Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04. Kita

—Aku tidak tahu bagaimana bicara dengan benar. Tanganku lebih cepat dibandingkan mulutku untuk menyatakan rasa lewat kata-kata dalam tulisan, tetapi surat itu, berikut lusinan surat bulan sebelumnya yang berakhir di tong sampah, adalah ungkapan terjujur untuk seseorang. Seharusnya aku membuang perasaan itu. Bukan mengulang kalimat yang sama. Nggak kreatif, ya?—

***

Tugas membuat peta bukanlah hal sulit bagi Rana. Sejak SD, dia sudah mendapat mandat lukis peta benua Asia Tenggara. Dengan kertas yang dibeli secara patungan oleh Nova dan Juan, Rana menghitung skala perbandingan di kertas lain. Setelah pengukuran secara pasti, Rana melanjutkan misi utama, yaitu menggambar. Tangannya lumayan sakit berjam-jam menggores dan menggosok ulang dengan penghapus, merasa tidak sesuai menekan garisnya. Sudah lumayan lama Rana tidak menggambar, sehingga goresannya agak kaku.

Namun, Rana tetap berusaha.

Gadis itu sampai lupa makan dan mandi sepulang sekolah. Tahu-tahu saat perutnya membusung dan ditepuk malah berbunyi keras. Cocok untuk menjadi instrumen musik patrol. Rana bersendawa akibat tepukan perut lumayan ekstrem. Dia kembung. Sudah pukul sebelas malam dan dia kelaparan. Mau keluar dari rumah indekos dengan tujuan beli nasi goreng di ujung jalan, segan membangunkan ibu kos. Mau masak mi, stoknya habis. Apalagi dia memang belum sarapan sejak pagi. Rana hanya minum air kemasan botol satu literan terus sampai tandas tadi.

Praktis pengganjal perutnya tidak ada.

Masa Rana harus makan kertas seperti kambing gunung?

Rana tersungkur ke kasur agar jatuh dalam pagi yang damai. Dia harap, besok bisa makan tiga bungkus nasi campur di kantin Mak Onah untuk menebus perjuangannya.

Ketika suara pintu kamar sebelah terbuka satu per satu, disusul penghuni indekos berebut kamar mandi, Rana ikut terbangun. Paginya berlalu cepat, walau kelopak matanya seberat sepuluh kilo. Dia berjalan terseok menghampiri meja belajar dan mengumpulkan perlengkapan sekolahnya. Untungnya PR Rana untuk pelajaran hari ini sudah selesai minggu lalu. Rana hanya tidak suka menunda pekerjaan, sehingga dia belum mengalami kerepotan yang namanya mepet deadline.

Rana masuk paling pagi. Walau rumah indekos yang dihuni hanya seratus meter dari gedung sekolah, Rana tetap akan masuk pada pukul 6.10 seperti biasanya. Orang tua Rana mendidiknya tetap seperti itu. Disiplin selalu diutamakan. Sehingga yang namanya telat masuk sekolah, Rana nggak pernah mengalaminya.

Lantas Rana bergegas ke kantin Mak Onah dan membeli tiga porsi sesuai yang diinginkan. Mumpung masih belum ada anak-anak yang muncul, Rana bergegas makan dua bungkus nasi dengan menu irisan tempe dan tumis jagung buncis.

“Cilik-cilik makannya banyak,” komentar Juan begitu meletakkan tas di bangkunya sendiri, memergoki mulut cepat Rana yang memamah nasi.

“Ya semalam kelaparan,” Rana mengaku. Dia tidak perlu malu jika Juan yang meledek. Rana selalu tahu siapa saja yang masuk barisan penghuni sekolah paling awal. Salah satunya Juan. “Oh ya, petanya sudah beres. Tinggal warnain aja. Kamu bisa nggak ngewarnain?” tanya Rana penasaran.

“Bisalah. Tinggal coret-coret doang.”

Telinga Rana tegak, tidak yakin pekerjaan epiknya berakhir seindah yang dibayangkan. Rana lebih percaya pada tangannya sendiri dibandingkan Juan.

“Ya udah, ini ambil dulu. Kerjain nanti.” Tangan Rana mengeluarkan gulungan kertas buffalo yang pinggirnya agak lecek.

“Wih, kok cepet, Na?”

“Kan abis begadang.”

Rana merasa bangga mendapat pujian dari sosok yang disukainya. Dia tersenyum kecil dan berharap dua teman sekelompoknya tidak mengacau dalam estafet pekerjaan itu.

“Ya pantas makannya banyak. Nanti pulang sekolah, kita makan bakso dulu yok. Pasti mewarnainya beres sore ini.”

Kita?

Aku dan kamu?

Rana menjadi orang paling bahagia sedunia mendengar ajakan Juan. 

“Kenapa nggak kamu kerjain di rumah aja, Juan?”

“Males. Banyak orang. Rumahku punya studio musik. Jadi banyak yang sewa buat latihan sama rekaman. Nggak bisa belajar atau dipakai tidur nyenyak.”

“Pantesan.” Rana bergumam.

“Apanya yang pantesan?”

“Kamu suka tidur di kelas. Di rumah nggak bisa tidur karena terlalu berisik, ya?”

“Tau aja kamu, Rana.”

“Tapi itu alasan kamu pakai tindik? Karena pergaulan sekitarmu adalah anak band?”

“Ya bisa dibilang begitu sih. Apalagi aku suka musik heavy metal.” Juan mengangkat jari jempol, telunjuk dan kelingkingnya ke atas. Sangat khas anak rock n roll.

“Oh....”

Haruskah dia mendengarkan musik heavy metal sekarang? Sayangnya genre musik satu ini sangat tidak sesuai selera Rana. Gadis itu suka pop, apalagi dengan iringan musik lembut. Bukan sebatas gedebuk drum dan lengkingan gitar elektrik disusul teriakan serak vokalis gondrong mengibaskan rambut. Eh, bener nggak sih suka kibasin rambut? Kayaknya sih, iya kalo Rana lihat di film dokumenter artis zaman dulu.

Rana melanjutkan sisa makannya, sementara Juan takjub dengan sepuhan halus peta kecamatan Banyuwangi Kota yang dibuat Rana.

“Na, aku sering liat kamu naik bus ke arah Jajag. Emang kamu mau ke mana sih? Bukannya rumahmu di Songgon?” tanya Juan. “Apa harus turun ke Rogojampi gitu tiap naik bus?”

“Ngapain muter sampai Rogojampi? Kan, bisa lewat arah lain. Lagian Jajag cuma sekilas lewat. Aku ke Songgon cuma main ke rumah kakak.”

"Terus rumahmu di mana?"

Rana langsung menunjuk salah satu titik di pusat kota peta buatannya sambil tersenyum.

"Beh, jauh sekali sekolah sampai di sini." Juan menghitung jarak antara titik sekolah dan rumah Rana.

"SMA Mandala itu SMA swasta terbaik. Jadi ya aku mau yang terbaik."

"Kenapa nggak negeri aja? Di sana kan, banyak juga sekolahnya."

Rana menggaruk tangannya yang tidak gatal. Mengapa pula dirinya harus sekolah sejauh 35 kilometer dari rumah?

"Cari petualangan," jawab Rana sambil lalu. "Lagian di Banyuwangi atau di Genteng, tempat ini sama-sama pusat pendidikan kabupaten kok."

“Di kota, itu rumah kamu ya. Hm... Jadi sering keliling kota dong?”

“Ya enggak terlalu sih. Paling-paling muter ke pasar Blambangan, ikut mama belanja.”

“Kirain ngapel sama cowok kamu gitu.”

“Aku nggak punya pacar.” Bibir Rana terkatup. Malu karena harus mengaku.

“Kasian nggak punya. Pacaran dong!”

“Nggak ada yang tertarik.”

“Makanya jangan di perpustakaan terus. Kuper juga, kan.”

“Ya kamu sendiri, emang pernah pacaran?” tembak Rana tidak terima.

“Ya pernahlah.”

“Terus pacarmu mana?”

“Putus sih bulan kemarin."

“Kenapa putus?”

“Bosen.”

“Terus sekarang dekat sama cewek nggak?”

“Ada sih orangnya. Cakep lah.”

“Pasti tinggi, ya?”

“Ya gitu deh.”

Rana terdiam. Tidak tahu harus membalas apa pada Juan.

Juan menggulung balik kertas buffalo. Dia melambaikan tangan ke arah luar pintu selagi ada anak kelas lain menyuruh Juan keluar. Juan pun meninggalkan Rana sendirian di kelas. Untungnya kelas tidak sepi lagi begitu satu per satu anak muncul.

Rana bertopang dagu. Dia sangat serius mempertimbangkan Juan. Haruskah Rana menyatakan cinta agar bisa jadian? Mumpung Juan jomlo. Masalahnya Rana belum siap menghadapi konsekuensi tindakan sesudahnya. Dia hanya takut kehilangan sesuatu yang berharga. Seperti bicara bebas, saling meledek dan selalu dapat perhatian dari Juan.

***

Kenyang makan semangkok bakso depan sekolah, trio peta Banyuwangi Kota itu kembali ke kelas. Rana duduk di bangku sambil menggelar kertas buffalo. Kekhawatirannya terbukti selagi Juan menggores krayon warna hijau tua agak keras. Rana tidak bisa membiarkan saturasi warna berantakan. Dia menggambar tiap pinggir gambar dengan warna krayon sebagai pembatas, agar Juan tidak kebablasan mewarnai ke balok lain.

“Eh, aku ngantuk. Balik duluan, ya. Kan pekerjaannya cuma mewarnai doang.”

“NGGAK!” Rana menolak tegas. “Kamu semalam ngapain aja kok sekarang ngantuk?”

“Ya nggak ngapa-ngapain. Cuma liat drakor.” Nova mengerutkan bibir, mencoba mengingat-ingat sesuatu. “Kim Soohyun deh yang main.”

“Enak aja. Ayo warnain lautnya sana,” perintah Rana. Sengaja mengomando semua personil mengerjakan tugas.

“Cih. Tanganku sakit.” Nova berkilah.

“Sakitan mana sama Rana yang semalam melekan dan kelaparan? Udah pasti tangan Rana pegel,” bela Juan ikutan tidak terima.

Ada yang melayang tapi bukan kupu-kupu. Rana berusaha untuk tidak tersenyum. Dia berdehem salah tingkah.

Bibir Nova makin mengerucut. Dia ingin cepat pulang agar bisa menuntaskan episode terakhir drama asal Korea Selatan. Walau sering menceritakan seluk-beluk drama Korea ke Rana, Nova belum berhasil membuat Rana kecantol dengan budaya negara maju itu.

“Kamu apaan? Makan, tidur, nonton doang.” Sindiran Rana tepat sasaran. Tidak ada yang dilakukan Nova selain terus menonton film di rumah.

“Ya udah, aku jadi tukang pijet Rana aja.”

Tangan Rana goyang gara-gara Nova memijat bahunya. Untung goresan krayon kuning tidak tergelincir ke arah Selat Bali.

“Woi woi woi!” Rana heboh sekaligus geli kena pijat.

“Sini aku pijetin punggungmu, Juan!” Nova beralih ke arah Juan.

“Ogah!” Juan mengarahkan mata krayon ke arah tukang pijat dadakan, siap menggores wajah Nova yang berkilau akibat keringat. Maklum, cuaca lagi terik sebelum menjelang hujan.

Rana senang sekali dengan momen ini. Dia selalu terhibur setiap kali Nova dan Juan adu mulut. Masa SMA-nya tidak sekelabu warna celana sekolah hari Senin. Masanya penuh pelangi. Persahabatan, pelajaran dan perjalanan terus mengukir hatinya di usia belasan. Dia harap, masa itu akan abadi sebagai kenangan indah.

Tapi.... haruskah dia nyatakan sekarang, lewat secarik surat cinta yang sudah ditulis beberapa minggu sebelumnya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro