6 - THE UNEXPECTED
Begitu muncul THE END di layar laptopnya, Karan mendengus keras. Mengangkat lengannya tinggi-tinggi, dia menguap sebelum menutup laptop. Dibiarkannya benda itu tergeletak di atas kursi tanpa ada niat untuk memindahkannya. Dengan malas, Karan menyandarkan kepala di tepi tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya. Lantai yang didudukinya sejak dua jam lalu mulai membuat pantatnya tepos, tapi dia masih enggan mengangkat tubuh semampainya ke atas tempat tidur.
Diraihnya ponsel dari atas nakas sebelum menyentuh layarnya. Membuka aplikasi instant messaging, dia mencari nama Oscar di sana. Saat membukanya, terdapat beberapa pesan yang dikirim Oscar sejak mereka bertukar kontak selepas makan siang di Milk & Madu lebih dari sebulan lalu. Karan pun akhirnya menekan tombol follow di Instagram meski Oscar tidak melakukan hal yang sama. Pesan terakhir yang dikirim Oscar adalah sebuah voice note yang berisi gonggongan Jupiter diikuti suara Oscar yang memperkenalkan Jupiter kepada Karan. Dia membalasnya dengan sebuah voice note singkat.
Mata Karan bergantian memandang laptopnya yang sudah tertutup dan baris kosong di ponselnya untuk mengetik pesan baru. Setelah mencoba 3 kali dan selalu ketiduran, Karan akhirnya berhasil menyaksikan Some Like It Hot dari awal hingga selesai. Bahkan dirinya tidak bisa menahan tawa melihat akting Tony Curtis, Marilyn Monroe, dan Jack Lemmon dalam film garapan sutradara Billy Wilder yang dirilis tahun 1959.
Dengan senyum yang terkembang, Karan mengetik:
Baru selesai nonton Some Like It Hot. I made it until the end, hahaha. What a funny movie!
Begitu pesannya terkirim, Karan meletakkan ponselnya di atas lantai dan kembali menyandarkan kepalanya.
Tidak banyak yang terjadi setelah dirinya dan Oscar bertukar nomor telepon. Karan memang sengaja menahan diri agar tidak mengirim pesan terlebih dulu karena selain tidak ingin mengganggu Oscar, dia tidak ingin memberikan kesan terlalu ingin tahu. Pesan-pesan Oscar pun singkat. Menanyakan kabarnya, bagaimana cuaca di Bali, kebosanannya menunggu giliran shooting, atau dua minggu lalu saat dia sedang ada pemotretan di Hongkong.
Ketika Oscar meminta kontaknya, Karan sempat bertanya alasan Oscar menginginkannya—terlepas dari mereka yang baru saling kenal dan status Oscar sebagai publik figur—yang justru ditanggapi Oscar dengan kerutan di kening. Jawaban yang didapat Karan adalah agar lebih mudah jika mereka ingin bertemu karena Oscar percaya, kebetulan tidak akan berpihak ke mereka lagi. Saat Karan kembali menyanggahnya dengan kemungkinan bisa saja dia menyebarkan nomor pribadi Oscar ke publik, pria itu justru tergelak. "I know you're not going to do that," adalah apa yang menjadi balasan Oscar hingga Karan terdiam.
Suara getaran ponselnya membuat Karan tersentak. Dilihatnya pesan masuk dari Oscar dan Karan membukanya.
FINALLY! I knew you're going to like it
Aku baru pulang, capek sekali
Satu hal yang membuat Karan lega adalah Oscar meminta agar mereka tidak menggunakan 'saya' karena baginya sebutan itu terlalu formal. Karan tidak keberatan.
Go have a rest, then
Begitu pesannya terkirim, Karan menunggu hingga tanda centang dua berwarna biru terlihat. Alih-alih membalas pesan, Karan justru melihat panggilan masuk dari Oscar.
"Malam, Oscar," sapa Karan begitu dia mengangkatnya.
"Malam, Karan. Aku seneng banget kamu akhirnya nonton Some Like It Hot. Kamu suka Daphne atau Josephine?"
Karan tertawa. "Daphne. Jack Lemmon was really good!"
"Well, he got nominated for Oscar as Best Actor, but unfortunately, he lost to Charlton Heston in Ben-Hur."
"Oh ya? Mungkin aku harus nonton Ben-Hur dan ngasih pendapat tentang siapa yang lebih layak."
"A friendly reminder, Karan, Ben-Hur is 3,5 hours epic film. Tapi kalau kamu bisa, please give it a try!"
Ada gelak yang didengar Karan setelah Oscar menyelesaikan kalimatnya dan sayup-sayup, gonggongan Jupiter. "Kamu udah baca Stoner?"
"I did. I finished it in a week and you were right. Bukunya bagus sekali. Saya enggak tahu kenapa belum ada produser yang bikin filmnya. Kalau cast-nya pas, screenplay-nya keren, pasti dapet banyak award."
Dengan malas, Karan beranjak dari lantai dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Diraihnya guling yang selalu bisa dipeluknya setiap malam tanpa melepaskan ponselnya dari telinga.
"Kamu kan bisa nulis naskah, Oscar. Why don't you try?"
"Hahaha. I'm not that good. By the way, Karan, kamu harus kasih aku selamat."
Karan mengerutkan kening. "Buat apa?"
"I finished reading a book in Indonesian!"
"Oh ya? Wow! I'm impressed!"
"Masih banyak yang aku enggak tahu, jadi harus buka kamus, but I'm happy."
"Buku apa?"
"Rahasia dong! Nanti aku kasih tahu pas kita ketemu lagi."
"Oke."
"Aku ke Bali the day after tomorrow. What do you say, we grab dinner? Pesawatku mendarat jam empat sore."
"Lusa, ya? Sebentar, Oscar." Karan memiringkan tubuh untuk melihat kopi jadwal kerja yang dia tempelkan di tembok yang berdekatan dengan tempat tidurnya. Telunjuknya menyusuri minggu ketiga bulan November dan begitu menemukannya, Karan kembali berbaring. "Lusa aku dapat middle shift, jadi aku nggak akan pulang sampai pukul 8. I'm afraid I will have dinner at the hotel."
"I see ... what about going out for a drink?"
"Aku nggak minum, Oscar. Aku dapet shift malam keesokan harinya jadi kita bisa ketemu buat makan siang kalau kamu mau."
"Hmmm .... the thing is, I will have photo shoot for the whole day, jadi enggak bisa, Karan. Dan harus ke Jakarta lagi malamnya. I won't even stay at my parents' this time."
Karan lupa dirinya sedang berbicara dengan Oscar James yang jadwalnya tidak selonggar dirinya yang punya jadwal kerja tetap. Karan tentu saja ingin bertemu Oscar, meski dirinya bisa melihat Oscar lewat video dan foto yang diunggah di akun Instagramnya, tapi bertatap muka jelas berbeda.
"Asalkan kita nggak harus ke bar, aku nggak keberatan."
"Kenapa dengan bar, Karan?"
"Bising."
"What is bising?"
"Too loud."
"Okay, we can go to the beach. How about that? Kita bisa duduk-duduk."
Sudah lama Karan tidak pergi ke pantai saat malam tiba, padahal di awal kepindahannya ke Bali, dia sering melakukannya. Apalagi setelah mengenal Zola, sahabatnya itu akan menyeretnya ke pantai setiap jadwal kerjanya tidak berbenturan, duduk hingga tengah malam, dan membicarakan banyak hal.
"Aku mungkin langsung ke sana setelah dari hotel."
"Great! Aku kasih tahu nanti kita ketemu di mana. Jupiter udah protes sekarang."
Karan mengangguk. "Baiklah. Salam buat Jupiter. Night, Oscar."
"Bye, Karan."
Begitu panggilan berakhir, Karan tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Meletakkan ponselnya di atas nakas, Karan menghela napas sebelum memejamkan mata, berusaha untuk tertidur.
***
"Tumben mandi di hotel, Ran. Kije?" (B.Bali – ke mana)
Karan menanggapi pertanyaan Komang, salah satu staf housekeeping yang sedang membersihkan loker dengan sebuah cengiran. "Janjian nonton sama temen. Gerah soalnya dan jauh kalau harus balik ke kos."
Sejak bekerja di Wuluh Tirta, Karan memang jarang menggunakan fasilitas di hotel karena dia merasa tidak nyaman. Namun pertemuan dengan Oscar malam ini tidak memungkinkannya untuk kembali ke indekos, meletakkan tas, dan mandi. Apalagi Oscar meminta untuk bertemu di dekat hotel, jadi percuma jika Karan harus pulang lebih dulu. Alya bahkan meledeknya saat dia pulang lima menit lebih awal, tapi Karan berhasil menyembunyikan semangatnya yang berlebihan hingga membuat godaan Alya mental.
"Pak Danny masih di kantor?"
"Tadi saya nganterin dokumen ke kantor Bapak sebelum ke sini," jawab Karan setelah menyisir rambut dan mengeluarkan jaket denimnya dari tas. "Kenapa, Bli?"
"Nggak, kalau Bapak masih di hotel jam segini biasanya nanti tiba-tiba minta dibersihin satu kamar."
Karan tersenyum. "Namanya juga yang punya hotel, Bli. Terserah Bapak mau ngapain aja. Kita juga nggak bisa protes, kan?"
Karan segera memasukkan seragamnya ke dalam tas karena sudah saatnya dicuci sebelum mengenakan sandal. Setelah memastikan loker terkunci, Karan mengeluarkan ponsel dan mengetik satu pesan untuk Oscar.
I'm on my way. Kamu udah di sana?
Sore tadi Oscar mengabarinya dia sudah sampai di Bali dan akan menunggu Karan di jembatan kayu di dekat Pura Petitenget. Karan sebenarnya bisa saja berjalan ke sana dan meninggalkan motornya di hotel, tapi dia malas jika harus kembali lagi untuk mengambilnya nanti.
"Pulang dulu, Bli," pamit Karan sambil keluar dari loker dan menuju tempatnya memarkir motor.
Saat dia baru saja menaiki motornya, ponselnya berbunyi.
Aku baru sampai
Karan memasukkan ponsel dan segera menghidupkan motor. Senyum di wajahnya terkembang karena sesuatu yang ditunggunya sejak dua hari lalu akan segera terjadi. Dengan pelan, Karan mengarahkan motor keluar dari area hotel.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro