas, Binar ditugaskan untuk mencariku ke seisi sekolah.

Mumpung ketemu gini, sekalian aku menceritakan kejadian memalukan barusan padanya.

Lagian nggak kamu jawab langsung saja sih. Binar membuat sebuah isyarat menggunakan jemarinya.

"Ya mana beranilah, Bi."

Makanya diberanikan dong. Katanya suka.

"Yaudah. Nanti aku bilang, Pak Bos."

Nanti kapan?

"Kapan-kapan kalau mau. Sekarang lagi nggak mau."

Ia kembali terkekeh kecil tanpa suara. Kami jalan berdua, dengan Binar yang ada di posisi lebih depan daripada aku. Sambil memperhatikan punggungnya yang tinggi dan lebar, aku terbang ke masa lalu. Saat kami baru saja bertemu.

Aku dan dia memang tumbuh bersama dari usia 7 tahun. Tapi kami baru bisa akrab saat sekelas di bangku sekolah dasar tingkat 3. Binar adalah anak yang pemurung, ia susah bergaul, dan dijauhi oleh teman-teman lainnya.

Pernah juga aku memergokinya tengah menangis di bawah tangga. Tanpa suara, meringkuk sendirian di tempat dingin dan gelap. Mama Papa nya mungkin nggak tahu hal itu, jadi aku mulai berpikir untuk melindungi teman kecilku dari penyiksaan pandangan orang-orang sekitar, saat kedua orang tuanya nggak ada di samping Binar.

Melihat ia sedikit demi sedikit tumbuh dewasa seperti ini, setidaknya membuat hatiku sedikit lega. Aku bahkan nggak pernah lagi merasa khawatir Binar akan mengalami kejadian buruk, karena aku yakin ia yang sekarang sudah dapat mengatasinya.

Namun, semakin kulihat punggungnya menjauh. Semakin membuatku sadar, kalau ia sudah banyak berubah.

Dan aku yang sekarang, nggak bisa lagi disebut paling tahu tentang dirinya.

***

Assalamu'alaikum

Ini hari senin ya? Kirain minggu 😂 Wkwk. Candaaaa.

Aku tau, aku telat hehe. Tapi jangan ditinggal yak.

Silakan jika ada kritik dan saran disampaikan.

.
.
.

Salam rindu, bawelia-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro