02. Tindik Lidah
—Kilau perak aneh di balik mulutnya saat bicara, menenggelamkan jauh ke dalam labirin. Aku sekarat di dalam sana, tanpa berani berteriak. Dia, sosok aneh yang berani melanggar aturan, tetapi aku membiarkannya semata kilau perak yang ingin kumiliki juga.—
***
“Juan, harusnya aku dapat 45 kok jadi 60 ya? Kan ada tip’ex-nya juga. Harusnya kalo aturan Pak Mahendra, jawabanku salah,” protes Rana begitu guru Ekonomi meninggalkan kelas.
Rana memang aneh. Diberi kesempatan bagus malah dilewatkan. Dia hanya terlalu mementingkan kejujuran.
“Lha nggak masalah. Pak Mahendra nggak bakalan kok ngecek LKS-mu,” tanggap Juan cuek.
“Tapi, Juan!”
Ucapan Rana terhenti. Dia menyipitkan mata. Tidak salah lagi, ada sesuatu yang menarik dari Juan. Itu bukan soal ketampanan cowok itu. Sesuatu yang lain, tersembunyi di balik bibir Juan.
“Kamu pakai tindik, ya?” tanya Rana setengah menuduh. Matanya menyipit. Dia tidak ingin salah tangkap.
Juan cengengesan, kemudian menggulungkan lidah untuk menyembunyikan tindik.
“Sejak kapan itu?”
Untuk kualitas anak bandel, Juan sama sekali tidak cocok jadi anak yang langganan kena jewer Pak Mahendra saat digiring ke ruang konseling. Rambut Juan rapi dan tidak gondrong. Seragam atasannya selalu masuk ke dalam celana, terlipat mulus akibat setrika tajam ibunya. Selain itu, tiap ada waktu mengaji bersama sebelum pelajaran dimulai tiap pagi, Juan tekun membaca. Rana sempat salah kira kalau Juan anak pondok. Pasalnya Juan selalu yang pertama mengambilkan al quran dan sering membawa dua. Tiap alquran dipakai dua bangku. Satu untuk Juan dan teman sebangkunya, satu lagi untuk Rana dan Nova.
Padahal tindik termasuk pelanggaran berat di sekolah. Namun, bagaimana bisa Juan menyembunyikan tindik di balik mulutnya yang setiap tersenyum itu, manis naudzubillah?
“Sudah lama kali.”
“Kok aku nggak tahu ya.”
“Emang kalo tau, mau ngapain?”
“Lapor ke guru,” jawab Rana polos.
Juan malah ngakak.
“Terus pas makan, nggak sakit apa ya kalau tersangkut?” Rana bergidik membayangkan, tapi dia juga penasaran bagaimana rasanya punya tindik.
“Ya awalnya nggak nyaman. Sekarang udah biasa.”
“Kok bisa sih pakai tindik? Kalau Pak Mahendra tahu, gimana?”
Otak Rana semakin jauh membayangkan. Seperti komik zaman dulu tentang azab neraka. Saat lidah pendosa ditarik untuk dipotong karena kebanyakan ghibah. Rana membayangkan lidah Juan molor ditarik Pak Mahendra yang mengamuk sudah sangat mengerikan.
“Jangan lapor makanya.”
“Biarin, biar nggak macem-macem.” Rana nggak peduli, tapi nggak benar-benar bakalan melapor, tapi ketertarikan atas tindik lidah itu tetap mengusiknya. “Gimana tuh tekniknya nggak ketahuan?”
“Jangan banyak omong di depan guru.”
Rana terkesiap. Pantas saja Juan tidak menonjol. Selalu duduk diam sambil menyimak pelajaran. Kalau ada tugas, dia mengerjakan. Kalau jam kosong, tidak melipir ke kantin. Juan selalu di kelas, ketiduran.
“Eh, serius?”
“Iya.”
Rana menggelengkan kepala. Dia tidak percaya telanjur naksir cowok yang punya tindik lidah.
“Biar apa sih tindikan?”
“Keren dong.”
“Kamu ngerokok?”
“Nggak.”
“Minum?”
“Susu.”
“Ngepil?”
“Paracetamol pas demam doang.”
Rana mengerucutkan bibir. Sibuk mencari kenakalan remaja apa yang dilakukan Juan.
“Kenapa? Nggak percaya?”
“Heem. Biasanya kalo tindikan, suka aneh-aneh kelakuannya.” Rana membetulkan sudut kerudungnya yang miring.
Lagi-lagi Juan tersenyum. Manisnya kebangetan sampai Rana salah tingkah sendiri.
“Oh, ya udah, makasih buat nilainya tadi.” Rana selesai interogasi.
Gadis itu berbalik dan hendak pergi ke kantin sebentar. Pergantian jam pelajaran, guru Bahasa Arab masih lama datangnya. Kesempatan itu diambil Rana secepat kilat. Dia harus membeli dua bungkus nasi dan empat gelas air minum. Dua gelas ale-ale dan dua gelas aqua. Maklum, Rana tukang minum. Adapun nasi bungkusnya dimakan saat jam istirahat pertama pukul sembilan, dan satunya nanti saat sepulang sekolah.
Sebagai anak indekos, Rana sudah tahu artinya hidup irit. Beli nasi bungkus tiga ribuan di kantin jauh lebih mengenyangkan. Porsinya tidak banyak, tetapi cukup untuk mengganjal lapar.
Namun, langkah Rana menuju kantin tidak sendirian. Juan mengekor di belakangnya.
“Ngapain ikut aku?”
“Siapa yang mau ngikutin? Kegeeran kamu,” ledek Juan. Langkahnya santai dengan kedua tangan dijejalkan ke saku samping.
Rana mengatupkan bibir. Salah tingkah karena prediksinya keliru.
“Terus?”
“Mau ke kantin beli pulpen.”
“Kan bisa pinjem punyaku.” Rana menyahut.
“Dih, nggak bilang kalo punya pulpen lain. Tahu gini nggak usah ke kantin.”
“Ya udah, putar balik sana.”
“Udah telanjur. Buruan jalan. Tuh, Pak Akmal udah keluar dari ruang guru.”
Sepasang siswa itu bergegas menuju kantin untuk beli keperluan masing-masing. Sayang kantin lumayan ramai dimonopoli anak kelas XII. Sementara Juan berbelok ke koperasi di samping kantin, yang sama ramainya dengan adik kelas mengantri fotokopian.
Rana menoleh saat Juan memanggilnya. Dia gugup karena harus belok ke koperasi.
“Ada apa lagi?”
“Pinjam duitnya dong.”
Beberapa anak kelas X yang menguping ikutan nyengir dengan nada suara memelas Juan.
Setelah membayar, Rana balik ke kelas. Dia mengomeli Juan yang bisa-bisanya ketinggalan membawa uang saat ke koperasi. Apa itu tidak memalukan, terutama karena Juan ngegas minta ditalangi Rana dulu?
Untungnya Pak Akmal masih belum tiba di kelas, tetapi memergoki Rana dan Juan hendak masuk kelas dari arah berlawanan. Guru Bahasa Arab itu menggelengkan kepala.
“Juan, Rana, sini!” panggil Pak Akmal. Napasnya tersengal lelah usai menaiki tangga. Padahal gedung SMA Mandala cuma dua lantai.
“Iya, Pak?” Juan dengan tenang menghampiri Pak Akmal.
Beda total dibandingkan Rana. Wajahnya pias menyembunyikan nasinya. Dia tidak boleh ketahuan membawa makanan, padahal makannya nanti saat jam istirahat.
“Kalian ini, pacaran melulu,” komentar Pak Akmal salah paham.
“Nggak kok, Pak. Kebetulan ke kantin bersamaan,” jawab Rana cepat. Semakin panik karena kena tuduh jadi pacarnya Juan.
Reaksi Juan tidak membantu. Rana memukul pelan lengan Juan agar sepakat menolak tuduhan. Mereka cuma teman, meski Rana memang naksir Juan secara diam-diam.
“Cepetan masuk!” Pak Akmal masuk, diikuti dua siswanya yang segera duduk di bangku masing-masing.
Rana sudah sewot dipanggil Juan. Sengaja tidak menggubris panggilan cowok itu. Alasannya? Pak Akmal sudah mengawasi Rana secara intens.
“Apa banget sih, Juan tuh kayak caper mulu sama kamu, Na,” imbuh Nova. Nova menyikut Rana, agar tidak ikutan dipanggil Juan terus.
“Hah? Dia suka usil sih.” Rana ikutan kesal.
“Rana!”
“Apa!” desis Rana tanpa menoleh ke sumber suara.
“Duit pulpen tadi.”
“Oh.”
“Makasih, Na.”
Ambyar! Senyuman Juan terlalu manis untuk disesap mata Rana. Emosinya lumer saat menerima dua lembar uang seribuan. Pipinya memerah. Bahkan seluruh tubuhnya panas akibat sengatan jatuh cinta yang terlalu dahsyat.
Untuk gadis 16,5 tahun, jatuh cinta terlalu sulit ditangani. Dia tersenyum kaku dan menatap lurus white board. Matanya mengerjap konyol, serta bibir yang mengerucut tidak ingin melengkung lebar sampai telinga.
Walau usil, Juan selalu mengisi hari Rana dengan senyuman menarik. Anak itu tidak terlalu tampan atau tinggi, tapi cukup tampil bersih menjadi skor tambahan di mata Rana. Mungkin di antara cowok-cowok jurusan IPS di sekelilingnya, Juan-lah yang terlihat paling normal. Selain itu, Juan pindahan dari IPA selama dua minggu, lantas pindah ke IPS atas inisiatifnya sendiri. Skornya makin naik, karena di mata Rana, anak IPA itu mendekati tipe idealnya karena cenderung pendiam dan rajin.
Juan adalah berlian berharga yang Rana temukan di kelasnya. Karena itu, dia tidak mau kehilangan momen persahabatan dengan Juan. Kalau jadian lalu putus, pasti tidak akan menyenangkan. Kalau Rana menyatakan cinta dan ditolak, jauh lebih canggung lagi. Jadi main amannya adalah memendam cinta lebih lama lagi. Rana berharap ada waktu yang tepat untuk mengungkap rasa.
Leher gadis itu, dengan sendirinya menoleh ke bangku Juan. Dia mencuri pandang lebih banyak. Wajah Juan bagaikan candu. Rana ketagihan dan sering melirik tanpa alasan. Dia memegang pipinya, berharap jam pelajaran berakhir. Lebih baik pukul sembilan berputar menuju satu siang, agar Rana bisa pulang ke rumah indekos dan membasuh diri dari wajah Juan. Dia tidak siap atas kebahagiaan dari perhatian Juan. Entah bagaimana, Juan selalu ada dalam jarak pandangnya. Mungkin karena mereka sudah terbiasa berteman sejak kelas X dan hubungan mereka memang makin akrab di kelas XI IPS 1.
Rana harap, kebahagiaan itu bisa abadi. Tidak perlu sebuah hubungan mengikat. Dia ingin bebas, sambil menatap Juan dari kejauhan dengan perasaan seperti sekarang. Berteman, saling bercanda meski Rana korban banyolan. Memang, teman cowok Rana banyak, tetapi hanya Juan yang terasa spesial.
Karena itu, Rana harus melakukan hal spesial jika nanti bisa menyatakan cinta. Lebih sulit lagi mengumpulkan keberanian untuk menghadapi risiko kehilangan Juan. Mampukah dirinya mengikrarkan cinta remaja itu?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro