A - Amunisi
A - A M U N I S I
***
Sebagaimana perpustakaan, keadaan lumayan lengang dibanding waktu istirahat. Hanya aku dan penjaga perpustakaan saja yang mengisi ruangan ini sekarang. Tempa favorit keempatku, selain kasur, masjid dan dapur adalah perpustakaan. Surganya berbagai jenis buku yang siap dilahap oleh para santri.
"Serius banget ngerjain soalnya, Me." Seseorang menyapa, ia meletakkan secangkir teh jahe hangat di sampingku. Lantas menarik kursi di seberang meja sembari membuka buku. "Mau ada lomba lagi ya? Awal masuk kelas 12, baru hari ini kamu ke perpus."
Aku menipiskan bibir. Katanya, pandangan pertama ketika melihat lawan jenis yang masyaallah parasnya adalah rezeki. Sementara pandangan selanjutnya akan membuahkan dosa. Aku pernah mendengar ini berkali-kali, tapi menurutku orang-orang salah mengartikan.
Rasulullah hanya pernah bersabda, jika jangan sampai kita mengikutkan pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Karena sesungguhnya pandangan pertama diampuni, tapi tidak dengan pandangan selanjutnya. Bukankah itu artinya pandangan pertama hanyalah ketidaksengajaan? Lantas yang kedua akan diikuti nafsu. Walaupun rasul tidak marah atas itu, karena fitrah remaja yang menyukai keindahan.
Sama halnya denganku yang memandang sejenak ke arah Ustaz Fahri tadi, hanya untuk memastikan orang yang berbicara padaku benar-benar beliau. Lantas cepat-cepat menundukkan pandangan pada soal-soal matematika dari Ustaz Zainal. Dari deretan asatid muda di Darul Akhyar, menurutku Ustaz Fahri termasuk salah satu asatid yang enak dipandang selain anak-anak kiai. Perawakannya yang tenang dan santun, murah senyum dan ramah pada semua orang.
Aku menghela napas diam-diam. Di sanalah poin pentingnya, Ustaz Fahri "ramah pada semua orang" yang berarti bukan hanya padaku saja.
"Iya, Ustaz. Sendirian saja di perpus? Biasanya ada yang nemenin."
"Siapa, Me? Jangan bilang Mbak Harum ya." Selain anak MSG, semua warga Darul Akhyar lebih sering memanggilku Meme. Bukan Medmed atau pun Culametan.
Wajahku mungkin terlihat datar atau aneh. Karena saat ini aku tengah membiasakan jantung supaya nggak berulah di depan Ustaz Fahri. "Saya mah ndak bisa ngeliat dedemit. Maksud saya kan biasane ustaz sama asatid lain."
Suara kertas yang dibalik mengisi kesunyian antara kami, ditambah detak dari jam dinding yang dipasang di dinding dekat tempat dudukku. "Yang lain masih rapat buat Ekskul Exhibitition."
"Kenapa ndak ditutup saja sementara, Ustaz?" Aku mengangkat kepala, soale kupikir Ustaz Fahri pasti sedang asik menatap buku yang dibawa. Tapi perkiraanku meleset, ia malah ikut mengangkat kepalanya hingga pandangan kami pun saling bertabrakan. Dan reflek, aku menundukkan kembali.
Rasa keterkejutanku masih belum hilang, pipiku juga terasa panas sekali. Aku yakin wajah ini mungkin sudah semerah tomat sekarang. Aku yang salah tingkah mungkin akan terlihat aneh di depan Ustaz Fahri, maka kunetralkan kembali detakan aneh jantung nakal ini.
Satu hal yang mengusik pikiranku adalah, saat iris kami saling bersinggungan. Ustaz Fahri nampak terkejut, kemudian ikut menundukkan pandangan. Ini mungkin terdengar kepedean ya, tapi rasanya reaksi seperti itu nggak wajar?
Kalau aku boleh berandai, masa Ustaz Fahri ...
"Ada permintaan khusus dari Ustaz Zainal ke saya, buat jagain santri yang sebentar lagi mau ikut lomba," ucapnya setelah berdeham singkat. Dalam keadaan sedikit menunduk, sembari terus berpura-pura sibuk meneliti soal. Aku melirik sedikit ke arah tangan Ustaz Fahri yang menarik cangkir tehnya di meja.
Lalu, suara khas menyeruput teh terdengar. Ustaz Fahri beranjak, mengembalikan kursi ke posisi semula. Pas sekali ketika suara dua orang yang kukenal memasuki perpustakaan, masing-masing dari mereka mengucap salam cukup nyaring.
"Me," panggil Ustaz Fahri sebelum meninggalkan tempat.
Masih menunduk, aku menjawab, "Ya, Ustaz?"
"Tehnya dihabiskan ya, jangan dibagi ke Arfi dan Marco." Aku melebarkan senyum. Mungkin terdengar terlalu gede rasa sih, cuma bukannya kode yang dilemparkan Ustaz Fahri barusan seolah bilang kalau teh ini khusus dibuatkan untukku saja?
"Na'am, Ustaz," sahutku masih tersenyum lebar.
"Bagus," Ustaz Fahri menanggapi dengan semangat. Kupikir ya, beliau amat senang karena pemberiannya kuterima dengan baik. Kupikir juga, mungkin ia senang karena teh khusus yang ia buatkan untukku nggak bakal kubagi dengan orang lain. Namun, memang ekspektasi tak sesuai dengan realita. Ketika Ustaz Fahri mengatakan kalimat lanjutannya, semua rasa percaya diriku yang tinggi tadi, hancur lebur menjadi debu.
"Soalnya saya sudah buatin punya Marco dan Arfi. Sayangkan kalau nggak diminum."
Iya, Ustaz sayang kalau nggak diminum. Sayang juga hati saya terlanjur mengharap yang iya-iya. Astagfirullah.
***
"Kalian sudah ngerjain soal yang aku kasih kemarin?" Arfi dan Marco yang baru sampai kompak meletakkan buku dan lembar soal mereka di atas meja. Dengan wajah semringah, masing-masing mengulurkan secarik kertas, hasil hitung-hitungan soal matematika.
"Pakai aturan sinus kan, Mbak?"
Mataku melirik sinis ke arah Marco. "Mbak, Mbak. Emangnya aku penjual jamu?"
"Manggilnya 'Kak', Co," sahut Arfi yang sama-sama kuhadiahi tatapan sengit.
"Sejak kapan aku jadi saudara kalian?"
"Loh, kita memang saudara, Mbak," timpal Marco. Berbeda dengan Arfi yang sedikit penakut, Marco tipe anak luwes yang kelewat cerewet. "Kan kita dari nasab yang sama, Nabi Adam dan Siti Hawa," lanjut cowok bertubuh gempal itu diiringi tawa.
Aku tersenyum simetris. "Memang pandai mengelak ya kalian ini. Duduk gih, Ustaz Zainal bentar lagi balik."
Mereka berdua menuruti, lantas mengerjakan soal tahun lalu yang sudah digandakan. Tak lama kemudian, muncul Ustaz Fahri yang membawa dua gelas teh hangat. Namanya anak santri, kami paling senang ketika mendapat rezeki seperti ini. Walaupun hanya segelas teh hangat yang bisa dibeli di kantin, tapi nggak semuanya bisa membeli. Ada anak-anak seperti Marco dan Arfi, yang harus menyisihkan uang mereka demi keperluan pondok atau sekolah yang lebih penting.
Aku nggak memeriksa hasil pengerjaan mereka, dengan menyebutkan rumus saja berarti mereka sudah paham akan konsep dari ciri tiap soal. Bagi anak matematika, ketika konsep sudah kuat maka mau dibolak balik seperti apa pun sebuah soal. Nggak akan ada masalah berarti.
"Gimana soalnya? Ada yang sulit?" Ustaz Zainal menghampiri kami, seusai teh di masing-masing gelas sudah hilang tak berbekas. Ia menarik kursi di sebelahku, dengan wajah cerah.
Orang yang pertama kali mengajukan pertanyaan adalah aku. Nomor soal yang belum bisa kucari jawabannya dilingkari kemudian dibahas bersama. Perpustakaan masih sepi di jam-jam efektif seperti sekarang. Karena kami anak-anak olimp yang sebentar lagi akan menghadapi lomba, kami pun memiliki pengecualin buat nggak ikut materi di kelas. Biasanya dalam seminggu, dua sampai tiga kali aku, Arfi dan Marco akan dijejali soal-soal matematika sampai otak kami terlatih.
Kurasa sudah lebih dari dua jam kami habiskan untuk belajar, Ustaz Zainal menyudahi sesi bimbingan. Sembari membereskan beberapa buku dan kertas soal, beliau mengajak kami bertiga mengobrol sebentar, dan memberikan kabar tentang hari pensiunnya yang akan segera datang.
"Ustaz mau pensiun?"
Pria itu tertawa lebar. "Ya iya, saya mah sudah tua. Sudah sepatutnya istirahat, Me."
"Wah sayang sekali," potong Ustaz Fahri yang ikut bergabung bersama kami. Ia memilih tempat duduk di samping Marco. "Saya bakal kangen nih ditegur, Ustaz," katanya dengan binar mata bercanda.
"Loh, nggak usah kangen. Sekarang saja saya sudah mau protes, Ustaz. Ini mana saya kok nggak dikasih teh juga? Masa cuma anak-anak saya?"
Giliran Ustaz Fahri yang tertawa. "Maaf, saya terlalu sayang sama Ustaz Zainal. Takut kadar gula sampeyan naik kalau saya buatin teh juga."
Lalu, kedua pria itu pun tertawa bersama. Sementara para santri cuma bisa nyengir kecil, nggak ngerti di sebelah mana yang lucu sampai bikin dua orang ustaz beda generasi itu tertawa lebar.
"Oh iya, Me. Anak olimp nggak mau ikut Ekskul Exhibitiion?" Aku terkesiap. Topik yang benar-benar tak terduga meluncur keluar dari mulut Ustaz Zainal. "Tahun kemarin kita sudah nggak ikutan, tahun ini saya ingin kalian ikut. Sekaligus buat kenangan terakhir saya di Darul Akyhar."
Suasana perpustakaan mendadak horor. Kalimat Ustaz Zainal barusan bukan hanya sekedar harapan beliau, tapi lebih dalam dari itu. Kalimat tadi adalah sebuah perintah. Dan aku sama sekali nggak pernah terpikir untuk mengiyakan.
Nggak ada yang nggak tahu masalahku dengan Nadiya, termasuk Ustaz Zainal. Saat aku meminta bimbingan hari ini di perpus, beliau nggak bertanya apa-apa. Hanya tersenyum kemudian menentukan jadwal kapan kami akan bimbingan. Kuartikan gerak-gerik Ustaz Zainal sebagai kode, jika paham apa yang sudah terjadi sebelum aku datang menemui beliau ke ruangannya.
"Saya ... saya ndak ikutan, Ustaz. Tapi anak olimp lain—"
"Ustaz mau kamu yang ngoordinasi anak-anak olimp." Titah itu semakin memperkuat dugaanku, jika Ustaz Zainal benar-benar ingin menjebloskanku satu acara dan satu tempat bersama Nadiya. Yang kutahu beliau selalu punya tujuan khusus sebelum memutuskan sesuatu. Apa memaksaku ikut Ekskul Exhibition ada hubungannya dengan tujuan Ustaz Zainal?
Dari sekian pandangan yang menodongku dengan segala pertanyaan. Ada satu tatapan yang sedikit membuatku risih. Kami saling bertemu tatap sejenak. Ustaz Fari tersenyum kecil ke arahku. Dari sorot matanya, ia menyamangati sekaligus khawatir dalam diam.
Lagi-lagi, pandangan yang tak pernah kusuka, dan kenapa pula harus keluar dari Ustaz Fahri?
Helaan napas keluar dari hidungku. Setelah ini, rasanya aku tahu apa yang akan diucapkan Ustaz Zainal.
"Saya berharap kamu ikut. Ini acara terakhir kamu di Darul Akhyar juga kan, Meda?"
Nah, kan. Kalau gini gimana nolaknya sih.
***
Aku keluar dari perpustakaan dengan perasaan kacau. Arfi dan Marco sudah balik ke kelas mereka lebih dulu, karena adzan zuhur pun sudah berkumandang lima menit yang lalu. Sementara aku sedang kedatangan tamu, makanya sedikit telat keluar. Selain karena mood-ku yang anjlok setelah pembicaraan mengenai Ekskul Exhibition.
Usai Ustaz Zainal dan Ustaz Fahri pergi, aku mengusir kedua adik kelasku yang berniat menghibur. Aku bahkan sama sekali nggak membuka suara, malah menirukan gaya Binar ketika mengusir orang menggunakan isyarat.
Ah, rasanya ingin sekali berteriak. Suasan tadi benar-benar menegangkan. Untungnya oksigen masih keluar masuk dengan lancar. Kalau enggak, mungkin aku sudah pingsan akibat kehabisan napas.
Binar mana sih? Aku berdiri di samping gedung putra. Menunggu Binar lewat, niatmya sih mau curcol sebentar. Ngeluarin uneg-uneg memang paling pas sama dia.
Pendengar yang baik dan cuma Binar satu-satunya yang nggak pernah menatapku dengan sorot khawatir.
Namun penantianku berbuah nihil. Sampai kakiku kesemutan, anak itu belum juga muncul. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke perpustakaan, sekalian ke kantin buat ngisi perut. Pelampiasan yang sering kugunakan di saat mood nggak baik.
Namun, niatanku berubah haluan ketika menangkap sosok seseorang di seberang.
"Gladys!" panggilku nyaring. Gadis yang sedang bersama Hafshah itu sempat tolah-toleh sebentar sampai pandangan kami bertemu.
"Kamu kenapa, Med?" katanya begitu aku sampai di hadapan mereka. Memang aku nggak terlalu jago nutupin mimik wajah. Kalau kesel ya kesel, sedih ya sedih. Pernah dulu aku menangis sambil tertawa karena cermin yang biasa kugunakan dipatahin sama Syahlaa. Anak itu malah ngebanyol buat menghibur dan membuatku berhenti menangis. Alhasil, aku malah tertawa sambil menangis. Mau kesel tapi nggak bisa.
"Aku butuh amunisi!" kataku dengan sedikit penekanan. "aku pengin liat oppa!" Memang agak aneh sih, pelarianku kalau lagi bad mood itu kalau nggak curcol ke Binar, makan, ya terakhir liatin oppa.
Gladys sempat bertanya bagaimana jika kami bertemu dengan Ustaz Ahsan nanti. Kujawab enteng saja kalau ustaz yang sekilas mirip Rio Dewanto itu nggak mungkin ada di lab, kan sekarang lagi zuhur di masjid. Gladys masih sedikit ragu, tapi aku nggak menerima penolakan!
Gimana pun caranya, mood ku harus kembali normal. Nggak peduli akan ancaman hukuman apa lagi yang harus kudapat.
***
Assalamu'alaikum
Yang mau aku sampein pertama kali adalah permintaam maaf 🙏
Ini nulis dalam keadaan pusing 😂 Jadi tulisanku nggak masuk ke otak pas dibaca.
Mohon maaf ya, semoga next bisa lebih baik lagi.
Syukron katsiir manteman ❤
.
.
.
Salam rindu, bawelia-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro