28 - PASTELARIA PART II
Selama beberapa menit, Karan menjadikan manusia dan kendaraan yang lalu lalang di sepanjang Avenidos da Republica fokus utamanya. Hujan sudah berhenti setengah jam lalu, begitu juga dengan ceritanya tentang Oscar. Meski telah membebaskan diri dari rasa bersalah terhadap Egil, dia juga harus menahan perih yang berhasil dia sembunyikan dari pria yang saat ini hanya memandangnya diam. Karan tidak yakin bisa mengulangi kisah ini kepada orang lain. Bukan karena tidak mau, tetapi kenangan bersama Oscar tidak berbeda dengan membuka paksa perban sementara lukanya sendiri belum seratus persen kering.
Sementara Karan berjuang menormalkan suasana hati, Egil masih mempermainkan pak gula di tangan. Kopinya telah lama menyisakan endapan, bahkan cangkirnya sudah dingin. Sepasang mata hijaunya bergantian mengamati pandangan Karan karena sejak menyelesaikan cerita mengenai Oscar, dia masih belum mengalihkan tatapan ke arahnya. Karan sekadar menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Egil dengan senyum, tidak jarang dia hanya mendapatkan sebuah gelengan atau anggukan singkat. Egil lantas menaruh pak gula yang bungkusnya sudah kumal akibat remasan tangan dan membuang napas. Mencondongkan tubuh, dia menyandarkan kedua lengan di atas meja, berusaha mendapatkan perhatian Karan.
Menyadari tatapan Egil, Karan menoleh setelah membasahi tenggorokan. Sekalipun Egil telah mengetahui sebagian besar cerita yang disimpannya dari pria Skandinavia itu, Karan masih merasa ada penjelasan yang belum diungkapkannya.
"Kalau setelah ini hubungan kita berubah, aku nggak akan nyalahin kamu," ujar Karan setelah mereka saling bertukar pandang cukup lama. "Harusnya aku cerita sejak awal, tapi aku terlalu pengecut untuk tahu konsekuensinya."
"Are you still very much in love with him?"
Karan mengedikkan bahu karena dia sejujurnya tidak tahu harus seperti apa menamai perasaan terhadap Oscar yang masih mengusik hidupnya. "Mungkin aku ingin memercayainya sebagai cinta, sedangkan faktanya, ini hanyalah sisa dari apa yang pernah aku rasakan ke Oscar." Karan menatap Egil lekat-lekat, berusaha menemukan emosi yang masih disimpan pria itu dan akan segera diluapkannya. "Tapi kalau kamu tanya apakah aku masih sering memikirkan Oscar," Karan mengangguk pelan, "I do."
Sejak kunjungan singkat Zola—pertengkaran kecil mereka di metro serta apa yang disampaikan sahabatnya saat mereka ada di bandara sebelum Zola melanjutkan perjalanan ke Spanyol—Karan mulai mengevaluasi perasaannya terhadap Oscar. Ada ragu yang mulai menyusup. Pertanyaan apakah yang dirasakannya sejak meninggalkan Bali masih sekuat dulu atau ini tak lain adalah sebuah paksaan untuk berpegangan pada sesuatu yang jelas-jelas sudah tidak ada. Ada saat-saat di mana dia berhasil meyakinkan diri bahwa Oscar sudah sepenuhnya melanjutkan hidup tanpa harus menengok ke belakang. Namun terkadang Karan ingin percaya, pria itu masih menyimpan kenangan akan dirinya.
"Apakah Oscar adalah alasan kenapa kamu selalu bilang," Egil berdeham pelan, "bersikap tidak adil kepadaku? Hanya karena kamu belum sepenuhnya bisa lepas dari perasaanmu terhadapnya?"
Karan mengangguk. "Mungkin aku memang nggak bisa berpindah hati secepat orang lain. It took me four years before I was ready with another relationship." Karan menggigit bibir saat menyadari hampir saja nama Binar terlontar. Dia tidak akan sanggup jika harus mengungkapkan kepada Egil tentang Binar saat ini juga. "Aku nggak mau menjadikan kamu pelarian saat belum sepenuhnya bisa melupakan pria lain, Egil. If you were in my position, I believe you would have done the same thing."
Egil tersenyum tipis. "Cinta itu egois."
"It is."
"Tapi kamu tahu aku tidak pernah keberatan dengan apa yang kita miliki selama ini, kan? Terlepas dari Oscar, aku rasa tidak akan yang berubah dariku, Karan. You're still the same person, I just understand you better."
Untuk pertama kalinya, Karan menyunggingkan senyum. "Aku masih nggak tahu kenapa kamu bersikeras menyiksa diri meski tahu aku nggak bisa balas perhatian yang kamu berikan."
"Because I enjoy spending time with you. Kamu harus berhenti berpikiran aku menyiksa diri, Karan. Aku yang tahu apakah ini menyiksa atau tidak."
Karan menanggapi balasan Egil dengan gelengan heran. Dia tidak pernah tahu ada pria keras kepala seperti Egil meski sudah jelas-jelas hatinya dikecewakan.
"Apakah kamu ingin melupakan Oscar?"
Karan mendesah pelan. Pertanyaan Egil hanya menguatkan apa yang selama ini belum mampu dijawabnya. "I've tried for almost a year and it still hasn't gotten me anywhere," jawabnya. "Jika ada yang jual ramuan pelupa, aku akan dengan senang hati membelinya," canda Karan.
"I don't think you will be able to completely forget him, Karan. He's part of your life."
Karan diam.
"Will you let me help? At least to put him aside from your mind?"
Karan menatap Egil dengan kerutan di keningnya. "Maksudnya?"
"Setiap kali melihat kamu melamun, dugaanku selalu mengarah ke seseorang dari masa lalu yang belum bisa kamu singkirkan. Alasan pekerjaan sama sekali terlalu ... biasa, Karan, dan aku tidak bisa percaya begitu saja." Egil lantas tertawa kecil. "Aku sampai harus mengeceknya ke Deniz apakah OPS membebani kamu dengan begitu banyak tugas hingga memenuhi pikiran kamu dan dia meyakinkanku bahwa satu-satunya yang tidak pernah diberikan OPS adalah beban pekerjaan menggunung. I drew my own conclusion." Egil mengulurkan lengan, hanya meletakkannya cukup dekat dengan tangan Karan tanpa harus menyentuhnya. "Then say yes to Lisbon, Karan. Kita bisa di sana beebrapa hari, sebagai teman, atau apa pun label yang ingin kamu berikan untuk kita berdua, aku tidak keberatan. Waktu kamu di Porto tinggal tiga bulan dan hanya Tuhan yang tahu kapan kita akan bertemu lagi. Let's enjoy what we have before it's gone."
Dari semua kemungkinan yang mengisi pikirannya saat memutuskan bercerita ke Egil, yang baru dia dengar sangat tidak bisa dipahami. Dipandangnya Egil lekat-lekat, berusaha menemukan alasan masuk akal sampai pria itu menganggap cerita tentang Oscar tidak punya efek apa pun.
"Kenapa?"
Hanya satu kalimat tanya yang mampu diucapkan Karan ketika benaknya disesaki begitu banyak kalimat yang lebih panjang dan kompleks.
"Karena aku ingin. Sesederhana itu."
"Dan membuatku semakin merasa bersalah?"
Egil menelengkan kepala. "Kenapa kamu harus merasa bersalah? Apakah karena sikap tidak adil yang terus-terusan kamu gunakan sebagai alasan itu?" Egil menggeleng pelan. "Aku akhirnya tahu apa yang membuat kamu resah sejak kita berkenalan dan aku menghargai kamu mau cerita kepadaku, Karan. I really do. Aku tidak ingin menuntut apa pun atau meminta kamu membuka hati sesegera mungkin. I won't ever do that." Memberanikan diri, dia lantas menggenggam tangan Karan selayaknya teman. "So, please? Say yes to Lisbon."
Jantung Karan berdebar lebih cepat. Sentuhan Egil dan tatapan memohonnya membuat Karan ragu dengan apa yang harus dia ucapkan.
"Jika kamu takut aku akan macam-macam, aku bisa janji tidak akan terjadi apa-apa. Kita bisa pesan dua kamar jika itu membuat kamu nyaman."
"Apakah kamu selalu sepersuasif ini?"
Senyum Egil terlihat seperti sebuah seringai jenaka. "Hanya untuk sesuatu yang benar-benar aku inginkan."
"Jadi apa yang kamu inginkan? Aku?"
"To see you smile. And laugh. And keep telling me that Beatles and ABBA are overrated."
Mau tidak mau, gelak Karan berderai mendengar Egil mengungkit kembali pendapatnya tentang dua grup legendaris itu saat mereka akan makan siang beberapa minggu lalu. "Kamu mencoba mengalihkan topik pembicaraan."
Egil menggeleng. "Aku cuma berusaha membuat kamu berhenti mengevaluasi segala kemungkinan, Karan, terlebih jika itu berhubungan dengan aku. I'm a grown up man, I know how to take care of my heart. You don't need to worry." Dia lantas menepuk pelan tangan Karan. "Berhati-hati dalam hidup itu perlu, Karan, aku harus akui itu. And I'm a firm believer that consideration is the highest form of being thoughtful, but sometimes, you just have to go with whatever comes to you." Egil menarik tangannya karena tidak ingin membuat Karan tidak nyaman. "Apakah semua penulis selalu menganalisis segala hal? Atau cuma kamu?"
"Mungkin semua penulis punya kecenderungan yang sama. Aku nggak tahu."
"Please say yes?"
"Kamu yakin, Egil?"
"Karan ...."
Karan menarik napas sedangkan tatapannya tidak beranjak dari Egil. Sebagian hatinya menentang keinginan untuk pergi ke Lisbon, tapi dia juga sadar besarnya kekecewaan yang sudah dia berikan kepada Egil. Hatinya memang belum bisa beranjak, tapi jika menuruti kemauan pria Norwegia di hadapannya mampu mengurangi sedikit rasa bersalahn yang selama ini menguntit, maka Karan akan mengambil kemungkinan itu. Terlepas ada rasa kasihan yang melandasi keputusannya.
"Oke. Kita bisa ke Lisbon dengan satu kondisi."
Karan terlalu fokus pada raut kebahagiaan yang sulit disembunyikan Egil hingga dia mengabaikan pekikan 'yes' yang disuarakan Egil. Dia benar-benar tidak mampu menutupi keheranannya atas sikap Egil.
"What is that?"
"We split the cost."
Seketika wajah Egil berubah. Karan mengangkat tangannya ketika mengetahui Egil berniat protes.
"Sekarang terserah kamu, Egil. Accept that condition or no Lisbon."
Dengusan Egil membuat Karan mengulum senyum sebelum dilihatnya Egil mengangkat kedua tangan, menunjukkan bahwa dia menyerah. "Oke, Karan. Aku tidak keberatan. I can cover the accommodation, you can cover the meals, how about that?"
Karan berniat protes. Liburannya bersama Oscar setahun lalu langsung mengisi benaknya. Saat itu, mereka pun setuju untuk membagi biaya perjalanan, tetapi ujung-ujungnya Oscar yang lebih banyak membiayai perjalanan mereka. Belum lagi resort yang dipilihnya di Koh Samui jelas tidak masuk budget yang dia alokasikan. Ada kekhawatiran Egil akan melakukan hal yang sama.
"Kenapa nggak kita balik?"
"If you have a condition, then I have mine, as well. It seems fair, doesn't it?"
Karan menyandarkan punggung, mengagumi kelincahan Egil untuk membalikakn keadaan. "Apakah pernah ada yang bilang betapa keras kepalanya kamu?"
Egil tergelak. "Aku bukannya keras kepala, Karan. I'm just determined."
"Aku akan bilang Maia segera. Dia mungkin akan ngasih aku libur karena aku sama sekali belum mengambilnya."
"Thank you, Karan," ucap Egil di sela senyumnya. "I will be in my best behavior."
***
Memandangi isi lemarinya, Karan menimbang berapa banyak baju yang harus dia bawa selama lima hari. Dia menyetujui rencana Egil untuk menginap selama empat malam di Lisbon. Keesokan hari setelah Karan mengiyakan ajakan Egil, pria itu memberitahunya bahwa dia sudah memesan akomodasi. Namun ketika dia bertanya nama tempat yang akan mereka huni, Egil menolak memberitahu. Karan hanya berharap bukan hotel bintang lima dengan harga fantastis per malam. Ada sesal karena dia tidak cukup ngotot untuk bernegoisasi dengan Egil.
Diambilnya lima kaus, tiga kemeja, tiga celana pendek, serta dua celana panjang dari tumpukan pakaian sebelum menatanya rapi di atas tempat tidur. Tas ranselnya lebih dari cukup untuk menampung pakain serta printilan lain yang tidak memakan banyak tempat.
"Kalian akan naik mobil?"
Karan mendongak saat dia memasukkan pakaian terakhir ke dalam tas. Deniz bersedekap sambil mengamatinya dari ambang pintu.
"Kami akan naik kereta. Aku nggak keberatan naik kendaraan umum."
"Is all good?" Deniz berjalan menghampiri Karan setelah menutup pintu di belakangnya.
"Apanya?"
"Kamu dan Egil."
Karan meletakkan tas ranselnya di atas meja sebelum duduk di tepi tempat tidur. Ditatapnya Deniz yang masih menunggu balasan. "I guess so. Egil udah tahu apa yang selama ini belum bisa aku ceritakan."
"Apakah berarti hubungan kalian ... akan berubah?"
Karan mengerutkan kening. "Berubah seperti apa?"
"More than what you have now?"
"Nggak akan ada yang berubah dengan kami, Deniz. Dia tahu alasannya. Jika memang nanti hubungan kami berkembang, then let it be. Buat sekarang, kami masih teman."
Deniz dengan segera mendudukkan dirinya di kursi yang ada di depan Karan, menatap teman sekamarnya yang sedang sibuk membaca dan memastikan daftar barang yang harus dia bawa besok. Deniz menelan ludah sebelum menarik napas panjang.
"Kamu tidak kelihatan ... lega."
Karan mendongak kemudian meletakkan secarik kertas itu di atas nakas yang ada di samping tempat tidurnya. "I still feel guilty, in some ways."
"Karena?"
"Mungkin kalau aku cerita dari awal, hubunganku dan Egil akan ... berbeda. Aku bisa menghindarkan dia dari perasaan kecewa karena aku nggak bisa membalas apa yang dia berikan."
Dengan gemas, Deniz memukuli kepalanya dengan telapak tangan. "You know what, Karan? I just think you're trying too hard to put the guilty tag on yourself for something that is beyond your control. Apakah kamu yakin kalau kamu cerita sejak awal, perasaan Egil tidak akan muncul?"
Karan menggeleng pelan. "Tapi kemungkinan itu ada."
"Exactly!" seru Deniz. "A possibility, but not a sure thing."
"Dan Egil tetap bilang kalau dia nggak keberatan dengan apa yang kami miliki. Dia juga nggak merasa menyiksa diri. That's just ... not possible, is it?"
"Boleh aku tanya sesuatu?" Saat Karan mengangguk, Deniz menggeser kursi yang didudukinya agar lebih dekat dengan Karan. "Kamu tidak perlu cerita lengkap, tapi apakah yang selama ini kamu sembunyikan dari Egil ada hubungannya dengan masa lalu kamu? Mungkin ada seseorang yang belum bisa kamu lupakan?" Ketika Karan kembali mengangguk pelan, Deniz tersenyum tipis. "Apa bedanya Egil dengan kamu, Karan? Dia tidak merasa kamu perlakukan tidak adil, bahkan tetap ingin kamu pergi ke Lisbon setelah apa pun yang dia dengar. Mungkin itu membuat dia bahagia, lebih dari perasaan kecewa yang dia rasakan. Maybe he didn't show his disappointment because he didn't want to see you beat yourself up with guilt for not being able to reciprocate his feeling. Kamu pun tidak menceritakan tentang masa lalumu ke Egil sampai sekarang karena kamu peduli padanya, kamu tidak ingin menyakiti perasaannya. What's so different about that? It all comes down to choice."
Karan menatap Deniz tanpa bisa mengucapkan apa pun. Dia jelas tidak pernah berpikiran sejauh itu. Bibirnya terbuka, ada kata yang ingin dia ucapkan, tetapi Karan membatalkannya. Alih-alih, Karan menggigit bibir bawahnya sebelum dia mengukur pelipis pelan.
"Aku tidak tahu apakah banyak pria gay yang seperti Egil, tapi emosi manusia adalah hal yang kompleks dan tidak mudah ditebak. Aku yakin Egil sadar akan apa yang dilakukannya. He's not a kid who needs to be told what to do."
Karan masih diam, tetapi ucapan Deniz membuatnya pikirannya bekerja lebih keras. Tanpa dia sadari, kepalanya terangguk pelan sebelum dia tersenyum tipis.
"Thanks, Deniz."
"Let's have dinner, the food is ready," ujarnya seraya bangkit dari kursi. "Just enjoy what's being given to you, Karan. Do not overthinking everything, especially anything related to heart and feelings. It's useless."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro