Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BEHIND AS TIME GOES BY

It's behind the story again, folks!

Saya pengennya (dan berharap juga) yang udah sampai chapter penutup ini beneran udah baca AS TIME GOES BY dari awal sampai akhir, karena takutnya malah jadi spoiler kalau langsung menuju ke sini tapi belum baca ceritanya. Tapi, kalau memang udah kebiasaan (ada orang-orang yang suka baca mundur atau lompat-lompat) ya ... saya nggak bisa ngelarang, hehehe. Just know that I warned you in advance.

Cerita ini sebenernya nggak pernah masuk daftar cerita yang saya pengen tulis. Idenya muncul aja gitu tiba-tiba pas saya lagi ngerjain sekuel KETIKA LANGIT BERGANTI. Saya paksa tahan-tahan, tapi nggak mempan. Jadi, saya nyerah akhirnya (nggak kepaksa kok) dan menelantarkan sekuel Glenn. Niat awalnya adalah saya pengen langsung ngebukuin cerita ini karena pengen aja gitu. Cuma setelah nyampe tengah-tengah, saya nyadar kalau cerita ini nggak punya x factor buat dibukuin, mengingat bikin buku (sekalipun itu self-published) sangat nyita waktu dan nggak gampang. So I dropped the idea altogether. Cerita ini saya tulis sekitar bulan Februari dan kelar nulis sekitar awal Mei. Bahkan, pas saya unggah cerita pendek tentang Oscar dan Karan—ada di ANTOLOGI judulnya THE WAY YOU HOLD MY HAND—pun saya udah berencana bikin versi panjangnya. Ada stau bab yang saya belum kerjain, yaitu bab liburan Oscar dan Karan karena saya masih belum tahu harus dibuat seperti apa. Just that one chapter. Malah, saya nulis chapter itu pas seluruh chapter sebelumnya udah diunggah di Wattpad. I was a bit panicked, but I managed, LOL. Total sekitar 3 bulan saya ngerjain AS TIME GOES BY.

Idenya dari mana sih? Sebenernya ini versi down to earth dari LA FORZA DEL DESTINO, cerita saya yang sempat diunggah terus saya unpublished karena nggak bisa saya lanjutin. Cerita itu terlalu di awang-awang banget dan unlikely to happen, hahaha. Jadi, garis besar dua cerita ini mirip banget. Orang biasa yang terlibat asmara dengan orang terkenal. Saya juga dapet ide dari Notting Hill. Saya juga sadar, PASTILAH ada artis Indonesia yang gay dan demi alasan karir, menutupinya. Jangankan di Indonesia deh, di Hollywood pun masih banyak kasus closeted actors kok. So, it's actually a common situation in entertainment industry. Maka, jadilah cerita antara Karan dan Oscar.

Pertemuan mereka di pesawat adalah hal yang pertama muncul di kepala begitu ide ini saya godok. Bukan, saya nggak terinspirasi dari Critical Eleven di mana pertemuan Ale dan Anya juga di pesawat, tapi justru cerita pendek yang judulnya Roy Spivey karangan Miranda July. Cerpen Roy Spivey ini sangat membekas di saya karena ceritanya pun tentang orang biasa yang ketemu orang terkenal di pesawat, tapi mereka nggak punya hubungan setelah pesawat mendarat. Saya pertama kali tahu Roy Spivey ini dari The New Yorker Fiction Podcast dan cerita ini dipilih dan dibaca oleh David Sedaris. Mungkin karena cara David Sedaris baca juga, saya jadi suka banget dengan Roy Spivey. The New Yorker Fiction podcast ini adalah sebuah podcast di mana penulis-penulis top milih cerpen yang pernah diterbitin The New Yorker buat dibaca, kemudian mereka akan menganalisis ceritanya bareng Deborah Treisman, editor fiksi The New Yorker. Mulai dari Colm Toibin, Salman Rushdie, Michael Cunningham, Ben Lerner, Chimamanda Ngozi Adichie, sampai Margaret Atwood pernah jadi tamu. Dari podcast ini juga saya nemu penulis-penulis baru yang sebelumnya asing banget di telinga, kayak John Berger, Tobias Wolff, Frank O'Connor, Elizabeth Taylor (bukan aktris legendaris Hollywood itu ya?) James Purdy, T.C. Boyle ada di antaranya. So, in a way, through this podcast I learned A LOT about writing without having to read. It's pretty convenient, if I may say.

Selain itu, sebelum nulis cerita ini, saya sedang baca THE ROAD BETWEEN US karangan Nigel Farndale. Buku ini lantas jadi referensi karena cara berceritanya. Menggunakan POV 3 dengan dua karakter yang terpisah puluhan tahun tapi punya benang merah, novel ini seperti jadi 'buku pegangan' karena ngambil dua time frame yang berbeda, seperti yang saya rencanakan dengan AS TIME GOES BY. Selain itu, POV 3 di novel ini keren banget dan saya belajar banyak. Awalnya, saya mau bikin satu bab masa sekarang dan satu bab masa lalu secara bergantian, tapi setelah saya coba, ternyata nggak cocok. Akhirnya ... ya seperti yang kalian baca. Beberapa bab tentang masa lalu Karan dan beberapa bab tentang hidupnya di Porto secara gantian.

Back to AS TIME GOES BY.

Awalnya, saya nulis dua versi dengan dua sudut pandang: orang pertama dan orang ketiga. Orang pertama akan meneruskan THE WAY YOU HOLD MY HAND, sementara POV 3 akan jadi sesuatu yang baru. Ada 3-4 bab yang saya tulis sebagai bahan perbandingan dan akhirnya, saya milih POV 3 karena selain belum pernah, saya ngerasa pas aja untuk menyampaikan karakter Karan. Saya yakin, penggunaan POV 3 saya di cerita ini belum sepenuhnya sempurna. I still need to learn a lot. Tapi, menggunakan sudut pandang yang belum pernah saya pakai juga jadi tantangan. Sekarang saya malah sedikit ketagihan buat nulis dengan POV 3 dan tetap bisa meng-explore emosi karakter-karakternya meski nggak pakai POV 1. Bisa dibilang, AS TIME GOES BY ini eksperimen saya menggunakan POV 3 dalam bentuk cerita bersambung.

Tentang Porto ... kenapa saya milih kota ini? Simply because I have friends who live there, hahaha. Saya tertarik aja ngambil kota-kota di Eropa yang jarang dijadiin setting oleh cerita-cerita contemporary. Seperti Brissago dan Lyon di KETIKA LANGIT BERGANTI atau Cologne di TWENTY FOUR, saya seperti pengen ngasih tahu, kota di Eropa itu bukan cuma Amsterdam, London, Roma, atau Paris. There are so many beautiful cities in Europe. Saya jujur belum pernah ke Porto dan untuk keperluan cerita, saya risetnya juga pol-polan (at least menurut saya sih udah pol-polan, hahahaha) termasuk download jadwal metro, stasiun apa aja yang dilewati Karan dari Blue Door (saya sempet 'jalan-jalan' lewat Google maps dan nemu satu bangunan yang pintunya memang biru) sampai ke kantor, apartemen Egil, tentang taman-taman di Porto, dan juga semua tentang Lisbon, LX Factory, sedikit sejarahnya. Dan itu bikin saya mupeng ke Porto beneran, hahaha. Saya berharapnya, Porto dan Lisbon yang saya angkat di cerita ini nggak sekadar tempelan aja. Tapi, itu kalian, my awesome readers, yang bisa menilai.

Terus tentang karakter-karakternya. Karan sih saya bikin sebagai penulis karena saya belum pernah bikin karakter seorang penulis dan juga hotelier karena saya pun cukup paham tentang dunia hotel. I put a bit of myself in there (terutama soal Wattpad dan nerbitin buku secara indie) dan sedikit menggali memori pas kerja di hotel, hahaha. Kerjaan Karan di Porto pun itu mirip-mirip dengan yang saya kerjain pas di Italia dulu. Aduh, nggak sedikit dong jadinya? Hahahaha. Kalau soal Oscar ... well, saya sebenernya nggak mau ngerusak imajinasi kalian, tapi it really based on a guy that I've been gushing about in the last 8 months *wink-wink*. Buat yang temenan di FB pasti tahu banget siapa yang saya maksud, but please ... jangan disebutin di sini, hahaha. Enough said ya tentang Oscar. Soal Egil ... saya nggak terinspirasi dari siapa-siapa sih. I simply want to make him a Norwegian, itu aja. Tapi saya bikin Egil nggak yang stiff like most Scandinavian, but kind of cheerful and joke a lot. Zola, secara fisik saya pakai salah satu sahabat saya tapi karakter mereka jauuuuuuuh banget.

Saya pun baru ngeh pas ada satu pembaca yang nunjukkin ke saya kemiripan antara Glenn dan Karan, in term of their difficulty in moving on from their past love. Meski penyebab keduanya susah move on jauh berbeda, saya nggak bisa memungkiri—dan juga nyadar—bahwa sebagian besar cerita saya pasti ada tema tentang holding on to the past love. Apakah saya sengaja? Sama sekali nggak. It was really not intentional. Kalau ditarik benang merah antara Lukas di TWENTY FOUR, Glenn di KETIKA LANGIT BERGANTI, Rafa, Gabe, dan Ugo di HEARTWORM, Adrian dan Chris di SEBUAH PILIHAN HATI, bahkan Kai di KAI, semuanya punya kecenderungan buat leaning on the past, seenggaknya, susahlah buat mereka bener-bener meninggalkan masa lalu itu. Saya jadi mikir, apakah ini bisa disebut sebagai trademark dalam tulisan saya, atau justru dianggap sebagai tema yang monoton, bahwa saya nggak punya tema lain buat diangkat? I don't know, to be honest. Karena begitu saya selesai dengan satu cerita, saya nggak akan ungkit-ungkit lagi ceritanya pas mulai nulis cerita baru. Saya beneran heran dengan diri saya sendiri, hahaha.

Soal judul, saya pun kesusahan sebenernya. Ada beberapa alternatif sebelum saya akhirnya yakin dengan AS TIME GOES BY. Film Casablanca yang dibahas Oscar dan Karan serta yang sempet mengisi pikirannya pas dia duduk di taman bareng Egil di chapter sebelum ending, memakai lagu ini sebagai soundtrack. Malah karena film ini, lagu As Time Goes By yang dipopulerkan oleh Dooley Wilson jadi lebih dikenal padahal lagu ini ditulis tahun 30-an. Selain karena alasan As Time Goes By adalah salah satu lagu favorit saya, cerita film Casablanca sendiri adalah tentang pria yang nggak bisa move on dari wanita yang dicintainya dan in the end, malah harus merelakan hatinya sendiri. Sedangkan AS TIME GOES BY punya saya pun 'bermain' dengan waktu. Saya pun pengen bilang, bahwa urusan hati itu nggak punya tanggal kadaluarsa. People keep saying that we need to move on if a relationship is ended, but they don't realize that moving on is a process, it can't be forced. Tiap orang punya kapasitas yang nggak bisa disamain. Pesan utama cerita ini sebenernya itu sih. Saya berharap apa yang pengen saya sampein bisa ditangkep jelas. Kalau nggak, kesalahan ada di saya.

Itu aja yang pengen saya bagi tentang AS TIME GOES BY. Semoga cerita ini punya manfaat buat kalian, sekecil apa pun itu. If it can cheer up your day, then I'm more than happy to be part of it. If it makes you questioning about relationship, then I'm flattered (ih, pede bener ya penulisnya? LOL) Dan semoga setelah baca behind the story ini, kalian jadi tahu bahwa ada banyak waktu yang tersita untuk menulis sebuah cerita. And as you know, time is probably the only thing you can't buy or get back. Once it's gone, it's gone. Saya nggak minta muluk-muluk kok buat yang baca. Komentar kalian (mau di ceritanya atau via PM) itu berarti banget buat saya, bahkan jauh lebih punya arti daripada vote. Dengan komentar, saya jadi tahu mana yang harus saya perbaiki, mana yang kalian suka, mana yang bikin kalian sebel, baper, dsb. Saya terima kasih banget nget nget buat yang udah vote juga, because it's still an appreciation that I value tremendously. Saya mungkin kedengeran lebay ya atau serius banget nganggep Wattpad. The thing is, I take my writing seriously. Wattpad cuma wadah bagi saya menyalurkan apa yang saya cintai, which is writing. Saya nganggep menulis bukan lagi hobi, tapi udah jadi panggilan hati. Sekalipun follower saya masih belum banyak, cerita saya nggak menyandang label 'dibaca jutaan' dan punya ratusan ribu votes, saya nggak berniat buat ninggalin nulis. Bahkan, jika suatu saat Wattpad ditinggalin, saya pasti cari cara supaya pembaca-pembaca saya tetap bisa baca tulisan saya. Nggak ada ambisi jadi femes, kok. Ada yang ngasih pujian aja saya sering ngerasa nggak pantes, kayak nanya "Do I really deserve that? Or people are just trying to be nice to me?" Ini memang sayanya aja yang memang punya krisis self-esteem dan being too critical about my own writing, add that with being perfectionist, hahaha. Kayaknya sih udah mulai banyak yang berani komen panjang-panjang dan saya suka banget itu! Tapi, saya juga nyadar bahwa banyak orang yang nggak pinter ngasih komen panjang-panjang, atau malu atau karena alasan yang lain, jadi show your appreciation in your own way (Ini agak maksa nggak sih? Hahahahaha)

Anyway, that's all for now. Sampai jumpa lagi di cerita lainnya ya? And thank you for splashing colors into my life. A writer is nothing without readers and there won't be Abiyasha without all of your supports. So, thank you, thank you, and thank you!

Shimbalaiê,

Abi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro