Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 - SERENDIPITY


Jam dinding di kantor Front Office baru saja melewati pukul satu dini hari. Kesunyian malam itu hanya dipecahkan oleh suara ketukan pulpen Karan di atas meja. Lembar demi lembar laporan night audit untuk setiap departemen di Wuluh Tirta baru saja selesai dia cetak dan Karan sudah menyusunnya dengan rapi. Sudah lebih dari lima menit matanya membaca jadwal kerja untuk bulan Agustus serta menghitung berapa shift malam yang diberikan Alya—team leader Front Office—untuknya. Mendapatkan graveyard shift—istilah yang populer digunakan bagi mereka yang bekerja di malam hari—justru sangat disukai Karan. Bahkan tidak jarang, Karan meminta Alya agar memberikannya lebih banyak shift malam dibanding staf lain karena dirinya bisa dengan tenang menulis. Tidur pukul tujuh malam dan bangun tiga jam kemudian adalah kebiasaan yang dilakukan Karan setiap mendapat jadwal malam agar tidak mengantuk atau parahnya, tertidur saat bekerja.

Suara Made—security Wuluh Tirta—terdengar di radio dua arah, memberitahukan ada tamu yang akan segera menuju lobi. Karan langsung membalasnya singkat lalu beranjak dari kursi dan bergegas menuju lobi. Hanya dalam hitungan detik, Karan sudah berada di balik meja resepsionis sementara lampu depan mobil yang menyorot ke arah lobi secara otomatis membuat senyumnya terpasang. Mengenakan kemeja berwarna putih telur dengan kerah mandarin, udeng, serta celana panjang hitam—yang hanya bisa dipakainya setiap dia masuk malam—Karan menyiapkan kunci vila nomor 14 yang sengaja dititipkan di lobi di atas meja.

Menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum yang semakin melebar, Karan menatap seorang wanita yang berjalan menuju tempatnya berdiri. Diperhatikannya pria yang berjalan bersama tamu hotel tanpa sekalipun menunjukkan debaran jantung yang semakin tidak teratur.

Tanpa diminta, Karan mengulurkan kunci dengan gantungan ukiran kayu kepada Angelyn, wanita yang menempati vila nomor 14.

"Bli, bisa tolong besok saya dibangunin pukul tujuh? Saya tadi udah bilang sama Mbak Alya, tapi saya mau mastiin lagi aja supaya nggak lupa," pinta wanita bergaun hitam semata kaki dengan rambut yang digerai bebas sambil menerima kunci dari Karan.

"Sudah dicatat Alya di log book, Mbak, tapi saya pastikan wake-up call Mbak Angie tidak akan terlewat."

"Should I take you to your room?" tanya Oscar sambil memandang wanita di sebelahnya. Jelas sekali Oscar mengulum senyum.

Angelyn menggeleng. "It's okay. Thank you for the lovely dinner, though. See you tomorrow?"

Oscar mengangguk kemudian mencondongkan tubuhnya untuk memberikan kecupan di kedua pipi Angelyn. "Have a good rest, beautiful."

"Hati-hati pulangnya," pesan Angelyn setelah membalas kecupan Oscar. "Malam, Bli."

"Malam, Mbak Angie."

Begitu suara sepatu berhak tinggi yang dikenakan Angelyn terdengar semakin jauh, Oscar meluapkan apa yang sedari tadi ditahannya. Senyumnya. Dengan satu gerakan pelan, Oscar meletakkan satu tangannya dia atas meja sementara membiarkan tangan yang lainnya tersimpan di balik saku celananya.

"What a coincidence!"

Sulit bagi Karan untuk tidak ikut tersenyum melihat pria yang ditemuinya hampir dua bulan lalu berdiri di depannya. "Apa kabar, Oscar?"

"Jadi film-filmnya udah dilihat belum?"

Karan tergelak pelan mendapati Oscar menepati janjinya untuk tidak mengajukan bagaimana kabarnya jika mereka bertemu lagi. "Saya masih belum sempat."

Oscar mengetukkan jarinya pelan di atas meja jati sambil menggelengkan kepala. "Satu film?"

Karan menggeleng. "Belum satu film pun yang kamu rekomendasikan saya tonton," jawab Karan sambil menggunakan ujung sepatu untuk mengukur betisnya yang tiba-tiba terasa gatal.

"You should be punished!" seru Oscar tanpa berusaha menyembunyikan senyum.

Tawa mereka pecah.

Karan memperhatikan pria yang sudah memberinya moviecation lebih saksama. Mengenakan pakaian serba hitam—celana, kaus, dan blazer—Oscar bukan hanya terlihat mengintimidasi dengan tinggi badannya, tetapi juga pesonanya. Rambutnya ditata rapi dengan gel, wajahnya sudah bersih dari rambut-rambut tipis yang dibiarkannya tumbuh saat Karan bertemu dengannya pertama kali.

"Saya yakin hukumannya adalah memberikan lebih banyak daftar film yang akan membuat saya semakin pusing."

"Nah, I'll let you finish with that list first," balas Oscar setelah menghela napas. "Kamu di sini besok?"

"Saya libur besok."

"Ah, jadi bisa tidur satu hari, dong?"

Karan kembali tidak mampu menahan tawa mendengar kata 'dong' terucap dari mulut Oscar, teringat kata yang sama yang membuatnya tertawa dalam penerbangan Kuala Lumpur-Denpasar dulu. "Kepala saya pusing kalau tidur terlalu lama."

"Tapi kamu butuh tidur."

Karan mengangguk. "I will but not for the whole day."

"Alright then, saya harus pulang. Udah malam dan harus bangun early, dan kamu juga kerja. I don't want to get you into trouble."

Meski tahu dirinya tidak akan mendapat masalah, Karan hanya mengangguk. "Hati-hati."

"Oh, my parents' house is not that far from here, but thank you." Oscar sedikit membungkukkan badan tanpa melepaskan senyum ramahnya. "Selamat malam, Karan. It's really nice that we met again, unexpectedly."

"Sama-sama, Oscar."

Karan membalas lambaian tangan Oscar dengan sebuah senyum dan menyaksikan pria itu berjalan meninggalkan meja resepsionis untuk menghampiri mobilnya yang diparkir tidak jauh dari lobi. Begitu sedan hitam Oscar menjauh dan hilang dari pandangan, Karan menghela napas kemudian berjalan kembali ke kantor.

Begitu duduk di kursi dan menghadapi layar komputer, Karan tidak mampu menahan senyum lebarnya. Bertemu dengan Oscar di tempatnya bekerja adalah hal yang sangat tidak diduganya, tetapi Karan sadar kebetulan seperti ini tidak akan terjadi lagi. Dirinya sangat yakin setelah pertemuan mereka di pesawat, kesempatan untuk berjumpa dengan Oscar sangatlah kecil. Namun malam ini, keyakinannya dipatahkan oleh kebetulan.

Karan menarik napas dalam-dalam sembari membuka word document kosong di komputer. Tangannya sudah mengambang di atas keyboard, tapi ide yang sebelumnya memenuhi otaknya, tiba-tiba saja menghilang. Dengan kesal, Karan mengukur kepalanya sementara pandangannya masih belum beranjak dari layar putih.

"Fokus, Karan. Fokus!" teriaknya untuk mengembalikan konsentrasinya yang terpecah karena kehadiran Oscar yang membuat shift malamnya menjadi berbeda.

***

Menekuk lutut, Karan memandang langit di ufuk barat yang masih begitu cerah meski waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Disandarkannya dagu di atas lutut sementara ujung kakinya menyaruk pasir pantai Berawa yang sudah dia duduki selama setengah jam. Selama empat tahun sejak kepindahannya ke Bali, Karan tidak pernah melewatkan matahari terbenam di pantai jika dirinya sedang tidak bekerja. Menyaksikan warna-warna yang menemani bintang raksasa itu tenggelam baginya adalah kemewahan yang tidak membutuhkan banyak uang. Semilir angin sore, riuh anak-anak yang bermain air atau sekadar berlari kecil, selalu berhasil mengenyahkan segala kegalauan hatinya.

Kepalanya menggeleng pelan mengingat pesan yang dikirimkan Alya siang tadi saat dirinya baru bangun tidur. Masih dengan mata yang separuh terpejam, Karan meraih ponselnya dan sudah bersiap merutuki kemungkinan dirinya harus masuk kerja. Namun ketika matanya berhasil membaca kalimat yang tertera di layar ponsel, kantuk yang masih menggelayutinya langsung sirna.

Demi apa aku ketemu Oscar James tadi! Karan, dia cakeeeeep bangeeeet!

Kalimat Alya diikuti dengan stiker hati yang jumlahnya tidak menarik Karan sedikit pun untuk menghitungnya. Karena masih belum benar-benar memahami maksud Alya, Karan membalas dengan pertanyaan mengenai siapa yang dimaksud Alya hingga dia bersikap histeris seperti itu.

Oscar James siapa?

Tidak lama kemudian, Alya membalasnya dengan satu kata menggunakan huruf kapital:

GOOGLE!

Karan sempat terhenyak mengetahui reaksi Alya. Namun Karan meletakkan ponsel dan mengumpulkan tenaga sebelum bangun dari tempat tidur. Setelah mengguyur tubuhnya dengan air dingin, Karan duduk di atas tempat tidur untuk mencari tahu siapa yang dimaksud Alya. Diketiknya nama Oscar James di mesin pencari seperti yang diminta seniornya dan napasnya tertahan begitu ratusan foto dan artikel terpampang di layar lima inci ponselnya.

Satu per satu, Karan membuka foto yang muncul lalu membaca artikel-artikel singkat mengenai pria yang selama ini hanya dikenalnya melalui nama depan. Selain biodata singkat tentang Oscar James, terdapat informasi tentang produk-produk yang mendapuknya sebagai bintang iklan, beberapa sampul majalah mode, serta satu film yang dirilis tahun lalu. Film berjudul The Night Gangs yang dibintangi Oscar berhasil menyabet penghargaan di Garuda Awards dan beberapa media menyebut penampilan Oscar berhasil mencuri perhatian sekalipun hanya sebagai pemeran pembantu. Semua info yang didapat Karan hanya mampu membuatnya melongo tidak percaya.

Jadi Oscar seorang publik figur? tanya Karan dalam hati.

Karan kemudian mengetik Oscar James di kolom search di Instagram setelah mengetahui beberapa berita yang dibacanya juga menyebutkan akun media sosialnya. Selama hampir satu jam, Karan menelusuri lebih dari 500 foto yang terdapat di akun OJams_84 dan selalu gagal menahan gelengan membaca beberapa komentar atas foto-foto yang diunggahnya. Dua ratus ribu followers di Instagram membuat Karan terheran-heran kenapa dia tidak pernah mendengar tentang Oscar James selama ini.

Kaum hawa jelas memujanya, terbukti dari komentar-komentar bernada seperti 'my future husband', 'calon suami gue nih', 'halalin adek, Bang', sampai ketidakmampuan mereka menahan diri untuk memuji fisik Oscar. Ada cukup banyak foto pria itu tanpa atasan hingga Karan hanya mampu menelan ludah mengamati betapa sempurna fisik Oscar. Namun dia juga tidak mampu menahan gelak setiap membaca komentar seperti 'Ada resepnya nggak sih bikin cowok secakep ini?' atau 'Mas Oscar, kegantengannya tolong dikondisikan, dong' sampai komentar semacam 'Kok ada sih manusia yang cakepnya kebangetan kayak gini?' yang hanya bisa diamini Karan dalam hati. Karan yakin semua pengagum Oscar akan menganggapnya bodoh dan kuper karena tidak sadar siapa Oscar James sebenarnya.

Satu pertanyaan mengusik Karan hingga dia kemudian menambahkan kata 'pacar' di depan Oscar James di mesin pencarian. Rasa penasaranlah yang membuat Karan tidak mampu menahan diri untuk tidak mencari tahu tentang pasangan Oscar James. Nama Angelyn sempat terbersit dalam benaknya, tetapi Karan kemudian menemukan tidak banyak informasi mengenai pacar Oscar. Yang muncul justru fakta bahwa Oscar James masih melajang. Tidak ada rumor tentang kedekatannya dengan siapa pun, hanya pertanyaan umum seperti tipe wanita seperti apa yang disukainya, serta apa yang membuat seorang wanita terlihat seksi di hadapannya. Karan dengan segera mematikan fitur internet di ponsel saat imajinasinya mulai melantur. Merasa cukup dengan fakta yang didapatnya tentang Oscar James, Karan memutuskan untuk menyudahi pencarian informasinya.

Seekor anjing berbulu cokelat dengan warna hitam yang menghiasi punggungnya mendekati Karan. Hanya ada gonggongan pelan sebelum binatang bertelinga tegak lancip itu duduk di depan Karan dan menatapnya. Karan menahan diri untuk tidak mengulurkan lengannya demi membelai kepala anjing yang membuatnya tersenyum karena takut binatang menggemaskan di hadapannya akan menggigitnya.

"Venus!"

Karan mengangkat wajah ketika mendengar teriakan dan bola matanya membesar saat melihat siapa yang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk.

"Karan?"

Berbeda dengan pertemuan mereka semalam, kali ini Oscar hanya mengenakan board shorts dan membiarkan tubuh bagian atasnya terekspos. Dengan kacamata hitam yang menutupi matanya, Karan memahami kenapa komentar-komentar yang ditinggalkan di setiap unggahan Oscar di Instagram tidak pernah jauh dari fisik. Otot lengan dan dadanya membuat Karan teringat satu komentar yang membuatnya terkikik—sender-able—sementara Karan juga belum bisa melupakan banyak pengagum Oscar yang menyamakan perut ratanya dengan roti sobek.

"Kita ketemu lagi," balas Karan sambil tersenyum.

Oscar membuka kacamata dan meletakannya di ujung kepala. "What are you doing here?"

"Menunggu matahari terbenam," balas Karan. Saat pandangannya beralih ke german shepherd yang masih menatapnya, Karan memandang Oscar. "Ini anjing kamu?"

"Anjing Ibu, tapi saya selalu bawa ke pantai tiap pulang ke Bali," jawab Oscar begitu dia mendudukkan dirinya di samping Karan.

"Cantik anjingnya. Tadi siapa namanya?"

"Venus." Elusan tangan Oscar pada punggung Venus membuat binatang itu menjulurkan lidahnya.

"Saya nggak pernah punya binatang peliharaan. Ibu nggak terlalu suka kucing, apalagi anjing." Karan pun kemudian memberanikan diri untuk melakukan hal yang sama setelah tahu siapa pemiliknya. Keakutannya akan digigit hilang seketika.

"Venus likes you," ujar Oscar begitu mendapati Venus menggunakan kaki Karan sebagai tempat untuk menyandarkan kepalanya. "Did you get enough sleep after your night shift?"

Karan mengangguk. "Thank you for asking. Kamu sendiri?"

"Saya bisa jadi orang meninggal tiap tidur."

"Orang mati maksud kamu?" koreksi Karan.

Oscar tergelak. "Ah ya! Itu maksudnya."

Ada keinginan dalam diri Karan untuk menanyai Oscar tenntang pekerjaannya—yang baru diketahuinya siang ini—tapi saat lutut mereka bersentuhan, apa yang ada di pikiran Karan teralihkan. Karan menelan ludah saat menyadari detak jantungya bertambah kencang setelah singgungan tidak sengaja itu terjadi. Meski hanya berlangsung sepersekian detik, Karan kemudian menggeser duduknya agar ada jarak yang wajar di antara mereka.

"Saya kira kamu sudah pindah ke Bali."

"I wish! Ada job di sini, lusa harus pulang Jakarta."

"Kamu selalu bisa ke sini setiap akhir pekan, lagipula Jakarta-Bali nggak jauh."

Oscar memasang muka sedih yang dibuat-buat. "Tapi Jakarta jauh dari pantai dan saya sering harus kerja tiap weekend."

"Saya malah lebih sering masuk daripada libur tiap Sabtu. Saya juga nggak terlalu suka libur di akhir pekan."

"Kenapa?"

"Jalan jadi macet dan terlalu ramai, makanya saya lebih suka libur di hari-hari biasa."

"Sudah lama kerja di hotel?" tanya Oscar sambil meluruskan kaki.

"Tiga tahun."

"And you love it there?"

Karan mendesah. "The salary is good, it pays the rent. Kerja di mana pun tempatnya pasti punya sisi positif dan negatif kan?"

"I agree." Oscar kemudian mengulurkan lengan untuk menyentuh ujung kakinya dengan jari tangannya. Ditelengkannya kepalanya agar bisa memandang Karan lebih jelas. "Kamu suka sunset?"

Karan mengalihkan tatapannya ke Oscar tanpa mengurangi senyumnya. "I do. Buat saya, matahari terbenam adalah satu dari hal yang sangat mewah, tetapi banyak orang nggak menyadarinya." Karan kembali memusatkan perhatiannya ke sisa cahaya yang masih terlihat meskipun belum genap sepuluh menit matahari tenggelam. "Don't you love it?"

Oscar mengangguk. "Setiap pulang ke Bali, saya selalu ke pantai. Swim in the ocean, walking Venus on the beach, and sunset ... I just wish I could do the same in Jakarta. Saya nggak bisa bosan."

"Mungkin kamu memang harus pindah ke sini."

"All my works are in Jakarta. I have Jupiter, though."

"Jupiter?"

"My golden retriever. The first thing I did when I moved to Jakarta was visiting some animal shelter and adopted a dog. I've always had pets since I was a kid, I just can't live without one."

"How old is Jupiter?"

"Tiga tahun. Setiap kali harus pergi, Jupiter selalu bikin saya miserable."

Meski keinginannya untuk menghabiskan waktu lebih lama di samping Oscar sangat besar, Karan mengingatkan diri begitu tahu jam tangannya sudah menunjukkan lebih dari pukul enam. Dia sudah berjanji akan bertemu Zola di Warung Sobat II di daerah Kerobokan setengah tujuh dan Karan tidak ingin terlambat. Dia berusaha menghindarkan diri dari rentetan pertanyaan yang akan diajukan sahabatnya jika dirinya telat.

"I have to go, Oscar," ucap Karan begitu dia berdiri dan membersihkan sisa pasir yang menempel di telapak tangan serta celana pendek cokelat tuanya.

Oscar mengangguk sebelum dirinya sendiri bangkit. "Naik apa tadi?"

"Saya bawa motor." Karan kemudian membungkuk untuk mengelus kepala Venus. "Nice to meet you, Venus," ucapnya.

Ketika Karan menegakkan tubuh, Oscar sudah mengulurkan lengan. "What a nice coincidence, Karan. Senang bisa bertemu kamu lagi."

Karan menjabat tangan Oscar dan mengangguk. "Saya juga."

Ada canggung yang dirasakan Karan hingga selama beberapa detik, dirinya tidak tahu apa lagi yang harus dikatakannya. Setelah mereka bertukar senyum, Karan melepas jabatan tangan mereka dan memasukkannya ke saku celana.

"Hati-hati, Oscar."

Oscar mengangguk. "Saya yakin kita pasti bertemu lagi."

Meski tidak yakin, Karan hanya membalasnya dengan sebuah senyum. "Okay, then. Enjoy your evening."

"Kamu juga, Karan."

Setelah mengelus kepala Venus sekali lagi, Karan berjalan meninggalkan Oscar untuk menuju tempatnya memarkir motor. Begitu yakin jaraknya cukup jauh, Karan menghentikan langkah dan membalikkan badan, hanya untuk memastikan Oscar masih belum beranjak dari tempatnya. Namun Oscar sudah mulai berjalan menjauh dari tempat mereka duduk beberapa menit lalu hingga yang bisa disaksikan Karan hanyalah punggungnya. Karan membiarkan dirinya memandangi sosok pria itu sampai benar-benar hilang dari pandangan.

What a serendipity, ujar Karan dalam hati.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro