29 - SOMETHING THAT SHOULD HAVE HAPPENED SOONER
Deru suara kendaran yang melintasi Ponte 25 de Abril di atas sungai Tagus serta semilir angin yang membuat rambut hitamnya berantakan, membuat Karan tersenyum. Egil yang sejak tadi hanya memperhatikan tingkah Karan, melirik sekilas tanpa lupa menyunggingkan senyum tipisnya. Kaus abu-abu yang dikenakannya basah di beberapa titik akibat terik yang menyengat ibukota Portugal siang ini. Karan sepertinya tidak mengalami hal yang sama karena kemeja hijau mudanya hanya terlihat kusut akibat tas yang terlintang di pundak. Meski matahari bersinar begitu terang, Karan masih teguh dengan pendirian untuk tidak mengenakan kacamata hitam demi melindungi matanya. Egil pun tidak mampu menahan keheranan karena aviator sunglasses-nya masih belum dia lepas sejak mereka meninggalkan apartemen yang mereka tinggali di dekat Jardim Zoológico.
"Kamu bisa setiap hari memandangi Douro dan selama di Lisbon, kita bisa ke Praça do Comércio setiap hari supaya kamu bisa lihat sungai Tagus," canda Egil ketika menyadari Karan masih belum juga mengalihkan pandangan. "Tidak perlu bersikap melodramatis seperti itu."
"I can't do the same thing in Indonesia. This is one of the things that I will miss about Portugal."
"Bagaimana denganku? Will you miss me?"
Karan memalingkan wajah hingga tatapannya dan Egil bertemu. "You know I will miss you."
Egil lantas bersikap seolah baru saja mendengar kabar yang sangat melegakan, yang justru membuat tawa Karan berderai. "Kita ke LX Factory sekarang? Sehari tidak akan cukup untuk mengelilingi tempat itu, tapi kita bisa ke sana kapan pun kamu mau."
"Yuk!"
Jarak dari tempat mereka berdiri di bawah jembatan menuju salah satu tempat yang dijanjikan Egil memang tidak jauh. Ketika mereka turun dari bus 751 di Museu Carris, Karan memang meminta Egil agar mereka berdiri sejenak di bawah Ponte 25 de Abril. Alasan yang diberikan Karan? Ingin berteduh karena panas.
"Aku tidak percaya kamu komplain tentang cuaca hari ini."
Karan mengerutkan kening saat mereka baru saja melewati tempat disandarkannya kapal-kapal motor kecil. "Kenapa?"
"Karan, kamu orang Indonesia! Cuaca di sana aku yakin jauh lebih panas dan lembap daripada di sini," balas Egil tanpa bisa menahan diri.
"Dan karena aku orang Indonesia, aku nggak boleh komplain soal panas?"
"Well, you shouldn't be," sahut Egil ringan.
"Matahari di sana nggak seterang di sini. And definitely not as scorching as here," keluh Karan seraya menunjuk matahari di atas mereka dengan telunjuknya.
"Kita harus lari kalau gitu. Kalau kita jalan seperti ini, aku takut kamu meleleh."
Karan meninju pelan lengan Egil sambil menggumamkan "Shut up!" yang dibalas Egil dengan gelak.
Tidak lama kemudian, mereka sudah berada di depan pintu gerbang LX Factory, sebuah creative space yang ada di Lisbon. Egil menghentikan langkahnya yang diikuti oleh Karan.
"Are you ready? Is your notebook ready?"
Karan berdecak. "You're not gonna stop teasing me, are you?"
"Nope."
Setelah mengambil foto logo LX Factory yang berada di atas pintu masuk, mereka memasuki salah satu tempat yang menjadi favorit warga Lisbon. Tidak jauh dari pintu masuk, Karan tercengang melihat lebah berukuran raksasa yang terlihat seperti sedang merangkak di tembok bercat hijau dengan tulisan DORM di atasnya.
Menyadari keterkejutan Karan, Egil pun berhenti. "Kita bisa mendekat kalau kamu mau."
Bukan ukurannya yang membuat langkahnya terhenti, tetapi sekelebat kenangan akan Oscar mengisi benaknya.
"Apakah ada binatang lain yang kamu takutin?"
Oscar berdecak sebelum menelengkan kepala. "Kamu enggak punya intention to prank me, do you?"
Karan menggeleng. "Biar aku nggak kaget kalau liat binatang yang kamu takutin. So I can be your knight in cotton armor."
Dahi Oscar mengerut. "Why cotton?"
"Karena semua bajuku rata-rata dari katun. Aku nggak punya baju dari besi."
Menyadari candaan Karan, gelak Oscar langsung terdengar. "Ah, well, aku enggak suka cicak dan bees. How do you say bees in Indonesian?"
"Lebah," jawab Karan.
Karan mengerjapkan mata sebelum mengembuskan napas panjang.
"Karan? Kamu kenapa? Kamu takut lebah?"
Menyadari dirinya tenggelam dalam kenangan, Karan lantas menggeleng. Dia segera tersenyum begitu melihat raut muka khawatir Egil. "Aku baik-baik aja. Siapa yang buat itu?" Dia kemudian mendekatkan diri ke karya seni jalanan yang sedetik lalu membuat dadanya terimpit.
"Bordalo Segundo membuat banyak karya seperti ini di Lisbon. Ini salah satunya. He called it his Trash Animal project. Dia menggunakan baarang-barang rongsokan dan menciptakan karya seni dengan bentuk berbagai binatang. Menurutnya binatang dan sampah tidak akan bisa bersatu dalam kehidupan nyata, tapi lewat karya seni, dia bisa menyatukannya. It's impressive, don't you think?"
Karan mengangguk. "Ada berapa banyak karya dia di Lisbon?"
Egil terdiam sesaat sebelum menggeleng. "Aku tidak tahu pasti, tapi kita bisa menelusurinya kalau kamu mau."
Mendengar tawaran itu, pikiran tentang Oscar seperti tersisih begitu saja. "You want to do it?"
"It'll be fun."
Setelah itu, Karan meminta Egil mengambil fotonya di depan lebah raksasa sebelum berjalan menyusuri deretan kafe, restoran, butik, dan toko-toko yang membuat Karan harus berhenti beberapa kali karena tertarik dengan apa yang dilihatnya di window display.
"Tempat ini seperti surga bagi orang-orang kreatif. Ada sekitar 200 perusahaan di LX Factory dan ribuan pegawai. Aku selalu ke sini setiap kali ke Lisbon dan tidak pernah bosan. I do think you will fit in here."
"It seems like my kind of place."
"That's why I wanted to take you here."
"Memangnya sebelum jadi LX Factory, tempat ini dipakai sebagai apa?"
"Awalnya dibangun sebagai pabrik tekstil, tapi pernah beralih fungsi jadi pabrik pembuatan roti dan terakhir, percetakan. Setelah lama diabaikan, kemudian tempat ini diubah menjadi seperti sekarang. And it's one of the trendiest spots in Lisbon." Egil kemudian menunjuk salah satu kafe dengan nama Landeau Chocolate yang kembali membuat Karan tercengang karena dari cerita Egil, tempat itu hanya menjual satu menu: chocolate cake. "Adakah tempat seperti ini di Indonesia?"
Karan ragu sejenak sebelum menjawab pertanyaan Egil. "Di Jakarta mungkin ada, tapi aku nggak yakin. Orang-orang lebih suka membangun pusat perbelanjaan, hotel, dan apartemen daripada membangun tempat seperti ini."
"That's a shame."
"Street art in Indonesia is not as visible as in Porto or Lisbon. It's just not our culture, I guess, to appreciate that kind of art."
"Lalu, seni seperti apa yang dihargai di Indonesia?"
"Soap opera."
Bahkan setelah menjawabnya pun, Karan tidak bisa menahan tawa melihat ekspresi Egil. Gelaknya masih belum berhenti meski Egil sudah berkali-kali meminta penjelasan darinya.
"Really, Karan? Soap opera?"
"Hanya itu yang ditayangkan sebagian besar stasiun televisi di Indonesia, nggak peduli apakah ceritanya masuk akal atau nggak. Aku selalu menyebutnya pembodohan publik karena kebanyakan ceritanya sangat nggak masuk akal."
"Memangnya cerita seperti apa?"
"Believe me, you don't want to know."
Egil hanya tertawa menanggapi balasan Karan.
"Terus, kita mau ke mana lagi? Dari tadi kita belum masuk satu tempat pun," tanya Karan sambil mengedarkan pandangan ke beberapa bangunan di dekatnya.
"Aku tahu satu tempat yang akan bikin kamu lupa waktu."
"Toko buku?" tebak Karan karena selain pantai, satu-satunya tempat yang bisa membuatnya lupa waktu adalah toko buku. "Memang ada toko buku di sini?"
"You'll love it. It's one of the most beautiful bookstores in the world."
"You can't be serious."
"I am serious!"
Tanpa menunggu persetujuan Karan, Egil dengan cepat meraih pergelangan tangan Karan dan menariknya menuju salah satu tempat bernama LER DEVARGAR. Egil melepaskan genggaman tangannya begitu mereka berada di depan pintu masuk.
"Should I leave you here and come back after—" Egil kemudian mengecek arlojinya. "five hours or so?"
"You may as well go back to Porto, Egil."
Egil tergelak. "C'mon."
Ler Devagar membuat mulut Karan menganga lebar ketika memasukinya. Bukan lampu yang tergantung dari atap tingginya, tetapi benda pipih berbentuk perempuan dengan rambut dan syal yang berkibar sedang menaiki sepeda dengan bentangan yang terlihat seperti sayap. Ornamen itu benar-benar menyita perhatian Karan.
"Karan, you're standing in front of the door," ujar Egil smabil menarik Karan dari lamunannya sekaligus menggeser tubuh mereka agar tidak menghalangi pintu masuk.
"Itu sepeda beneran?"
"Sepertinya iya."
Setelah puas menatap sepeda bergantung itu, pandangan Karan bergeser pada buku-buku yang memenuhi dinding dari lantai hingga hampir mencapai atap. Diperhatikannya beberapa meja dan kursi yang diletakkan bersampingan dengan rak berisi buku-buku, juga kafe kecil yang berada di sisi kirinya.
"Is this place for real?" gumam Karan.
Tawa ringan Egil berderai. "It is."
Karan menelan ludah. "Kenapa kamu ajak aku ke sini?" tanya Karan sambil mengalihkan tatapannya dari patung seorang pria yang sedang menaiki sepeda beroda satu sambil membawa payung berwarna putih yang tergantung di sisi lain Ler Devagar.
"Because you're a writer and you love reading? Ada dua tempat lagi yang ingin aku tunjukkan selama kita ada di Lisbon. Toko buku tertua di dunia dan juga patung perunggu Fernando Pessoa di Café Brasileria."
Karan menghela napas. Dia bahkan tidak tahu toko buku tertua di dunia ada di Lisbon. Usaha Egil untuk menjadikan perjalanan ini tidak terlupakan membuat Karan memandang Egil yang baru saja melepas kacamata hitamnya dan menyangkutkannya di belahan kerah kausnya. "Thank you."
"Aku akan minum kopi sambil lihat-lihat buku di bawah. Kamu harus naik ke lantai dua dan lihat Pietro Proserpio permanent exhibition. It's really interesting," ujar Egil sambil meremas lembut pundak Karan.
Karan segera melangkah menuju salah satu tangga yang menuju ke lantai dua sembari memperhatikan Egil yang langsung sibuk di salah satu sudut. Karan sempat berhenti di tenga anak tangga untuk menatap Egil yang jelas tidak melihatnya.
What are you trying to tell me, Egil? Kenapa kamu ngelakuin ini?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro